“Putri…! Saya mohon, buka mata Anda.”
“Putri Aelinna!”
Gendang telinga Aelin terisi oleh suara-suara kesedihan di sekelilingnya, membuatnya kebingungan mengenai apa yang mereka sedihkan. Kepalanya mulai terasa sakit tatkala mencoba memikirkannya sehingga menuruti mereka untuk membuka mata, anehnya kelopak matanya tak mematuhi komandonya sama sekali, sungguh lengket tertutup seolah ada yang mengolesi lem di sana. Itu membuat Aelin kian pening karena tidak bisa membuka mata di saat dia menginginkannya.
Apa-apaan ini? Mengapa aku tidak bisa membuka mata? Apakah aku mati? Tidak, aku masih memiliki kesadaran, telingaku juga mendengar. Lalu, kenapa? batin Aelin kebingungan. Siapa pun bersuaralah lagi!
Indra perasa Aelin juga masih berfungsi. Dia merasakan tubuhnya terbaring di ranjangnya seperti biasa. Tertutupi oleh selimut bulu angsa berkain sutra tebal sementara dirinya dibalut oleh gaun tidur katun. Permasalahan pada dirinya hanyalah kelopak mata yang tak bisa dibuka meski dia berusaha sekuat tenaga. Benar-benar aneh.
“Apa yang kalian lakukan? Hanya sampai sini saja kemampuan Penyihir Kekaisaran?”
Suara siapa itu? Itu asing di telinga Aelin. Dari suaranya, tampaknya ia adalah pria muda berusia penghujung dua puluh sampai awal tiga puluhan. Istana Clementine tidak pernah disinggahi oleh laki-laki, lantas siapa?
“Dengan segala hormat, saya memohon ampun atas ketidakbecusan kami, Yang Mulia. Kami telah berusaha semaksimal mungkin namun tetap tidak ditemukan tanda-tanda penyakit pada diri Putri Aelinna. Putri sungguh seperti hanya sedang tertidur saja—”
Eh? Yang Mulia?
“Dia sudah seperti itu selama satu bulan! Kau pikir manusia bisa tidur selama satu bulan penuh tanpa alasan yang jelas?!”
“Tenangkan diri Anda, Yang Mulia—”
“Jika kalian masih tidak bisa membangunkannya, kusimpulkan kalian merelakan diri menjadi santapan pedangku!”
“Ampuni kami, Yang Mulia!”
Aelin mati kutu dalam pembaringannya, tidak dapat mempercayai pendengarannya sendiri. Dari kegaduhan singkat itu, tidak salah lagi, pria yang sedari tadi memarahi para penyihir kekaisaran adalah sang Kaisar; Ares. Pria yang terdengar sangat marah atas kinerja buruk penyihir tak dapat membangunkan Aelin bak seorang ayah menyayangi putrinya. Tidak bisa dipercaya. Mana mungkin Ares mempedulikan Aelin, pria itu telah meninggalkan putrinya sejak lahir tanpa pernah memperhatikan hidupnya di Istana Clementine. Mengapa sekarang tiba-tiba saja ia sangat peduli?
Suara pria yang lain itu pasti suara Dion. Aelin tidak membenci Dion sama sekali, namun dia tidak ingin terus-menerus bersinggungan dengannya. Dia tidak boleh lupa bahwa pria itu adalah tangan kanan Ares yang kepatuhannya menyaingi anjing.
“Penggal kepala wanita tua itu.”
Jika saja Aelin dapat membuka mata, manik peraknya pasti akan melotot mendengar perintah keji itu.
“Penggal semua pelayan yang satu kubu dengan Darcie Anglo. Sepertinya aku terlalu lembut sampai banyak yang buta terhadap kedudukan anggota kekaisaran.”
Rencanaku tidak seperti ini, tapi terserahlah! Bagus, Ares! Singkirkan mereka semua dari istana ini, jangan membuat Sierra dan yang lain menderita lebih lama lagi! sorak Aelin penuh kelegaan.
Kendati demikian, Aelin masih merasa bingung atas apa yang menimpa dirinya. Dia tidak sakit, tidak ada rasa sakit di tubuhnya. Momen terakhir dia menutup mata adalah saat tiba-tiba pingsan di hadapan penyihir aneh di hutan kecil Istana Clementine. Kesadaran segera menghantam pikiran Aelin. Benar, penyihir itulah yang membuatnya pingsan usai menyentuh keningnya. Aelin tidak tahu pasti apa yang ia lakukan, namun sentuhan itu jelas-jelas menarik kesadarannya ke dalam kegelapan.
