BAB 8

1060 Words
Satu bulan telah berlalu sejak Darcie melayani Aelin. Waktu yang cukup lama namun tidak terasa seolah baru sekejap terjadi. Sesuai dugaan, wanita itu tidak mengubah kinerja buruknya sama sekali meski hari demi hari telah berlalu. Makanan kirimannya selalu buruk karena tidak sesuai standar kekaisaran, terlalu sedikit untuk porsi anak-anak dan tidak mencakup gizi yang mumpuni. Dalam jangka waktu tersebut, Aelin tidak pernah menegur Darcie guna melihat apakah wanita itu akan berubah pikiran atau tidak meski hasilnya sudah jelas. Bagaimanapun, hasil inilah yang Aelin nantikan. Dia tahu kondisi tubuh Aelinna selalu lemah, tidak lebih kuat dari Arne, sehingga mudah jatuh sakit. Satu bulan menanggung makanan yang buruk dari Darcie pasti akan memberikan dampaknya, cepat atau lambat. Dan meski kondisi tubuhnya tidak lemah, siapa pun juga dapat merasakan akibatnya. Orang mana yang dapat bertahan dari porsi makan sangat kecil dan tidak cukup gizi selama satu bulan? “Bagus, aku lebih kurus.” Aelin melenggang di depan cermin, mengamati tiap lekuk tubuhnya yang terlihat cukup lebih kurus dari sebelumnya. Gelang yang biasa dia pakai terasa lebih renggang, ikatan pita di pinggangnya harus dikencangkan lebih erat lagi, dan sepatunya sedikit lebih lebar. Tubuhnya benar-benar mengecil. Sierra pasti akan segera menyadarinya. Ketika itu terjadi, Aelin harap bersamaan dengan dirinya jatuh sakit, sesuai rencana. “Putri, Anda sudah bangun?” Aelin menoleh ke pintu pada arah datangnya suara Sierra. Dia sengaja bangun lebih pagi agar dapat bersiap tanpa bantuan Sierra. Perubahan tubuhnya tidak boleh disadari terlalu cepat. “Putri? Eh—” Sierra terkejut melihat daun pintu di hadapannya terayun terbuka sebelum tangannya dapat mendarat untuk mengetuknya. Sang Putri muncul di hadapannya dengan tampilan yang sudah memukau; bergaun merah muda dan rambut dikuncir bak ekor kuda menggunakan pita senada. “Pagi, Sierra!” sapa Aelin ceria. Sierra mengerjap sekilas, bingung dan takjub bercampur padu. “Putri… sudah berdandan?” Aelin mengangguk. “Benar, aku bangun lebih pagi. Bagaimana? Apakah aku cantik?” Sierra turun, bersimpuh di hadapan Aelin agar wajahnya sejajar dengan sang Putri. Dia mengamati anak asuhnya sedetail mungkin, menerka-nerka apakah ia terluka akibat mengurus diri sendiri atau tiba-tiba saja Darcie menyiapkannya tanpa sepengetahuan siapa pun dengan cara terkasar yang pernah ada. Syukurlah, Aelin baik-baik saja. Sierra tersenyum, terkesan lega. “Cantik, cantik sekali. Apakah Putri bersiap-siap sendiri?” “Benar, aku ingin mandiri, aku sudah besar, bukan?” cengiran tersungging di wajah Aelin. “Aku tidak bisa selamanya bergantung pada Sierra dan bibi pelayan lainnya.” Kelegaan Sierra menghilang dalam sekejap tergantikan dengan kekalutan. “Siapa—tidak, mengapa Putri berpikir begitu? Tentu saja Putri dapat selamanya bergantung pada kami. Kami ada untuk Putri, akan selalu seperti itu.” Aelin memeluk leher Sierra, terkekeh. “Tapi, tidak ada salahnya untuk sesekali bersikap mandiri, bukan? Aku selalu ingin mencobanya, hehe.” Kekhawatiran Sierra meluruh usai dipeluk oleh Aelin. Dia tidak akan bisa membayangkan anak sekecil Aelin mengatakan sesuatu tentang kemandirian dan tidak boleh bergantung lagi pada orang lain. Pikirannya langsung tertuju pada Darcie saat Aelin mengatakan sesuatu semacam itu. Tentu saja itu tidak bagus bagi anak sekecil Aelin untuk tumbuh dewasa terlalu cepat. Ia baru delapan tahun, Sierra harus mulai lebih waspada lagi. “Aku akan pergi ke taman bunga, seperti biasa,” ujar Aelin usai melepaskan rengkuhannya pada