BAB 14

1190 Words
Usai melalui banyak pergelutan batin selama dibawa pergi oleh Ares dan Dion, perjalanan berakhir di sebuah meja teh dinaungi pohon cemara besar. Sebelumnya, mereka telah melewati berbagai taman Istana Kaisar yang memiliki pesona juga keindahan masing-masing hingga Aelin sempat berpikir tujuan mereka ada pada salah satu dari taman tersebut. Namun, langkah Ares tetap lurus melewati mereka dan berakhir di meja teh sederhana yang jauh dari taman-taman tersebut. Aelin didudukkan di satu kursi, berhadapan dengan kursi milik Ares. Seorang pelayan segera menata teh dan kue di meja tanpa Ares perintahkan. Sementara, Dion berdiri tidak jauh dari mereka selaku pengawal yang bersiaga. Usai pelayan menata isi meja, ia menyingkir ke sebelah Dion, meninggalkan Ares dan Aelin berdua dalam atmosfer kecanggungan yang menyesakkan. Kue-kue berkualitas di meja tidak dapat menggugah selera Aelin sama sekali. Gadis itu ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Ares sebelum tatapan pria itu semakin menusuk sanubarinya. Lagi pula, Aelin tidak mengerti apa maksud Ares tiba-tiba mengajaknya bercengkrama bersama-sama di luar. Pria itu tidak memedulikannya, bukan? Ia tidak pergi ke Istana Clementine lagi usai Aelin sadarkan diri dari koma panjangnya. Ia juga tidak melakukan apa pun dengan berusaha meminta kabar Aelin atau sejenisnya. Lantas, apa yang pria itu inginkan sekarang? Minum teh seperti ini? Bahkan saking takutnya, Aelin mulai berpikir teh di hadapannya berisi racun yang akan merampas nyawanya dalam sekejap. “Kau tidak suka kue?” cetus Ares memecahkan keheningan, sedikit mengejutkan Aelin. Berusaha tidak kaku dan menahan gemetar, Aelin meraih kue stroberi lantas menjawab, “Tidak, saya menyukainya. Terima kasih banyak, Yang Mulia.” Menepis segala prasangka negatif, Aelin melahap kue yang diduga secara sembarangan mengandung racun akibat ketakutan. Segala omong kosong itu segera sirna sesaat setelah lembutnya kue dan krim stroberi meleleh dalam mulutnya. Lantas, karena rasanya enak Aelin tidak lagi menaruh curiga lagi. Hitung-hitung juga sebagai pengalih perhatian dari ketakutannya terhadap tatapan tajam Ares yang sepertinya tiada akhir. Curi-curi lirik, Ares tidak melakukan apa pun selain menyandarkan rahang pada tangannya yang menyiku di meja. Tatapannya kosong ke arah lain seolah memikirkan sesuatu atau mungkin… mengantuk? Ekspresi semacam itu sudah lazim di Webtoon karena Ares memang dideskripsikan selalu diam dan tak berekspresi. Tatapan tajamnya adalah ciri khas utamanya selain ketampanan yang membingkai wajahnya. Selebihnya, Ares memang menyeramkan. Haruskah Aelin mengubah rencana? Apakah sikap Ares saat ini dapat dijadikan patokan yang menjamin keselamatannya jika rencananya diubah? Aelin sudah memikirkan hal ini sejak awal namun memilih menguburnya dalam-dalam karena tidak bisa mempercayai keambiguan Ares. Kendati demikian, jika Ares bersikap seperti ini kepada Aelin bukankah Aelin dapat sedikit mempercayai bahwa pria itu tidak berniat membunuhnya—setidaknya untuk saat ini? Jadi, jika itu bisa dikembangkan lagi, hasilnya pasti sempurna, bukan? Entahlah, bahkan aku terlalu takut berhadapan dengannya. Dia sangat ringan tangan dalam mengambil nyawa orang lain, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika aku tidak sengaja salah sikap, rutuk Aelin di sela melahap potongan terakhir kue.    “Pendiam sekali.” Aelin nyaris tersedak mendengar Ares kembali bersuara. Kini, pria itu menatapnya lurus dengan wajah tak berekspresinya yang tidak ramah untuk anak kecil. “Kenapa kau tidak bicara apa-apa?” Lidah Aelin kelu, terlalu takut hingga tak bisa memikirkan jawaban alternatif yang tepat. “Yang Mulia, maaf saya lancang berbicara tapi anak-anak seumur Putri memang pemalu,” sahut Dion usai mendekat dari posisinya yang tak jauh di belakang Ares. “Hmm, begitu,” tanggap Ares dingin. Pria itu bersandar pada kursi tanpa memutus adu tatap dengan Aelin juga tak berbicara lagi. Aelin tidak bisa mengalihkan perhatian karena kue stroberinya telah habis. Meraih cangkir teh yang disajikan untuknya pun tak sanggup akibat gemetar ketakutan. Alhasil, dia berusaha setegar mungkin beradu tatap dengan Ares sekaligus mempertahankan wajah serta senyuman polosnya. “Dion.” “Ya, Yang Mulia.” “Menjauhlah.” HAH? Ja—jangan pergi! Dion…! batin Aelin hanya bisa bersorak akibat lidahnya tidak diizinkan menyuarakan pertentangan itu kecuali ingin mati di tangan Ares, tentu Aelin tidak mau. Usai Dion menjauh bersama pelayan, ketakutan Aelin menjadi-jadi. Ditinggalkan berdua bersama Ares membuat dirinya tak bisa berpikir terlalu jernih lagi. Jadi, satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah mempertahankan wajah polosnya seraya berdoa Ares tidak akan membunuhnya sampai sesi teh ini berakhir. “Kau tahu siapa namamu?” cetus Ares dingin. “Aelin, hehe,” jawab Aelin sepolos dan seriang mungkin. “Jadi Aelin adalah panggilanmu, huh,” Ares kembali menyandarkan rahangnya pada tangannya yang menyiku di sandaran kursi. Matanya terpejam dengan kepala sedikit mendongak ke atas. “Aelinna. Aelinna, huh? Apa kau tahu arti nama itu?” Ah, gawat, rutuk Aelin seraya menunduk. Tangannya mencengkram gaunnya erat-erat saat kepalanya miring ke kiri sebagai wujud jawaban polosnya berarti tidak tahu. “Untuk seorang anak, terlebih lagi pada anak perempuan, beraninya dia menggunakan nama itu,” cela Ares, “jika dia masih hidup, tubuhnya akan berakhir akibat ditarik hingga putus meski itu tidak akan cukup sebagai hukumannya.” Nama yang Aelin miliki, Aelinna, adalah nama yang bahkan tidak dapat dimiliki oleh Putri Mahkota. Kaisar Neuchwachstein memiliki nama yang berarti abadi dan tinggi, biasanya juga memiliki nama yang berarti Dewa dan Dewi untuk menggambarkan kedudukan mereka di Neuchwachstein sebagai yang tertinggi. Nama itu hanya diberikan pada pewaris takhta yang sah. Arne yang merupakan anak Permaisuri memiliki arti sang Dewi, namun satu anak selir dengan berani memiliki nama berarti sang Ratu. Sepertinya karena itulah Ares tidak menyukai nama Aelin. Dan mungkin saja dia akan membunuhku, bukan? rutuk Aelin. Aku tidak berbahaya bagi Arne. Aku sama sekali tidak tertarik dengan takhta. Tujuan hidupku hanyalah hidup setenang-tenangnya dan pergi dengan damai. Namaku saja yang besar, tapi sesuai anggapanmu aku cuma serangga berumur delapan tahun— “Kenapa diam saja? Makan,” sosor Ares membuyarkan gejolak batin Aelin. Sorot mata peraknya seolah menyala dalam kegelapan, tajam menusuk jiwa Aelin. “Aku sudah sengaja memesan makanan yang disukai anak-anak. Kalau kau tidak makan, maka tidak ada pilihan bagiku selain menghukum orang-orang yang membawakan ini.” “Selamat makan…!” Aelin yakin dirinya akan berujung sakit perut usai dari jamuan teh mengerikan ini. Kue-kue yang dibawakan pelayan terlalu banyak dan Aelin tidak dapat memikirkan hal lain selain Ares ingin dia menghabiskan semuanya. “Enak….,” ujar Aelin usai mencomot kue keju, masih mempertahankan senyuman polos hingga pipinya mulai terasa kaku sekarang. Tolong cepat pulangkan aku! “Siapa yang mengajarkanmu tata krama?” tanya Ares usai diam cukup lama. “Sierra.” “Begitu, maksudmu Sierra Anderson.” Ares melengos pelan, “Pelayan yang 8 tahun lalu bersujud memohon-mohon ingin merawatmu di depan mataku dan meminta pengampunan atas nyawamu. Ternyata dia masih ada di sampingmu.” Tentu saja Aelin tahu itu. Segalanya telah tercantum di novel. “Dia juga wanita yang mengatur kembali Istana Clementine,” mata Ares menyipit tajam, “beraninya. Hanya wanita itu dan ibumu satu-satunya yang tidak mati setelah menghalangi jalanku di hadapanku.” Jika perlu diibaratkan, Aelin sudah menciut seperti kelinci tak berdaya di hadapan singa. Fokus matanya tidak berani lagi menatap Ares dan sebagai anak kecil berusia 8 tahun yang polos, dia memanfaatkan fakta itu untuk menghindari tatapan keji Ares. Namun sepertinya itu tidak akan bertahan lama lagi saat pertanyaan paling krusial dilontarkan oleh Ares. “Apa kau tahu dengan siapa kau duduk di sini?”         TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD