Neuchwachstein hanya mengagungkan satu putri, yakni Arne. Selalu seperti itu dari awal hingga akhir. Semua orang akan mengenali eksistensi Aelin, sang Putri Pertama, namun tidak akan mengagungkannya melebihi Arne. Alasannya sederhana, Aelin tidak dilahirkan oleh Permaisuri dan gelar Putri Mahkota digenggam oleh adiknya—Arne. Ditambah lagi, Aelin tidak dicintai oleh Ares, menilik dari fakta bahwa gadis itu diasingkan di istana bekas selir. Maka, sudah sewajarnya untuk melihat semua pelayan tidak menghormati Aelin sama sekali seperti saat ini.
“Aku tidak mengerti mengapa aku harus terjebak di sini, di antara seluruh Istana Kekaisaran? Aku dikirim oleh keluargaku bukan untuk melayani putri buangan yang lahir dari selir rendahan. Aish, aku benci ini.”
“Well, mengeluh juga tidak akan mengubah apa pun. Tapi, mau bagaimana lagi, huh? Istana Hampstead sudah memiliki pekerja, bahkan lebih dari cukup. Orang-orang seperti kita hanya bisa pasrah menerima jatah buangan.”
“Kau bahkan mungkin tidak mengerti kebencianku pada istana lusuh ini dapat membuatku berpikir untuk lebih baik bekerja di bagian kandang kuda istana.”
“Berlebihan sekali. Hei, setidaknya kita memiliki kesempatan untuk mengambil beberapa barang di sini.”
Aelin, yang sedari awal telah menguping di balik dinding tikungan koridor, mengernyitkan kening. Telinganya mendengarkan seluruh hujatan untuknya dengan seksama tanpa merasa emosi sama sekali. Mungkin karena usia mentalnya tetap berusia dewasa sehingga dia tak terlalu mengambil hati. Namun, bagaimanapun, dia tidak bisa membiarkan orang-orang tak sopan itu terus-menerus mencaci maki tapi masih berani mengharapkan gaji yang pantas. Terlebih lagi, orang yang mereka caci adalah tokoh yang Aelin sayangi.
Tak akan dibiarkan.
Jadi, kalian tidak hanya menghujatku tapi juga mencuri barang-barang di kediamanku, huh? batin Aelin seiring hujat demi hujat mengalir dari bibir Darcie, pelayan yang sedari tadi menghujatnya bersama pelayan lain.
Aelin kenal Darcie. Darcie Anglo, wanita paruh baya yang telah lama bekerja di istana sejak berusia remaja. Ia tidak begitu spesial selain memiliki pengalaman kerja yang sangat panjang dibanding mayoritas pekerja lainnya. Sepak terjangnya cukup cemerlang dan telaten sehingga ia seringkali tinggi hati kepada pekerja-pekerja lain, terutama pelayan baru. Meski begitu, Darcie tidak pernah dipercayakan menduduki jabatan Kepala Pelayan, entah mengapa. Sehingga para pekerja memiliki alasan untuk tidak terlalu berkecil hati setiap kali Darcie tinggi hati atau sok menggurui.
Walau, di sisi lain, ada begitu banyak pekerja istana yang tidak menyukai Darcie karena sifat arogannya.
Di dalam novel, Darcie mencolok sebagai salah satu pihak yang mempengaruhi masa kecil Aelin. Wanita itu tidak pernah menghormati Aelin karena merasa lebih pantas melayani Arne. Ia tidak pernah menerima kenyataan bahwa dirinya ditunjuk untuk bekerja di Istana Clementine, alih-alih Istana Hampstead. Layaknya anak kecil, Darcie melimpahkan kekesalan dan kekecewaannya pada Aelin yang tidak tahu apa-apa. Alhasil, wanita itu menduduki posisi pertama sebagai salah satu pelaku yang memberikan trauma dalam hidup Aelin.
Akibat dari trauma tersebut jugalah yang memicu Aelin untuk tumbuh dalam kubangan perasaan tidak percaya diri. Aelin menjadi mudah pesimis dan selalu merasa dirinya tidak pantas menjadi anggota kekaisaran. Tak elak, dia sangat mudah direndahkan oleh semua orang karena tidak dapat menggali seluruh potensi yang terpendam dalam dirinya. Jadi, bisa dikatakan bahwa Darcie penyebab pertama dari kehancuran Aelin.
Kini, Aelin tidak akan membiarkan Darcie berbuat sesuka hati.
“Apa yang kalian bicarakan?”
Mata Aelin mengerjap kaget melihat Freda dan Leah tiba-tiba muncul menegur Darcie. Dia yang tadinya hendak menegur pun segera mengurungkan niat, tak ingin dipergoki oleh Freda dan Leah.
“Mrs Anglo, ucapan Anda telah melewati batas. Anda tidak menghormati Putri Aelinna sama sekali,” tegur Freda diliputi kekesalan. “Anda memang telah lama bekerja di kekaisaran, tetapi Anda tidak memiliki hak untuk melontarkan komentar-komentar yang tidak pantas terkait keluarga kekaisaran!”