leher Sierra. Sierra mengangguk. “Baik, berhati-hatilah, Putri. Jangan lupa untuk kembali saat jam makan siang tiba.” “Baik!” Kaki-kaki kecil Aelin segera membawa diri ke taman Istana Clementine. Menuju tempat teramannya dari segala hiruk-pikuk kehidupannya yang terlalu konyol untuk menjadi kenyataan. Dia masih memiliki ide untuk melibatkan Penyihir Agung guna memperbaiki kehidupannya dan Aelinna yang berantakan. Ide yang awalnya dianggap mustahil, kini digenggam erat sebagai salah satu rencana cadangan. Lagi pula, manusia tidak boleh merasa pesimis, bukan? “Astaga, baru sampai sini saja sudah terasa melelahkan,” keluh Aelin saat kakinya menginjak area taman istana, terengah-engah. “Yah, inilah yang kudapatkan dari membiarkan Darcie berulah.” Ketika Aelin hendak duduk di salah satu bangku kayu dekat air mancur, mata peraknya menangkap seekor kucing hitam sedang mendudukinya. Sebagai pecinta kucing, Aelin tidak bisa membiarkan diri untuk tetap tenang, matanya segera berbinar-binar bak menemukan sebongkah harta karun. Terlebih lagi, kucing hitam itu tampak jinak meski baru kali ini Aelin melihatnya berkeliaran di Istana Clementine. “Hei, meow!” sapa Aelin bak sedang menyapa seseorang. Dia menyapa lagi saat kucing itu menoleh. “Meow….” Aelin berlari kecil mendekati bangku, berusaha menangkap si kucing yang masih duduk di sana. Sayangnya, belum sempat dia berhasil mendekat, kucing itu bergerak pergi menuju pepohonan rindang di dekat ladang bunga. Tanpa berpikir panjang, Aelin berlari mengejarnya, melupakan fakta bahwa dirinya belum pernah memasuki area pepohonan rindang bak hutan kecil tersebut. “Hei, tunggu dulu!” seru Aelin pada si kucing yang terus berlari semakin jauh ke dalam hutan, tidak menaruh perhatian lebih pada pijakannya. Usai menerobos semak-semak, Aelin tersungkur menghantam tanah. “Aw!” Dia meringis merasakan sakit menerjang sekujur tubuhnya. Ringisannya menguat tatkala mencoba menekuk lututnya, ah, gawat sepertinya terdapat luka di sana. “Meow.” Aelin mendongak, terkejut melihat kucing hitam yang dia kejar berdiri di hadapannya. Tidak hanya kucing itu saja, ada sepasang kaki dewasa berdiri beberapa meter di belakang kucing. Buru-buru, Aelin bangkit duduk, lalu bertemu pandang dengan sepasang manik emas. Seorang pria dewasa, wajah yang sangat asing, begitu tinggi, dan berjubah hitam. Aelin tidak kenal, segera was-was. “S—Siapa?” gumam Aelin kebingungan. Pria itu menatap Aelin datar, tidak langsung menjawab. Tatapan datarnya menusuk relung pikiran Aelin seolah sedang membaca isinya. Kewaspadaan karena sosok asing itu membuat Aelin beringsut mundur, begitu takut untuk segera bangkit berlari. Lagipula, siapa orang itu hingga bisa berkeliaran bebas di istana? “Menarik sekali.” Aelin terkesiap. “Sangat menarik. Ini kekonyolan pertama yang kusaksikan di sepanjang hidupku.” Kucing hitam di dekat Aelin beringsut ke kaki pria jangkung itu, dia jadi mengerti bahwa pria itulah sang pemiliknya. Lantas, menyesal dan merutuk karena mengejarnya begitu saja secara sembarangan. Belum sempat terbebas dari penyesalan, pria di hadapannya mendekat dan berjongkok di depannya. Dalam jarak sedekat itu, Aelin dapat melihat wajahnya secara lebih jelas, pria itu tampan, sangat tampan. Aura yang ia bawa terasa mengerikan karena bulu kuduk Aelin sontak meremang saat ia mendekat. Dan meski Aelin belum tahu banyak tentang dunia ini, dia tahu pria di hadapannya bukan orang biasa. “Katakan padaku, siapa kau sebenarnya?” Tenggorokan Aelin tercekat oleh oksigen, dalam sekejap kehilangan suara. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD