BAB 23

1083 Words
Sighard Morrison kembali menemani Arne pada akhir pekan untuk jamuan teh di rumah kaca taman Istana Hampstead. Duke yang menguasai wilayah Osharia itu memang cukup gemar menemani cucunya. Tidak peduli seberapa sibuk dirinya, dia akan selalu menyisihkan waktu untuk Arne. Itu tidak dilakukan atas dasar keinginan Arne, melainkan murni kasih sayangnya terhadap cucu satu-satunya. Lantas, jika dilihat oleh mata awam, Arne lebih dekat dengan sang kakek daripada ayahnya. “Arne, sebentar lagi kau akan berulangtahun, bukan? Tahun ini, hadiah apa yang kau inginkan?” tanya Sighard usai menyesap teh. Arne tersenyum. “Tidak ada yang begitu kuinginkan, Kakek.” “Jangan begitu, pasti ada yang kau inginkan. Kakek akan berusaha memenuhinya.” Arne rasa, bukan hal bagus untuk memberi tahu Sighard perihal Ares memperbolehkan Aelin menyusuri kota sebagai bentuk hadiah ulang tahun gadis itu beberapa minggu lalu. Kabar yang masih menggemparkan seisi istana dan mungkin telah menjadi buah bibir di kalangan bangsawan. Lagi pula, siapa yang ingin ketinggalan berita Istana Kekaisaran? Arne yakin perubahan sikap Ares kepada Aelin juga telah menjadi buah bibir di luar sana. Namun, entahlah dengan kakeknya, apakah ia juga mengetahuinya atau tidak masih menjadi tanda tanya. Haruskah Arne mencoba membicarakannya? “Aku… ingin pergi ke kota,” ungkap Arne cukup pelan seolah sedang berbisik, cukup takut dengan reaksi Sighard. “Kota?” ulang Sighard terdengar terkejut sekaligus skeptis. Arne segera membuang muka usai melihat raut skeptis sang kakek. “Maksudmu, Narfort? Mengapa tiba-tiba sekali? Kau tahu aturan bahwa Pangeran dan Putri Neuchwachstein dilarang keluar dari istana kecuali berkepentingan, bukan?” Arne mengangguk, jemarinya mengusap cangkir dengan tidak tenang. Dia menoleh ke cangkirnya. “Aku tahu, tapi… aku ingin mencoba setidaknya satu kali. Aku penasaran….” Sighard menghela napas pendek. “Ketika aku berpikir kau pasti menginginkan sesuatu, aku tidak menduga itulah keinginanmu. Terlalu sulit, Arne.” Arne tidak membalas. Benaknya bertanya-tanya, apakah memang sesulit itu? Jika Aelin bisa, seharusnya dia juga bisa, bukan? Terlebih lagi, dia adalah Putri Mahkota, bukankah seharusnya apa pun keinginannya dapat dipenuhi? Maka, seharusnya bukan hal yang mustahil untuk memenuhi keinginan Arne pergi ke kota. Namun, sekali lagi, Ares telah berubah. Pria itu seperti lebih memedulikan Aelin daripada Arne. Untuk mempertanyakan sikapnya saja tidak bisa karena Kaisar tidak boleh dipertanyakan keputusannya oleh siapa pun. Arne pun masih ingat bagaimana dinginnya pria itu saat dia dipergoki menginjakkan kaki di Istana Clementine. Sebegitu kerasnya Ares padanya, bertimpang dengan perilakunya pada Aelin hingga sedikit demi sedikit Arne merasa posisi dirinya mulai tergantikan oleh Aelin meski jabatan Putri Mahkota masih miliknya. “Apakah ini ada kaitan dengan apa yang Yang Mulia lakukan pada Putri Pertama di Istana Selir?” Pertanyaan Sighard membuat Arne tersentak, spontan mendongak padanya dengan mata sedikit membulat. “Apa?” Raut hangat Sighard telah berganti menjadi kesal. Pria berusia setengah abad itu tidak pernah terlihat marah di depan Arne, jadi itu membuat Arne sedikit takut menatapnya. Gadis itu mulai menimbang apakah keputusan yang salah untuk membeberkan perilaku Ares terhadap Aelin kepada Sighard? “Kau mungkin tidak tahu, Arne. Tapi, kabar mengenai Yang Mulia tiba-tiba mempedulikan Putri Pertama telah beredar luas di kalangan bangsawan,” tutur Sighard serius. “Yang Mulia sampai mengangkat penyihir kecil menjadi Penyihir Kekaisaran demi memantau kesehatan Putri Pertama, itu benar-benar aneh dan terlalu berlebihan. Selama ini