BAB 9

1149 Words
Aelin memang cukup takut, namun dia tidak boleh bersikap terlalu lemah di hadapan orang lain. Pria bermata emas itu memang beraura menyeramkan dan mungkin saja bukan orang biasa, tapi Aelin perlu tegas pada dirinya sendiri bahwa dia harus berani demi Aelinna dan tekadnya. Jadi, dia bangkit berdiri meski harus merasakan nyeri pada lututnya yang terluka. “A—Aku tidak pernah melihatmu di sini,” ujar Aelin memberanikan diri. “Kau mencurigakan.” Wajah datar si pria berubah menjadi wajah angkuh menyorotkan kegelian seolah-olah Aelin baru saja mengatakan sesuatu yang konyol. Itu sedikit mencubit hati Aelin, merasa tidak begitu terima atas kesan dari pembawaan diri pria itu yang terkesan meledek. “Aku lebih takjub melihat Savvina kecil kembali. Wanita itu benar-benar kuat dalam segala hal termasuk gen, huh?” Kening Aelin mengerut. “Savvina?” Pria bersurai hitam acak-acakan itu menoleh mengamati sekitar sembari menggumamkan senandung yang lagi-lagi terkesan meledek. Tangan kanannya mengusap kucing hitam yang masih bergelayut di sebelahnya. Kucing itu memiliki manik senada seperti pemiliknya, Aelin baru tahu. “Hei, Bocah,” panggil si pria kasual membuat urat pelipis Aelin mencuat namun dia kembali suara sebelum Aelin dapat protes, “katakan, ini tahun berapa? Pada akhirnya, siapa yang berhasil menikahi ibumu? Si bodoh Sergios atau si naif Rafail?” Mengapa pria aneh ini membicarakan kisah pribadi pemimpin Neuchwachstein ke-78 secara sembarangan? Lagi pula, memangnya dia sebodoh apa sampai tidak bisa membaca tanggal dan tahun? Lebih penting lagi, mengapa Aelin harus berhadapan dengan pria asing antah berantah yang tidak sopan ini? “Ini tahun 2008, Tuan Aneh. Dan aku bukan bocah, aku memiliki nama,” jawab Aelin dongkol. “Kenapa pula kau membicarakan leluhurku sekasual itu? Meskipun kau seorang bangsawan maupun anggota kekaisaran lain, kau tetap harus menggunakan honorifik mereka dengan sopan.” Giliran pria itu yang mengerutkan kening, sorot matanya terheran-heran menatap Aelin. “Leluhur? 2008?” Alis Aelin naik sebelah, ikut heran. “Apa?” Pria itu memandang sekitar sekali lagi seolah sedang memastikan jawaban Aelin meski hanya ada pepohonan di sekitar mereka. Pikirannya berkecamuk sendiri memikirkan jawaban Aelin yang tampaknya tidak bisa dia terima, dan Aelin tidak mau tahu apa isi pemikirannya. Aelin ingin cepat-cepat kembali ke Istana Clementine sebelum sesuatu yang buruk dapat terjadi padanya. Ia tidak tahu pria bermanik emas ini siapa dan sepertinya ia tidak mau tahu lagi, ia tidak ingin berurusan dengan orang aneh. “Astaga,” gumam pria itu, terkesan mengeluh, “aku tidur selama itu?” Aelin melengos, berbalik badan, hendak melangkah namun tangan kirinya ditahan oleh pria itu. Dia segera menoleh dengan kejengkelan yang semakin menjadi. “Tolong lepaskan aku.” “Kau belum menjawab pertanyaanku.” “Apanya, huh?” “Siapa yang Permaisuri Gila itu nikahi?” Aelin menarik napas panjang dan dalam, mengumpulkan segala titik-titik kesabaran terakhir dalam dirinya. “Pangeran Rafail Michail Kallakis dari Kerajaan Fablehaven.” “Aku tahu itu akan terjadi!” sosor pria itu heboh, terkesan jengkel. “Erasmus selalu berkata Sergios yang akan menang padahal wanita gila itu sudah menyukai Rafail sejak masih ingusan. Taruhan ini kumenangkan.” Aelin melengos, mencoba menarik lengannya dari cengkeraman pria aneh itu. “Sekarang bisakah kau melepaskan tanganku? Aku tidak tahu kau siapa tapi pergilah dari sini sebelum kesatria patroli menemukanmu. Aku tidak akan mempermasalahkan kelancanganmu dalam menyebut leluhurku, jadi pergilah sebelum aku berubah pikiran.” “Apa? Kau tidak tahan dengan luka di lututmu itu, huh? Cengeng seperti leluhurnya.” Pria itu menjentikkan jari kanannya, dalam sekejap rasa perih di lutut Aelin sirna. Gadis itu menunduk menemukan luka menganga di lututnya telah menghilang, hanya ada cahaya kehijauan berseri-seri bergumul di sana yang ikut meluntur. Mulutnya segera terbuka, tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Apakah pria aneh dan tidak sopan itu baru saja menyembuhkan lukanya menggunakan sihir?! “Lukanya….?” Aelin menoleh pada pria yang kini seringai arogannya melebar. “A—Apa yang kau lakukan? Kau… penyihir?” Akhirnya, pria itu melepaskan tangan kecil Aelin. Bahunya mengedik cuek. “Hanya orang biasa yang kebetulan jenius dan berbakat.” “Narsis sekali.” Pria itu kembali menjentikkan jarinya, memunculkan hamparan bunga dandelion di sekitar mereka dalam sekejap. Kuncup-kuncupnya segera terbang terbawa angin, membuat Aelin terpesona karena keindahannya. Untuk sesaat dia melupakan pria aneh di hadapannya akibat terdistraksi oleh kuncup dandelion. Ketika dia ingin menyentuh kuncup yang berterbangan, tiba-tiba saja itu semua menghilang. “Huh?” gumam Aelin terkejut. Dia menoleh ke sekitar, hamparan dandelion juga menghilang. Lalu menoleh pada pria penyihir di belakangnya. “Apa yang kau lakukan, sih?” “Apa juga yang kau lakukan? Takjub seperti bocah saja.” “Aku memang anak kecil!” Pria itu mendengus. “Entahlah. Keturunan Savvina pasti sama gilanya dengan dia.” “Tidak bisakah kau berhenti mencela leluhurku?” Tidak menjawab, pria itu bangkit berdiri dan merenggangkan sendi tubuh. Kucing hitam di kakinya kini duduk sambil menjilat kakinya, sumber penyesalan utama Aelin saat ini. Dia harus belajar untuk lebih mawas diri agar tidak terjebak ke dalam situasi sepelik ini lagi. Mungkin sekarang dia cukup beruntung karena pria penyihir aneh itu tidak seberbahaya dugaannya. Keberuntungan semacam itu tidak akan datang dua kali. “Jadi, sekarang pemerintahan siapa?” tanya pria itu usai mengamati sekitar, menunduk pada Aelin yang hanya setinggi pinggangnya. “Kaisar Aristaios, singkatnya Kaisar Ares,” jawab Aelin, nama itu terasa getir di lidahnya. “Kau Putri Mahkotanya?” Aelin membuang muka senatural mungkin. “Itu adikku, Putri Arnemesia.” Pria itu menggumamkan sesuatu sebelum membalas, “Yah, aku tidak ingin tahu konflik kekaisaran. Asal kau tahu saja, takhta bukan segalanya. Jangan mengikuti jejak leluhurmu yang lain, Antonio dan Corina. Aku tidak ingin membuang-buang manaku untuk urusan tidak penting lagi.” Aelin kembali menoleh padanya dengan wajah berbinar. “Benar kau seorang penyihir!” “Terserah kau ingin menyebutnya apa.” Pria itu menunduk seraya menjulurkan kedua lengannya, membuat kucing hitam di kakinya melompat ke dalam rengkuhannya. Surai hitam segelap langit malamnya terusap oleh angin. Manik emasnya menyimpan isi pikirannya yang mungkin mengandung jutaan rahasia dunia ini. Aelin tidak ingin tahu siapa ia dan bagaimana ia bisa berkeliaran di dalam wilayah istana kekaisaran, tapi kini dia mulai merasa gatal untuk menanyakan banyak hal terkait masalahnya dengan dunia fantasi ini. Pria itu seorang penyihir, ia pasti tahu banyak hal, bukan? “Putri! Putri Aelin, Anda di mana?!” Aelin terkesiap, lamunannya buyar oleh teriakan Sierra yang datang dari kejauhan. Oh, tidak, sudah berapa lama Aelin di tengah hutan kecil bersama pria penyihir itu? Bukankah tidak selama itu untuk sampai membuat Sierra mencari-cari dirinya? “Hmm, jadi namamu Aelin.” Aelin menoleh ke si penyihir yang masih menyunggingkan seringai. Belum sempat dia membuka suara, telunjuk kanan pria itu menyentuh keningnya tanpa aba-aba. Kesadarannya segera tertarik oleh sesuatu, membuat kakinya melemah hingga tubuhnya tersungkur begitu saja di rerumputan. Dalam detik-detik terakhir sebelum matanya tertutup sempurna, wajah arogan penyihir itu menjadi hal terakhir yang dia lihat diiringi suara baritonnya. “Dasar rubah kecil, seperti leluhurnya.” TO BE CONTINUED         
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD