Hati Aelin tidak pernah tenang akhir-akhir ini. Itu terjadi setiap kali dirinya sedang makan. Awalnya, dia tidak memikirkannya berlarut-larut, mungkin hanya perasaannya saja. Namun, ketika dia memergoki sorot cemas dan sedih di mata Sierra, Aelin mengerti ketidaktenangannya bukan sekedar perasaan belaka. Walau Sierra segera mengganti sorotnya ke semula setiap kali bertemu mata dengan Aelin, Aelin tidak akan terbohongi karena kejadian itu telah dipergoki berkali-kali. Sierra sedang menyembunyikan sesuatu.
Tiga minggu telah berlalu sejak Claire Ohara hidup sebagai Aelin. Dan semenjak dua minggu yang lalu, dia telah memutuskan untuk hidup dengan tenang sampai tiba waktunya untuk melarikan diri bersama ketiga dayang yang telah mengasihi Aelin di kisah novel aslinya. Ternyata, beradaptasi dengan kehidupan barunya bukanlah hal yang sulit hingga dia sendiri merasa terkejut. Lantas, tak dapat dipungkiri lagi, Claire telah memiliki ikatan yang tak dapat diremehkan terhadap Sierra. Jika wanita itu sedang kesulitan, dia akan berusaha membantunya. Begitu juga dengan Freda dan Leah—dua dayang lainnya.
“Sierra, apakah ada masalah?” tanya Aelin sebelum melahap sarapannya, tidak seperti sebelumnya yang sigap makan, membuat Sierra tersentak kecil.
Dengan senyuman khasnya, Sierra menjawab. “Tidak ada, Putri. Semuanya baik-baik saja.”
“Sungguh? Akhir-akhir ini, aku menemukan Sierra berwajah sedih.”
“Ah, apa yang Anda bicarakan? Saya baik-baik saja, itu hanya perasaan Putri saja.”
Tentu saja, Sierra berpikir mudah untuk mengelabuhi anak perempuan berusia delapan tahun seperti Aelin. Wanita itu tidak akan pernah tahu bahwa Aelin yang ia kenal telah menghilang, tergantikan oleh wanita dewasa berusia 26 tahun. Untuk sesaat, Aelin berpikir dirinya jahat karena telah membohongi semua orang. Namun kemudian, siapa yang akan mempercayainya jika dia mengakui dirinya seseorang dari dunia lain dan Aelin yang asli telah menghilang begitu saja?
Lebih baik Aelin tidak perlu memikirkan hal-hal seperti itu. Semuanya telah terjadi, tidak akan ada yang berubah kecuali Tuhan turun tangan untuk kembali mengacak-acak dirinya.
“Hei, Sierra, bisakah kau menceritakan padaku seperti apa adikku?”
Sierra terkejut bukan main. Aelin tidak pernah mempertanyakan Arne. Aelin lebih mempedulikan Ares dan berpikir Arne sekedar anggota keluarga yang perlu diketahui, tak lebih. Begitulah alurnya di novel. Jadi, Claire tidak heran melihat betapa terkejutnya Sierra sekarang melihat Aelin menanyakan Arne.
“Sierra?” panggil Aelin, dengan mulus berhasil berpenampilan sangat polos bak anak kecil pada umumnya.
Sierra segera memperbaiki ekspresi wajahnya kembali seperti semula. “Ah, maafkan saya. Jadi, Putri Arne, ya? Putri Arne merupakan gadis manis berusia dua tahun lebih muda dari Putri. Berambut pirang dan bermata perak. Putri Arne sangat periang dan cerdas seperti Putri.”
“Apakah aku bisa bertemu dengannya? Di mana dia tinggal sekarang?”
Dalam sekejap, Sierra berwajah murung bercampur cemas. Namun dia kembali buru-buru mengubah ekspresinya. “Tentu saja. Putri Arne sekarang tinggal di Istana Hampstead. Itu tidak begitu jauh dari Istana Clementine, jadi Anda sekalian dapat bertemu suatu hari nanti.”
Bohong. Istana Clementine sangat jauh dari seluruh istana di area Istana Kerajaan. Tidak mungkin Aelin dan Arne akan berpapasan begitu saja, batin Aelin miris, namun mewajarkan karena kebohongan Sierra adalah kebohongan putih yang lazim ditujukan kepada anak-anak. Bukan hal aneh lagi.
“Benarkah? Wah, aku tidak sabar menantikannya! Aku ingin bermain bersama Arne di taman bunga dan air mancur. Dia pasti akan senang,” ujar Aelin riang, begitu fasih berperilaku selayaknya anak kecil, membuat Sierra kian murung.
“Tentu saja, Putri. Putri Arne pasti akan senang memiliki kakak secantik dan sepintar Putri.”
Tidak, Sierra. Sampai akhir, Arne tidak pernah mempedulikan kondisi menyedihkan Aelin dan terus-menerus bersikap sebagai putri polos dan manja. Jika dia memang menyayangi Aelin sebagai kakaknya, dia tidak akan membiarkan Aelin mati sebagai kambing hitam kakeknya, batin Aelin muak, merasa semakin emosi mengingat alur novel yang notabene takdir hidupnya sekarang.
Setidaknya, dengan begini Aelin dapat memastikan sedang berada di titik mana kakinya berpijak. Masih ada waktu sepuluh tahun sebelum dirinya mati tereksekusi sebagai kambing hitam Duke Morrison, kakek Arne. Itu merupakan waktu yang lebih dari cukup bagi Aelin untuk mempersiapkan diri angkat kaki dari kekaisaran. Selama dirinya hidup dalam diam di Istana Clementine, eksistensinya tidak akan dipedulikan oleh semua orang, terutama Ares. Aelin harus selalu menjaga situasi tersebut terus berlanjut.
Tentu saja, Aelin memiliki keraguan. Hidup dalam diam di Istana Clementine yang b****k akibat dari korupsi yang dilakukan oleh para pelayan bukanlah realita yang menyenangkan. Freda, Leah, dan Sierra menderita bertahun-tahun akibat ulah para pelayan bebal itu. Mereka tidak bisa melayani Aelin secara optimal hingga akhirnya tak jarang terpaksa menyajikan makanan yang tidak begitu pantas untuk seorang putri kerajaan. Namun kemudian, apa yang dapat Aelin lakukan untuk menghentikannya?
“Ugh, kondisinya jauh lebih buruk dari yang kukira,” keluh Aelin sesaat setelah keluar dari kamar usai menyelesaikan sarapannya.
Dahulu, Istana Clementine merupakan salah satu istana mewah yang menjadi tempat tinggal para selir kerajaan. Letaknya memang terpencil di wilayah Istana Kerajaan, namun bukan berarti istana itu terabaikan. Para kaisar terdahulu menghiasi Istana Clementine dengan beragam permata yang menyilaukan mata hingga kemewahan interiornya hampir menyaingi Istana Kaisar. Kini, masa-masa itu berakhir di tangan Ares sejak kelahiran Aelin.
Claire tidak tahu apa alasan tepatnya selain kelahiran Aelin dianggap masalah oleh Ares hingga menjadi peristiwa berdarah di Istana Clementine. Sesuai yang tercantum di novel, Ares membunuh seluruh selir dan wanita simpanan di Istana Clementine usai Aelin lahir. Aelin pun hampir ikut tewas jika saja Sierra tidak memohon ampunan Ares. Segalanya masih abu-abu bagi Claire karena kekurangan informasi detail di novel.
“Setidaknya taman di sini terawat dengan baik,” ujar Aelin setelah mendudukkan diri di bawah salah satu pohon rindang.
Aelin selalu menghabiskan waktu bermain di taman Istana Clementine, jadi Claire tidak akan mengubah kebiasaan itu. Dirinya tidak merasa begitu bermasalah. Lagi pula tamannya indah, meski di mata orang lain taman ini sangat jauh dari standar taman Istana Kekaisaran.
Aelin menghela napas panjang di sela membuat mahkota bunga. “Jika kuingat baik-baik, Aelin memang tidak pernah diurus dengan baik oleh seluruh pelayan. Mereka bersedia tetap di Istana Clementine karena dapat mencuri. Terlebih, istana itu jauh dari istana-istana lain dan Ares tidak pernah mengunjunginya. Tapi, mana mungkin aku akan terus-terusan menutup mata melihat Sierra dan yang lain kesusahan. Aku harus melakukan sesuatu.”
Aelin tidak berpikir itu hal yang mustahil bagi anak kecil. Dia hanya perlu menemukan strategi yang cocok dan efisien. Dia tidak ingin Sierra kesusahan. Tak ingin juga hidup dalam kepungan pelayan yang tidak menghormatinya. Cepat atau lambat, Aelin akan tertindas secara terang-terangan, jadi dia harus selangkah lebih awal. Tidak masalah, hanya sekedar mendepak para pelayan itu keluar tidak akan membuat Ares serta-merta mempedulikannya.
Lelah, Aelin merebahkan diri, segera mengabaikan mahkota bunga yang baru setengah. Mata peraknya menatap langit biru yang cerah. Dapat terlihat aliran-aliran mana sihir membumbung bersama awan. Bukti nyata bahwa dunia ini bukanlah bumi yang dahulu ditinggali olehnya. Ini adalah dunia fiksi, dunia fantasi, segala macam sihir dan makhluk mitologi hidup berdampingan dengan manusia.
“Anehnya, Aelin tidak bisa menggunakan sihir,” gumam Aelin seraya mengangkat tangan kanan, mencoba mengeluarkan atau merasakan aliran mana, namun nihil. “Padahal dia anak kandung Ares. Mengapa dia tidak bisa sementara Arne bisa?”
Di dalam novel, selain Aelin lahir dari rahim seorang selir, kenyataan bahwa ia tidak bisa menggunakan sihir menjadi alasan lain dari ketidakpedulian semua orang terhadapnya. Aelin dianggap sebagai anak gagal total yang menjadi aib bagi keluarga Sinclair, keluarga kekaisaran. Maka, tidak heran apabila tidak ada satu pun pelayan di Istana Clementine yang menghormatinya. Kelancangan dan kesombongan mereka benar-benar memprihatinkan.
“Jika saja Aelin dapat menggunakan sihir, mungkin kehidupannya tidak akan separah ini,” keluh Aelin diiringi hela napas panjang.
Claire masih tidak yakin mengapa Tuhan membuat hidupnya menjadi seperti ini. Apakah mungkin karma karena terus-menerus menghujat penulis Trash of The Imperial Family, atau suatu misteri yang tidak akan pernah terungkap, Claire tak tahu lagi. Dia cukup senang karena dapat bertemu dengan sosok Aelin dan Sierra secara langsung, namun di sisi lain ini menjadi malapetaka karena hidupnya tidak ditakdirkan lama. Tidak ada jaminan dirinya selamat setelah berhasil melarikan diri dari kekaisaran. Tidak ada informasi yang jelas pula mengenai dunia fantasi ini. Kehidupan ini tidak semudah yang Claire pikirkan.
Aelin bangkit duduk, kerutan muncul di antara kedua alisnya. “Sekali lagi!”
Aelin mengulangi usahanya untuk dapat merasakan aliran mana dan mengendalikannya. Dia ingat bagaimana mekanisme sihir di dimensi ini bekerja, tidak jauh berbeda dari film sihir kondang yang terkenal bertahun-tahun lalu. Jadi, dia hanya perlu mengingat dan mempraktikannya sesuai teori yang tertera. Akan menjadi penolong besar baginya jika dirinya mampu mengendalikan sihir. Aelin tidak akan tertindas lagi, lalu bisa jadi segalanya berjalan lebih baik.
Sayangnya, hasilnya nihil.
“Ah, sudahlah! Lagi pula, orang-orang sering berkata takdir tidak akan bisa diubah,” dumal Aelin seraya bangkit berdiri dengan langkah menghentak. Bersungut-sungut, dia melangkah kembali ke Istana Clementine. Suasana hatinya memburuk dalam sekejap.
Sebuah ironi dalam dumalannya. Dia telah bertekad untuk mengubah takdir Aelin beserta tiga dayangnya tanpa persiapan yang matang. Tetapi, satu kegagalan mengendalikan sihir membuatnya langsung menyerah. Untuk sesaat, Aelin cemas. Tekadnya begitu mudah dihancurkan di saat dirinya berniat melakukan hal yang jauh lebih berbahaya. Melarikan diri dari kekaisaran bukanlah hal yang mudah meski Aelin ditelantarkan. Jika satu kegagalan kecil seperti itu telah mampu menggoyahkan tekadnya, lantas bagaimana ke depannya?
Gawat sekali.
“Aku muak sekali bekerja di sini.”
Lamunan Aelin segera buyar, langkahnya terhenti di perempatan koridor. Mendengar suara salah satu pelayan membuat gadis itu bersembunyi di balik dinding dengan telinga dibuka lebar-lebar.
“Benar. Lebih baik kita bekerja di Istana Hampstead daripada di istana lusuh ini. Melayani Putri Arne lebih bermartabat daripada si Putri Buangan itu.”
Tiga minggu usai kehadirannya di dimensi Aelin, Claire bersiap menghadapi masalah pertama.
TO BE CONTINUED
Hii, maaf karena baru update setelah sekian lama. Terima kasih banyak atas dukungan dan kesetiaan kalian menantikan cerita ini update. Untuk ke depannya akan kuusahakan agar tidak mangkrak terlalu lama :)