Aelin pernah mendengar perihal keindahan taman Istana Hampstead tidak sebanding dengan milik Istana Clementine. Taman itu lebih luas dengan beragam fasilitas yang megah, salah satunya rumah kaca. Di dalam novel, rumah kaca menjadi salah satu tempat favorit Arne untuk bercengkerama minum teh. Lantas, Aelin asumsikan inilah tempat yang dimaksud. Sesuai penggambarannya di versi Webtoon, segalanya indah penuh kilauan, termasuk si pemilik rumah kaca—Arnemesia.
Gadis itu memvisualisasikan deskripsi dirinya dengan sangat tepat. Cantik dan manis bak boneka yang dipahat sedemikian rupa oleh seniman handal. Setiap inci tubuhnya diperhitungkan sangat matang agar tidak ada satu pun cela dalam dirinya. Dia mewarisi gen fisik ibunya yang memang rupawan, Permaisuri Annie, dan mata perak dari Ares sebagai bukti valid atas keturunannya sebagai Sinclair. Harus Aelin akui Arne memang sangat manis dan anggun dari pada dirinya.
“Ayah selalu pergi menemui Kakak di Istana Clementine. Kudengar, Kakak sudah sembuh. Jadi, apakah Ayah masih pergi mengunjunginya?” tanya Arne pada Jane, dayangnya sejak kecil.
“Saya kurang tahu, namun sepertinya tidak lagi, Putri. Yang Mulia telah menetap di ruang kerjanya,” jawab Jane lugas seraya menuangkan teh rosela kesukaan Arne. “Apakah Putri merindukan Yang Mulia?”
Arne mengangkat cangkir, menghirup kepulan aroma teh yang menenangkan sanubarinya, lalu mengangguk kecil. “Sudah lama Ayah tidak menemuiku. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padanya.” jawabnya sebelum kemudian menyesap teh.
Kenapa segala gerakan yang dia lakukan juga terlihat anggun, huh? Mungkin jika dia terjatuh pun akan tetap terlihat anggun! batin Aelin dongkol selama mengamati Arne dari balik semak-semak dan pepohonan. Lebih penting lagi, aku harus memberi pelajaran pada penyihir sialan itu.
Aelin tidak mengerti apa maksud Saga atas keusilan satu ini selain lelaki itu memang suka melihat Aelin tertimpa sial. Lagi pula, kedatangannya yang berujung menetap terkesan bertujuan memporak-porandakan kehidupan damai Aelin. Lihat saja, belum satu minggu sejak kehadirannya kehidupan di Istana Clementine berubah total. Dan mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi Aelin juga berpikir perubahan sikap Ares dikarenakan pengaruh sihir Saga. Tidak masuk akal namun juga tidak mustahil, bukan?
“Bisa-bisanya kau masih sempat memiliki waktu untuk menghujatku.”
Jantung Aelin terasa merosot jatuh karena suara Saga tiba-tiba memasuki gendang telinganya diikuti aura kehadirannya tepat di sisi kanannya. Dia bersyukur karena sempat menutup mulut, sadar bila dia berteriak sekarang sama saja menambah kesialan.
“Apa yang kau lakukan?!” desis Aelin pada Saga dalam bisikan tajam.
“Menyusulmu agar ada seseorang yang dapat mencegah kebodohanmu,” jawab Saga kasual, mata emasnya jatuh pada Arne yang masih sibuk menyesap teh. “Jadi, itu adikmu?”
Aelin memalingkan muka ke Arne, ekspresi jengkelnya mereda menjadi cemberut berpadu muram. Menyerah pada situasi yang tidak mendukungnya untuk memukul Saga. “Begitulah.”
Saga tidak lagi memilin kata. Matanya fokus mengamati Arne, menyimpan banyak pemikiran untuk dirinya sendiri seperti biasa. Aelin tidak ingin tahu bagaimana tanggapan Saga perihal Arne karena sudah jelas ia juga akan terpesona oleh Arne. Selalu seperti itu di novel. Tidak ada satu pun yang tidak terpesona karena Arne ditakdirkan untuk dicintai oleh semua orang sewajarnya tokoh utama.
“Ada apa dengan Sinclair di generasi ini, huh?” celetuk Saga akhirnya. “Terlalu banyak lelucon.”
Aelin melirik Saga tak minat. “Aku mulai tidak suka dengan celetukanmu yang selalu terkesan misterius. Entah kau memang sengaja atau tidak.”
Saga melipat tangan dan mengedik cuek. “Jika kau tidak dapat memahaminya, itu menunjukkan kapasitas otakmu yang rendah.”
“Apa kau bilang—”
“Sstt.”
Tidak membiarkan Aelin menyelesaikan protesnya, Saga membungkam bibir gadis itu dengan telapak tangan kirinya. Tak elak membuat Aelin mendelik tak terima namun suara Arne ikut mengurungkan niatnya untuk memberontak pada Saga.
“Aku penasaran dengan kakakku, aku ingin sekali menemuinya. Bukankah bagus jika kami dapat bertemu dan akrab? Kami bisa bermain bersama-sama,” ujar Arne ceria namun disambut ekspresi keruh Jane.
“Sayang sekali, Anda tidak boleh melakukannya tanpa seizin Yang Mulia. Putri Mahkota tidak boleh menginjakkan kaki di Istana Clementine,” tolak Jane tegas.
Arne mengerjap bingung. “K—Kenapa? Aelinna adalah kakakku—”
“Tidak boleh, Putri Arnemesia. Yang Mulia tidak mengizinkan dan Istana Clementine bukan tempat yang pantas bagi Putri Mahkota. Mohon untuk dimengerti dan dipatuhi.”
“Baiklah….”
Arne memang memiliki sifat lembut kepada semua orang, tidak terkecuali Aelin. Akan tetapi, sifat lembut itu lebih menjurus pada polos dan naif dalam sudut pandang Aelin. Arne memang mengakui Aelin sebagai kakaknya tetapi dia tidak melakukan apa pun saat Aelin dicela oleh semua orang hingga berakhir mati atas tuduhan Duke Morrison. Jika memang dia menyayangi Aelin sebagai kakaknya, dia tidak akan sepasif itu. Jadi, saat ini Aelin tidak tersentuh mendengar penuturan Arne. Itu semua hanya omong kosong.
“Ternyata dia peduli padamu, huh?” celetuk Saga datar.
Aelin menghela napas. “Aku tidak begitu memikirkannya. Sudah sewajarnya dia dilarang mendekatiku.”
Dengan sekali jentikan, mereka kembali ke sofa putih di kamar Aelin. Piring-piring kue kering masih tertata di meja dengan remahan-remahannya. Belum terjamah oleh tangan pelayan yang bertugas melayani Aelin hari ini. Suasana hati Aelin cukup buruk usai bertemu dengan Arne. Gadis itu bersikap sesuai aturan novel, si lemah lembut dan naif. Keputusannya untuk menjauhi Arne terbukti tidak salah sama sekali. Terkadang, lebih baik menjauh dari sumber masalah daripada berusaha memperbaikinya.
“Kau tampak tidak senang,” tukas Saga santai, lagi-lagi menguji kesabaran Aelin.
“Itu karena kau yang seenaknya memindahkanku seperti barang!”
Saga bersandar malas di sandaran tangan sofa usai mencomot kukis di piring. “Aku bosan.”
“Lakukan sesuatu di menara sihir bersama penyihir kekaisaran lainnya, bukan malah mempermainkanku!”
Saga segera mendengus dan mengerut jijik. “Kau ingin menguji kesabaranku dengan menyuruhku berada di antara penyihir-penyihir bodoh itu? Terakhir kali mereka tidak bisa melakukan tugas simpel seperti anak kecil saja.”
Aelin mencomot kukis terakhir lalu menunjuk Saga. “Maka itulah tugasmu sebagai sang Penyihir Kecil Jenius untuk menuntun mereka. Jadilah berguna setelah diangkat oleh Kaisar menjadi anggota penyihir kekaisaran.”
“Mana sudi aku menuruti keinginannya. Lebih baik aku kembali ke Eternity Forest melakukan sesuatu bersama para elf.”
Seolah diatur secara otomatis, mata Aelin berbinar-binar pada Saga. “Elf? Kau benar-benar bertemu dengan mereka?”
“Begitulah.”
“Apakah Eternity Forest seindah yang tertera di ensiklopedia? Apakah benar banyak makhluk-makhluk mitologi di sana? Airnya lebih jernih dan udaranya lebih segar?”
Mata Saga sedikit menyipit. “Aku tidak akan mengajakmu ke manapun.”
Wajah berbinar Aelin berganti menjadi cemberut. “Pelit sekali!”
Saga turun dari sofa usai melahap kukisnya. Dia merapikan pakaiannya seraya membalas, “Aku tidak ingin mendapatkan masalah dengan membawa perempuan yang tidak pernah keluar dari istana. Sudahlah, aku pergi dulu.”
“Tunggu, Saga—”
Dan begitulah Saga menghilang, tak ingin mendengarkan ocehan Aelin lagi.
“Dasar penyihir bodoh!”
TO BE CONTINUED