tidak dihiraukan, lalu mengapa sekarang berubah?” Arne mengerjap pelan. “Semua orang mengetahuinya?” “Tentu saja. Kakek mungkin tidak pernah dekat dengan Yang Mulia, tetapi apa pun yang terjadi di Istana Kekaisaran tidak akan pernah terlewatkan oleh telinga Kakek.” Arne menunduk pada cangkir, tak dapat menyembunyikan kesedihannya. “Kuharap orang-orang tidak berbicara buruk tentang Ayah.” Arne tahu apa yang terjadi pada mereka yang pernah menggunjingkan Ares. Itu bukan sesuatu yang indah untuk diingat, jadi dia selalu berusaha melupakannya dan berujung sia-sia. Dia tidak ingin ada korban lain agar Ares tidak dipandang keji lagi walaupun itu juga mustahil karena Ares tidak pernah mengubah cara menghakimi kesalahan seseorang. Terlalu naif untuk berpikir Ares akan bersikap baik dan lebih lembut. “Seharusnya bukan itu yang kau pikirkan sekarang, Arne,” tegur Sighard bernada semakin serius, “pikirkan bagaimana posisimu di mata Yang Mulia saat ini. Jangan sampai kau tergantikan oleh Putri Pertama yang tidak pantas itu.” Bibir Arne menipis. “Aku tahu, Kakek. Aku sudah memikirkannya. Tetapi, aku tidak tahu harus melakukan apa. Ayah memarahiku saat aku tidak sengaja tersasar ke Istana Clementine.” “Yang Mulia memarahimu?!” Arne tersentak mendengar nada Sighard naik satu oktaf. “Semua kabar itu benar dan malah mulai mengarah semakin buruk? Bagaimana bisa? Yang Mulia tidak pernah memarahimu!” Arne mendongak, mengangguk pelan. “Ya, ini pertama kalinya Ayah memarahiku meski aku tidak sengaja melakukannya. Mungkin kurasa aturan dilarang pergi ke Istana Clementine memang sepenting itu sampai—” “Apa yang kau bicarakan, Arne?” sela Sighard tegas. “Kau adalah Putri Mahkota, kau tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Jika ada yang harus disalahkan, maka Putri Pertamalah orangnya!” “Kakak? Kenapa—” Sighard mendelik tajam, kembali menyela. “Jangan pernah memanggilnya dengan sebutan itu, Arne. Dia bukan kakakmu, dia tidak pantas. Lihat apa yang dia lakukan padamu sekarang, merebut perhatian Yang Mulia darimu.” Arne baru tahu setidaksuka inilah kakeknya kepada Aelin. Dan mungkin semua bangsawan berpandangan demikian. Dia telah hidup bertahun-tahun di Istana Kekaisaran sebagai Putri Mahkota sembari mengamati betapa banyak orang-orang yang tidak menyukai Aelin, termasuk para pekerja istana. Jika ada kesempatan, Arne dapat mencuri dengar beberapa orang menggunjingkan Aelin dengan tidak terhormat lalu mereka akan berhenti saat menemukan figur Arne. Arne pikir itu semua terjadi karena Aelin adalah putri dari seorang selir dan ditinggalkan di Istana Clementine oleh Ares tanpa rasa peduli. Arne mulai berpikir itu semua bukanlah hal yang adil hingga detik ini dia menyadari bahwa eksistensi Aelin mulai terasa mengancam dirinya. Aelin sangat mampu merebut perhatian Ares hingga membuatnya mengucilkan Arne dalam sekejap. Arne tidak pernah menyadari skenario semacam itu, betapa bodoh dirinya sekarang. Sighard benar. Arne tidak perlu memedulikan Aelin lagi. “Baik, aku mengerti, Kakek. Maafkan aku,” ujar Arne, membulatkan keputusannya bahwa memedulikan Aelin hanya akan membawa malapetaka untuknya. “Aku tidak ingin bersikap buruk padanya, tetapi apa yang Kakek katakan benar. Aku harus lebih waspada menjaga kedudukanku.” Sighard menghela napas panjang. “Baguslah kau sadar dengan cepat. Tidak apa-apa, jangan diulangi lagi. Kakek menyayangimu dan ingin yang terbaik untukmu, Arne. Kakek tidak akan pernah meninggalkan cucu kesayangan Kakek sendirian.” Ah, betapa beruntungnya Arne memiliki kakek seperti Sighard. Setidaknya, dia tahu dia dapat mengandalkan beliau lebih dari siapa pun.     TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD