Bagai disambar petir, sendok di tangan Aelin spontan terjatuh usai mendengar pertanyaan krusial yang akhirnya dilontarkan oleh Ares. Sekuat tenaga bersama sisa-sisa keberanian kecil, Aelin membalas tatapan dingin Ares dengan muka yang tidak bisa tersenyum palsu lagi. Mata perak mereka saling beradu dengan sorot masing-masing. Sejuta pemikiran disembunyikan di balik mata mereka, tak membiarkan lawan bicara mengetahuinya.
Adegan ini tidak tercantum di novel dan Webtoon karena alur novel dimulai saat Arne berumur tiga belas tahun. Hal-hal yang terjadi di masa kecil tidak tertampilkan. Maka, Aelin asumsikan peristiwa ini juga dilalui oleh Aelinna sebagai ujian dari Ares. Pria itu ingin mengetahui bagaimana reaksi Aelinna saat pertama kali bertemu dengannya. Namun, benarkah seperti itu? Apakah Aelin tidak berasumsi berlebihan? Dia tidak boleh sembarangan jika tak ingin nyawanya tetap aman.
Namun kemudian, tatapan tajam Ares semakin mengerikan seiring Aelin terlalu lama menjawab. Pria itu memang diam tetapi anehnya ia seolah dapat mengatakan apa pun melalui sorot serta ekspresi datarnya. Dan harus Aelin ingat-ingat lagi bahwa Ares bukanlah tipikal insan penyabar. Dia harus segera melalui ujian ini dengan benar!
“A—Ayahanda….”
Aelin ingin mengubur diri, jantungnya merosot seolah berhenti berdetak dan itu semakin parah karena Ares tidak bereaksi sama sekali. Pria itu tetap pada posisinya yang bak hakim mengadili tersangka dengan tatapan tanpa ampun. Tidak bisa, Aelin tidak bisa mempertahankan kepolosan palsunya lagi. Ares terlalu menakutkan, Aelin tidak sanggup menghadapinya, dia ingin segera pergi dari sini—
“Hmm.”
Apa itu?
Apa… aku berhasil? batin Aelin menatap ekspresi Ares tampak sedikit mengendur dari sebelumnya. Tidak, tidak, aku tidak boleh langsung berasumsi. Ini adalah Ares! Kaisar Keji yang tidak segan mengambil nyawa orang lain! Apa aku harus mencoba peruntunganku yang sangat buruk ini? Tidak! Tapi—
“Sepertinya ayahmu lumayan menyayangimu, huh.”
Sepertinya Aelin akan gila karena untuk sesaat ingin langsung mempercayai ucapan Saga. Dia tahu penyihir aneh itu sering mengusil dengan celetukan-celetukan menyebalkannya sehingga sebuah kesalahan bila ingin mempercayai lelaki itu. Lagi pula, Aelinlah yang paling tahu bagaimana alur kehidupan ini akan berjalan, dia tidak boleh sembarangan mempercayai seseorang yang bahkan tidak muncul di dalam novel dan baru pertama kali mengenal Ares.
Kendati demikian, Aelin juga tidak bisa selamanya diam. Ares masih menunggu respon selanjutnya. Dia harus segera melakukan sesuatu sebelum pria itu memutuskan dirinya pantas untuk dibunuh sebagai aib kekaisaran!
“Papa?”
Hening.
Ares masih tidak bereaksi!
Tidak bisakah kau mengatakan sesuatu?! Walau dibilang aku kehabisan kata-kata, tetap saja, “Papa”? PAPA?!! Demi siapa pun yang pencipta di dunia ini, sampaikanlah bahwa di sini dalah kuburanku. Lebih baik minta dibunuh sekalian! Bunuh sekalian! rutuk Aelin frustasi tiada tara. Harusnya aku puji-puji saja…!
Di tengah gejolak frustasi Aelin, Ares sedikit memiringkan kepala menatapnya. Raut datar dan dinginnya telah mengendur seutuhnya, setidaknya menurut Aelin. Tatapannya tidak setajam sebelumnya dalam mengamati Aelin. Itu membuat kegundahan Aelin mereda, mulai melihat ada secercah harapan dapat diraih.
Tunggu, kalau dipikir-pikir, Ares menyukai Arne, bukan? Aelin menelan ludah yang tidak terasa telah menggumpal di kerongkongannya. Kalau begitu… kalau memang begitu… kalau hanya untuk menarik perhatian….
Aelin memasang senyum manis dan polos dengan beribu keimutan palsu dari biasanya. “Papa!”
Dan Ares masih tidak bereaksi.
Tolong siapa pun katakan padaku aku tidak sedang mengibarkan bendera kematian baru!
***
Ketika Aelin kembali ke Istana Clementine bersama Dion, istana itu sedang kacau balau karena sang Putri yang tiba-tiba menghilang. Seluruh pelayan syok melihat gadis kecil yang mereka cari-cari tiba-tiba saja kembali dalam rengkuhan ajudan pribadi Kaisar, Dion Ollivander. Sierra menjadi pihak yang menanggung syok terbesar. Ia merebut Aelin dari Dion dengan kemarahan besar dan tatapan mengancam.
Meski begitu, reaksi para pelayan terbagi menjadi dua kubu antara kelompok syok dan senang. Sepertinya mereka senang melihat Aelin sedikit demi sedikit kian dekat dengan Ares. Siapa pula yang tidak senang melihat hubungan ayah dan anak membaik?
Aelin mencoret catatan rencana di kertas yang selama ini dia sembunyikan sebagai diari pribadi. Rencana A, tidak ketahuan oleh Ares dan tinggal terkurung dalam Istana Clementine sampai akhir hayat, dicoret. Dia jadi sadar bahwa dirinya terlalu menggampangkan situasi yang mengurungnya sekarang. Dia tidak tahu bahwa Istana Kaisar dan Istana Clementine sedekat itu hingga mudah untuk tersasar di antara keduanya. Lagi pula, fakta itu tidak pernah tercantum di novel!
Rencana B, mengumpulkan uang untuk kabur keluar sebelum berumur 17 tahun, dicoret. Meski rencana itu masih berpotensi berhasil, dia tidak bisa mempercayainya lagi. Setidaknya untuk saat ini Aelin tahu bahwa sepertinya Ares tidak akan langsung membunuhnya meski mereka bertemu 4 tahun lebih cepat.
“Aku harus kembali mengumpulkan barang-barang cantikku. Saat keluar dari istana, aku bisa menyamar sebagai pelayan dan keluar lewat jalan kecil,” gumam Aelin seraya menekuk lutut dan menyandarkan wajahnya di sana. Dia kembali menulis di kertas. “Untuk antisipasi….”
Rencana C, berusaha keras bersikap imut untuk meluluhkan hati Ares.
Aelin terpaku tak berdaya menatap tulisannya. Tidak bisa mempercayai segala kekacauan ini berujung pada rencana yang memuakkan. Berhadapan dengan Ares saja sudah memakan banyak tenaga, apa lagi harus bersikap imut padanya! Bahkan Aelin tidak pernah yakin bahwa pria keji itu memiliki hati yang mudah luluh! Ini adalah Ares, Kaisar Neuchwachstein yang tercatat sebagai kaisar terkeji sepanjang sejarah, pria itu tidak segan mengambil nyawa siapa pun termasuk perempuan dan anak kecil!
“Tapi, buktinya aku selamat, masih dapat berbaring di ranjang empuk ini…,” rutuk Aelin mulai dilema.
Tidak tahan dengan gejolak diri, Aelin memberontak di ranjang selama beberapa sekon guna melampiaskan emosi yang selama ini bercampur aduk namun ditahan habis-habisan. Dia menyimpan diarinya di bawah bantal, tidak ingin turun dari ranjang lagi akibat paranoid bertemu dengan Ares. Kemudian, berbaring bersiap tidur, ingin melupakan segala hal yang terjadi pada hari ini.
Manik perak Aelin terpancang pada jendela, menatap langit malam di luar yang tiada bintang, sepertinya akan hujan.
“Jika saja ada Leia di sini, dia akan mendengarkanku,” gumam Aelin, menerawang jauh mengenang sahabatnya yang selalu setia menjadi tempat berkeluh kesah meski tidak pernah tahan mendengar keluhan Aelin tentang “Trash of The Imperial Family”. “Aku merindukannya.”
Aelin tahu bagaimana reaksi Leia jika gadis itu mengetahui kondisi Aelin sekarang. Ia pasti akan menyangkal dan menuduh Aelin berbohong sebelum kemudian syok hingga tak memiliki pilihan selain percaya. Aelin rindu momen-momen mereka, berharap itu semua dapat diulang kembali.
Sayangnya, tidak akan ada lagi.
TO BE CONTINUED