Sesungguhnya, Saga tidak begitu berbohong saat dia mengatakan kondisi Aelin kembali lemah. Gadis itu terkena sedikit tekanan stress akibat berhadapan dengan Ares. Tanpa perlu ia bercerita pun Saga sudah mengerti segalanya. Malah, dia sudah sedikit menduga hal seperti ini akan terjadi. Ares memang tampak tidak peduli dan membenci Aelin, namun sesungguhnya tidak demikian. Siapa pun pasti dapat melihatnya dengan jelas, bahkan orang awam sekali pun.
Seperti terdampak trauma, Aelin tidak ingin keluar dari kamarnya selama beberapa hari. Hari ini adalah hari ketujuh dalam kondisi yang masih sama, Aelin tidak bermain ke luar. Jadi, dia terus-menerus memanggil Saga agar ditemani bermain di kamar. Awalnya, Saga merasa tidak masalah karena dia juga tidak tahan bertahan terlalu lama di Menara Penyihir Kekaisaran bersama rekan-rekan bodohnya. Lagi pula, menemani Aelin juga termasuk ke dalam tugasnya. Namun, kini Saga mulai merasa jengah. Pasalnya, hal yang selalu Aelin keluhkan tidak pernah berubah, selalu tidak jauh dari Ares dan ingin ke luar Istana Kekaisaran.
“Tidak bisakah kau mengatakan hal yang lain? Ini sudah seminggu,” cibir Saga sebelum Aelin dapat melanjutkan keluhannya lagi terkait Ares.
Aelin mencebik. “Jadi, sia-sia saja aku menceritakan banyak hal padamu selama seminggu karena pada akhirnya kau tidak ingin mengerti.”
“Bukan, telingaku panas mendengar hal yang sama berulang kali berhari-hari,” secepat kilat, Saga menyentil kening Aelin, “pikirkan hal lain atau kutinggalkan kau di sini.”
Merengek, Aelin mengguncangkan lengan kiri Saga. “Jangan seperti itu, jahat sekali! Lagi pula kondisiku memang hanya butuh didengar.”
Saga mendecak pelan seraya melirik sekitar, tanpa susah payah menangkap beberapa pelayan menatap mereka dengan senyuman gemas. Sudah menjadi rahasia umum di Istana Clementine bahwa mayoritas pelayan gemas melihat interaksi Saga dan Aelin. Bahkan jika tidak salah dengar, ada beberapa yang merasa keduanya cocok satu sama lain. Saga tidak tahu apakah Aelin menyadari fakta itu, tapi dia harap gadis itu tidak akan pernah menyadarinya berhubung ia adalah gadis bodoh yang tidak peka.
Tidak ingin menjadi pusat perhatian, Saga menarik Aelin menuju ladang bunga di Istana Clementine. Sontak membuat gadis itu semakin merengek karena tidak ingin berjalan keluar. Sayangnya, bukan Saga jika tidak memaksa, Aelin tidak memiliki kuasa.
“Tidak adakah terbersit di benakmu untuk membawaku ke luar istana? Ke perkotaan? Kau tidak bosan terjebak di istana, huh?” seloroh Aelin sebal di belakang Saga, pergelangan kanannya ditarik oleh Saga agar dia menuruti langkahnya dan tidak kabur.
“Tidak,” tukas Saga lugas, membuat Aelin kian sebal dan mencibir.
“Penyihir aneh dan tidak menyenangkan sepertimu mungkin tidak akan mengerti betapa membosankan dan tersiksanya terjebak di sini.”
“Memangnya kau ingin melakukan apa di kota? Kota tidak lebih menyenangkan, hanya ada kegaduhan di sana.”
“Justru karena itu! Aku bosan di sini tidak ada apa pun yang menarik!”
Saga menghela napas, tidak bisa benar-benar mengerti bagaimana harus menghadapi kondisi suasana hati Aelin yang mudah bergejolak. Dia tidak pernah bertahan selama ini berada di wilayah manusia dan berinteraksi dengan mereka. Baginya, manusia adalah makhluk merepotkan yang munafik karena mudah sekali termakan pengaruh hati yang mudah sekali berubah-ubah. Contoh nyatanya adalah Aelin.
Ketika mereka berhenti di tengah ladang bunga, Saga menjentikkan jari guna membuat Aelin duduk di hamparan rerumputan. Gadis itu mendelik melihat tubuhnya digerakkan tanpa kemauan dirinya sendiri sehingga berusaha memberontak namun berujung sia-sia. Tanpa mempedulikan pelototan manik perak Aelin, Saga membaringkan diri di samping kanan gadis itu dengan acuh. Dia sudah lelah berada di Menara Penyihir Kekaisaran, dia tidak ingin masalahnya bertambah hanya karena omelan Aelin.
“Kau harus belajar untuk bersikap lebih tenang,” tukas Saga datar, memprovokasi kejengkelan Aelin. “Seharusnya kau tidak seperti itu kepada ayahmu sendiri, kau tahu? Jalani saja dulu.”
Tidak ingin terpancing, Aelin melengos, maniknya menatap ke depan. “Aku tidak ingin memikirkannya lagi.”
“Baguslah, akhirnya kau berhenti membuat telingaku panas.”
Lelah, Aelin ikut berbaring bersama Saga, tidak mempedulikan gaunnya bisa menjadi kusut. Manik peraknya menatap hamparan awan di langit biru yang menghalangi sinar matahari. Cuaca begitu cerah namun sejuk akibat awan tersebut. Dalam pandangan awamnya, dia dapat melihat aliran-aliran mana di langit. Berkelip samar-samar dalam cahaya emas yang menakjubkan. Sebuah bukti nyata bagi Aelin bahwa ini bukanlah bumi dan dia masih terjebak di dimensi Aelinna entah sampai kapan.
Jika segalanya berjalan mulus, Aelin berharap akhir kisah Aelinna tidak akan seburuk novel. Dia harus memastikan itu terjadi demi Sierra juga.
“Hei, Saga.”
“Hmm.”
“Bagaimana rasanya menjadi penyihir?”
Saga melengos. “Kau masih saja ingin membicarakan kekuatan sihirmu—”
Aelin menoleh ke kanan, cemberut menatap sisi kiri wajah Saga. “Tidak seperti itu, aku hanya penasaran. Aku tahu kekuatan sihirku belum mumpuni untuk melakukan itu semua.”
“Aku lebih suka untuk tidak membicarakannya.”
Kepala Aelin kembali ke posisi semula, menatap langit. “Ya, tentu saja. Ada beberapa hal yang lebih baik tidak perlu dibicarakan.”
“Seperti hubungan keluargamu yang aneh.”
Aelin mendengus. “Tidak aneh.”
“Aneh.”
“Terserahlah.”
Lalu, suasana menjadi hening karena tiada topik yang dapat dibicarakan. Anehnya, Aelin menyukai keheningan mereka. Saga tidak perlu melakukan atau mengatakan apa pun untuk membuat Aelin merasa lebih baik. Berbaring di rerumputan menatap langit biru sudah lebih dari cukup untuk membuat Aelin tenang, dan itu cukup mengejutkan. Padahal dahulu Aelin berpikir Saga hanyalah penyihir aneh yang usil dan menyebalkan. Kini, lelaki itu justru mulai menjadi teman yang benar-benar nyaman untuk dijadikan sandaran. Tentu saja, Aelint tetap tidak menyukai sikap arogannya yang memuakkan. Hanya saja dia mengakui bahwa Saga cukup nyaman menjadi temannya.
Aelin jadi bertanya-tanya, mengapa seseorang seperti Saga tidak pernah muncul di novel. Tidak pernah ada adegan yang menyatakan Aelinna tidak sengaja bertemu dengan penyihir di hutan taman Istana Clementine. Bahkan jika akhirnya tidak berujung sama seperti Aelin, itu tetap menjadi adegan yang cukup menarik, bukan? Pasalnya, Aelin dinyatakan terancam mati akibat aliran sihir dalam dirinya kacau oleh Saga. Kondisi itu pun sampai memancing kepedulian Ares. Mengapa itu tidak disebutkan di dalam novel? Apakah Aelinna tidak pernah bertemu dengan Saga? Jika tidak, seharusnya ia mati karena tidak ada penyihir yang mampu membantunya, bukan?
Tunggu, atau jangan-jangan Saga berbohong?
“Kau berpikir terlalu konyol.”
Aelin kembali ke kesadarannya, dia segera menoleh ke Saga yang kini menoleh padanya dengan wajah datar.
“Hidungmu kembang kempis setiap kali kau berpikir konyol,” cetus Saga begitu saja membuat Aelin segera memukulnya.
“DASAR TIDAK SOPAN!”
Sudahlah, lebih baik Aelin tidak perlu memikirkan apa pun hari ini.
TO BE CONTINUED