Dari sekian orang di Istana Clementine, tiga dayang Aelinlah yang paling merasa lega karena perubahan situasi. Tidak ada pelayan bebal yang sulit diatur karena tak ingin menghormati Aelin dan paling utama adalah tidak ada Darcie. Mereka semua telah digantikan dengan pelayan-pelayan mumpuni yang tidak memandang Aelin rendah sehingga pekerjaan di Istana Clementine tidak membebani Freda, Leah dan Sierra.
Aelin juga merasa senang melihat ketiga dayangnya kembali ceria seperti semula. Sierra tidak perlu berpura-pura sempurna demi menjaga masalah Istana Clementine dari Aelin. Senyumannya tulus tanpa beban. Beginilah yang seharusnya terjadi, kematian seseorang tidak akan berarti apa-apa bila itu sebanding dengan kedamaian yang selalu didambakan. Aelin pun jadi paham, dunia ini rentan dengan perampasan nyawa. Sekadar hukuman tanpa perampasan nyawa tidak berarti apa-apa dibandingkan hukuman mati. Mudah sekali untuk kehilangan nyawa.
Kini, yang tersisa adalah menghindari Ares dan Arne. Aelin tidak akan membuat kekacauan mencolok lagi agar mereka kembali tidak mempedulikannya. Dia tidak ingin tahu lagi apa alasan dari perubahan sikap Ares. Cukup sampai sini saja, dia akan hidup dengan tenang di Istana Clementine tanpa menghiraukan apa pun perihal Ares dan Arne.
“Ah, bukankah ulang tahun Putri tahun ini sudah dekat?” cetus Sierra di sela mengikat rambut merah Aelin.
Aelin mengerjap pada bayangan dirinya di cermin lalu melirik kalender yang berdiri di sudut meja rias. Benar, sebentar lagi dirinya akan berulang tahun ke-9. Dan tidak terasa juga dirinya telah berada di dimensi ini selama empat bulan. Hari-hari yang melelahkan dan mendebarkan, namun sepertinya dia telah merasa cukup terbiasa dengan tatanan kehidupan Aelinna yang sedikit demi sedikit mulai membaik.
“Putri ingin kado apa?” tanya Leah di samping kiri Aelin, sedang menata aksesoris rambut di laci. “Apakah jepit rambut? Saya dengar ada toko aksesoris bagus baru buka di kota.”
“Benarkah? Aku ingin mengunjunginya,” tanggap Aelin. “Aku ingin keluar.”
Leah dan Sierra serempak menatap Aelin dengan tatapan ragu bercampur terkejut. Selama ini sang Putri tidak pernah berkata memiliki ketertarikan terhadap dunia luar istana. Dia selalu tampak puas dan senang bermain-main di taman Istana Clementine setiap hari meski tidak ada sesuatu yang baru di sana. Apakah akhirnya Aelin merasa bosan?
“Uh…, untuk keluar... sepertinya itu cukup sulit, Putri,” ujar Sierra akhirnya.
Aelin mendongak menatap bayangan Sierra di cermin. “Kenapa?”
“Diperlukan izin dari Yang Mulia dan pada umumnya Putri dan Pangeran Neuchwachstein dilarang keluar istana di luar kepentingan kekaisaran.”
Tentu saja Aelin tahu itu. Dia hanya ingin mencoba peruntungan apakah Sierra sesayang itu padanya untuk sampai nekat melanggar peraturan demi kebahagiaan Aelin sekarang. Itu jelas terjadi tetapi di penghujung kehidupan mereka saat Aelin tertuduh sepihak. Bahkan tanpa perlu Aelin pertanyakan, kasih sayang Sierra tidak terbantahkan lagi.
“Ah, kalau begitu tidak apa-apa, mungkin nanti saat Ayah mengizinkan, hehe,” cetus Aelin mencairkan suasana dengan topeng riangnya yang benar-benar tak sempurna bertepatan dengan Sierra selesai merias rambutnya. “Kalau begitu, aku pergi main dulu.”
“Hati-hati, Putri.”
Entah mengapa, hari ini dia tidak berkeinginan pergi ke taman istana. Sepertinya benar dia sudah merasa bosan bercengkrama di sana. Tidak ada sesuatu yang baru, hanya ada hamparan ladang bunga dan taman air mancur. Lalu sekian hutan kecil yang terisi pepohonan tinggi. Aelin memang tidak bisa mengeluh dan membanding-bandingkan, namun taman Istana Hampstead sangat bagus dan dia yakin dia tidak akan merasa bosan seperti ini jika berada di sana.
Kepala Aelin mengedar mengamati sekitar, mengamati lingkungan yang tampak asing di matanya. Dalam sekejap, dia terkesiap, sontak berhenti melangkah. Mata peraknya membulat memperhatikan taman yang asing. Di mana dirinya? Apakah dia lagi-lagi tersesat memasuki area asing yang tak dia ketahui akibat ceroboh seperti dahulu ketika mengejar kucing Saga? Mengapa dirinya selalu mudah tertimpa kesialan seperti ini?
“Ini… bukan Istana Clementine,” gumam Aelin kala menatap istana yang menjulang tinggi di sampingnya. “Apakah Istana Hampstead? Tapi istana itu berjarak sangat jauh dari Istana Clementine.”
Istana Kekaisaran terdiri dari banyak rumpun istana yang memiliki fungsi masing-masing. Contohnya, Istana Clementine untuk tempat tinggal para selir dan Istana Hampstead untuk Pangeran dan Putri Neuchwachstein. Lantas, benak Aelin mulai tertuju pada satu kemungkinan terburuk yang pernah ada.
“Tidak bagus, aku harus segera kembali—”
“Apa-apaan kau?”
Tubuh Aelin terpaku di tempat mendengar suara bariton yang telah lama menghilang dari gendang telinga sejak insiden terakhir. Suara yang tak ingin dia dengar sama sekali, tak ingin pula menatap wajah si pemilik suara. Rasa-rasanya lebih baik dirinya kembali dibuat koma oleh Saga daripada harus menatap wajah pria bersuara bariton tersebut. Namun, nasi sudah menjadi bubur, Aelin tertangkap basah di tempat.
“Um… Putri Aelinna?” panggil Dion, ajudan Ares, kala Aelin tidak kunjung berbalik badan usai ditegur oleh Ares. “Sungguh sebuah keberkahan melihat Putri kembali sehat. Apakah ada masalah hingga Putri pergi ke Istana Kaisar?”
APA KUBILANG?! INI BENAR-BENAR WILAYAH ISTANA KAISAR! ASTAGA, LAGI PULA KENAPA ISTANA KAISAR DEKAT SEKALI DENGAN ISTANA CLEMENTINE?!! batin Aelin bergejolak bukan main oleh amarah dan kebingungan. Dia hampir jatuh akibat gemetar di kaki jika saja tak mampu menguasai diri.
Dengan kecanggungan dan kekakuan akibat serangan syok, Aelin berbalik badan dan membungkuk memberikan salam hormat pada sang ayah yang berdiri dengan wajah datar. “Seluruh berkah dan kesejahteraan untuk Neuchwachstein dan Kaisar Ares. Sebuah kebetulan saya dapat bertemu dengan Yang Mulia di sini, mohon maaf atas kelancangan saya—”
“Berisik sekali.”
Bibir Aelin segera mengatup diam, keringat dingin pun mulai membanjiri keningnya. Nada bicara Ares yang dingin nan tajam itu terkesan tidak sudi melihat Aelin menginjakkan kaki di wilayah istananya. Aelin pun tahu sebenar-benarnya adalah Ares tidak pernah memedulikan dirinya sampai akhir. Perubahan sikapnya pada tempo hari hanya sebuah keanehan yang terjadi sekali dalam seribu tahun, entah apa alasannya. Yang jelas Ares tidak akan pernah menyayangi Aelin.
“Bawa anak itu,” perintah Ares lalu melangkah menuju antah berantah.
Belum sempat Aelin menegakkan punggung dan mencerna maksud Ares, tubuhnya diraih oleh Dion ke dalam gendongannya. Sontak membuatnya mendelik bukan main. Apa yang terjadi? Apa yang Ares inginkan?
“Tunggu, kenapa aku dibawa seperti ini? Apa yang terjadi?” tanya Aelin sedikit memberontak dalam rengkuhan Dion.
Dion tersenyum lebar. “Jangan khawatir, Putri. Yang Mulia tidak akan menyakiti Putri.”
Aelin bermuka keruh, Tidak, jika ada yang bertanya siapa orang yang berpotensi menyakitiku, dialah orangnya!
Pemberontakan Aelin sia-sia karena dirinya tidak lebih besar dan kuat daripada Dion sang Ajudan Kaisar. Alhasil, dia berakhir pasrah dan memanjatkan doa sebanyak mungkin kepada Dewa maupun Tuhan yang berkuasa di dimensi ini.
TO BE CONTINUED