Kini, Aelin mendengar dia telah tertidur selama satu bulan penuh usai kejadian itu? Sungguh, apa yang sebenarnya terjadi?
Terdengar suara pria lainnya yang Aelin duga seorang kesatria. “Yang Mulia, terdapat penyihir kecil datang memenuhi panggilan untuk menangani Putri Aelinna.”
“Penyihir kecil?” balas Ares dingin, terkesan menahan murka karena rasa skeptis.
“Dia masih sangat muda. Mungkin… seusia Putri Aelinna.”
Ares mendecak keras. “Bagaimana dia bisa menjamin dia penyihir yang handal untuk dapat menangani putriku?”
“Dia berkata dia adalah penyihir pengembara dari wilayah The Eternity Forest sehingga dia meyakini kemampuannya telah cukup handal.”
Terjadi jeda selama sepersekian detik sebelum terdengar suara baru lagi.
“Seluruh berkah dan kesejahteraan untuk Neuchwachstein dan Kaisar Ares. Perkenalkan, nama saya Saga. Sesuai kesaksian, saya penyihir pengembara dari wilayah The Eternity Forest.”
Aelin susah payah menelan ludah, tidak perlu membuka mata mau pun menerka-nerka dia yakin penyihir kecil bernama Saga itu pasti orang yang sama dengan penyihir aneh pada pertemuan terakhir mereka!
“Jaminkan kepalamu.”
Apa kau gila, Ares?! Begitukah sikapmu kepada orang yang ingin menyelamatkan putrimu sendiri?! sembur Aelin tidak habis pikir.
“Tentu saja, saya bersedia memberikan nyawa saya jika saya ternyata tidak cukup handal untuk menyembuhkan Putri Aelinna.”
Apa-apaan nada bicara penuh kesedihan palsu itu? Kaulah yang membuatku begini!
Tidak membuang-buang waktu, semua orang segera angkat kaki dari kamar Aelin agar Saga dapat turun tangan. Hati Aelin merutuk, ingin sekali membuka mata dan berteriak pada mereka bahwa penyihir kecil itulah pelaku atas kondisi anehnya. Sayangnya, membuka mata pun tak bisa apalagi bersuara. Jadi, segalanya seolah berjalan sesuai skenario Saga dan entah apa yang penyihir aneh itu inginkan dari berbuat hal semacam ini.
“Bangun, Putri Tidur.”
Seolah terbebas dari ikatan tali, kelopak mata Aelin dapat bergerak lagi usai keningnya diketuk oleh Saga. Napas gadis itu sedikit terengah akibat sensasi aneh menjalar sekujur tubuhnya. Tidak ingin menoleh, namun dia harus menoleh, dia bersitatap dengan si penyihir aneh di hutan Istana Clementine. Manik emas dan surai hitamnya begitu familiar, begitu juga aura dinginnya yang selalu berhasil membuat bulu kuduk Aelin meremang. Kesampingkan itu semua, ekspresi arogan yang menyebalkan itulah yang membuat Aelin jengkel.
“Hei, kau ingin tidur lagi, huh?” protes Saga tatkala Aelin kembali menutup mata usai bersitatap dengannya. “Mau kubawakan pangeran dari kerajaan lain? Kau suka pangeran kerajaan mana? Deltora? Fablehaven? Xanadu?”
Dalam sekejap, Aelin bangkit duduk dan mendelik pada Saga. “Kau tidak bisa memberikan waktu untuk merenung? Aku masih bingung atas apa yang terjadi, aku juga kesal karena sakit kepala! Kenapa kau malah berada di sini—eh?”
Aelin menunduk, dalam sunyi merasakan kepalanya tidak sakit lagi.
“Kau berutang nyawa padaku,” cetus Saga membuat Aelin menoleh terkejut.
“Nyawa? Aku sehat-sehat saja, kaulah yang membuatku pingsan di hutan.”
Saga melipat tangan, mendengus. “Ya, kalau aku tidak melakukan itu, kau sudah mati karena jantungmu meledak, cepat atau lambat. Aku mencegah itu terjadi.”
Aelin termenung, kian kebingungan. “Aku tidak mengerti….”
“Yah, orang aneh sepertimu mana bisa mengerti hanya dengan penjelasan singkat.”
“Hei, tidak sopan—”
Saga menyeringai lebar. “Bersiaplah, Putri Aneh. Mulai sekarang, kau harus menghiburku dengan kehidupan anehmu itu.”
TO BE CONTINUED