Darcie mendengus dan berkacak pinggang, begitu angkuh di hadapan Freda.
“Well, well, lihat siapa ini kalau bukan perawat ‘Putri’ Aelinna,” ejeknya sinis. “Lagi pula, aku hanya mengatakan fakta. Anak itu tidak diperhatikan oleh Yang Mulia Kaisar sejak dilahirkan, bukan? Ada alasan dari mengapa beliau meninggalkan anak itu di sini, alih-alih Istana Hampstead. Dan, kalian juga tahu itu dengan jelas, bukan?”
“Kita semua, para pelayan, tidak memiliki hak untuk mengomentari keluarga kekaisaran yang jelas jauh dari kedudukan kita. Anda tahu aturan itu,” tuntut Freda tegas. “Jaga lidah Anda, Mrs Anglo. Tidak ada yang tahu dengan takdir. Bisa jadi esok hari Yang Mulia Kaisar tiba-tiba menginjakkan kaki di istana yang Anda sebut lusuh ini demi menghampiri Putri Aelinna.”
Darcie segera tergelak, sungguh meremehkan. “Jangan membuatku tertawa! Astaga, lelucon abad ini! Berhenti mengimajinasikan sesuatu yang tak mungkin terjadi! Kalian terlalu lama melayani Putri Buangan itu sampai-sampai mudah berhalusinasi, hahaha!”
Walau menyebalkan, Aelin sedikit setuju dengan Darcie. Ares hanya menyayangi Arne sampai akhir. Pria itu seolah melupakan Aelin sampai ke akar-akarnya. Mungkin jika Sierra tidak memohon agar Aelin dibiarkan debut kepada Ares, Ares akan melupakan putri pertamanya sampai akhir.
Itu memuakkan namun harus diakui.
“Yang Mulia Kaisar menyayangi Putri Aelinna,” tandas Leah seraya maju selangkah, berdiri di samping Freda. “Jika beliau tidak menyayangi Putri, itu sudah terlihat sejak awal. Beliau tidak akan membiarkan Putri hidup dan tinggal di sini. Kenyataannya? Berbanding terbalik, bukan? Jadi, berhentilah menyimpulkan sendiri semena-mena. Jagalah lidahmu.”
“Anak itu dapat hidup dan tinggal karena Sierra yang bersujud memohon belas kasih. Hanya karena permintaan konyol itulah yang membuatnya tetap hidup sampai sekarang. Jangan terlalu percaya diri!”
“Seharusnya kau merasa malu. Kau menghina dan mencaci maki Putri Aelinna selagi mencuri barang-barang Putri di sini tanpa malu,” geram Leah, telunjuknya teracung kepada Darcie tanpa gentar.
Tidak terima, Darcie maju selangkah, wajahnya sangat berang. “Bahkan barang-barang di sini tidak berharga tinggi di pasaran! Kau seharusnya bersyukur aku menjualnya agar anak kesayangan kalian itu bisa makan!”
“Makan? Kau tidak pernah mengurus jadwal makan Putri, kau lebih sering berleha-leha di sini! Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau baru saja membeli perhiasan baru beberapa hari yang lalu?!”
Tidak ingin keributan mereka terdengar oleh Aelin, Freda menengahi. “Hal semacam ini tidak pantas untuk dibicarakan di tengah koridor. Masalah ini belum selesai, lebih baik diselesaikan bersama Sierra dan Aubert.”
Aubert Arvandus, Kepala Pelayan Istana Kekaisaran. Dari sekian pelayan istana, Aubert termasuk salah satu pelayan yang tidak memandang rendah kepada Aelin. Ia bertugas sebagai pusat pekerja istana di Istana Kaisar, dipercayai pula sebagai pelayan pribadi Ares bersama Dion. Pria itu memiliki pola pikir terbuka yang penuh kebijaksanaan sehingga hampir tidak ada seorang pun yang melihatnya terkuasai oleh emosi. Oleh karena kebijaksanaan tersebut jugalah yang membuatnya pantas menjabat sebagai Kepala Pelayan Pusat.
Aelin cukup mengapresiasi Aubert. Walau ia tidak bisa berperan banyak melindungi Aelin, setidaknya ia tidak pernah bersikap buruk kepada gadis itu.
“Aubert…?!”
Sisi lain yang diketahui oleh Aelin, Darcie menakuti Aubert. Aubert tidak pernah bermasalah dengannya, namun berurusan dengan pria itu harus dihindari. Sekali saja berurusan dengan Aubert, reputasi sebagai pekerja istana akan tercoreng sedemikian rupa. Walau posisinya tidak diusik oleh Aubert, reputasi tercoreng sama saja dengan pekerja gagal. Harga diri sangat dijunjung tinggi di Neuchwachstein. Jadi, Darcie bergerak mundur dan pergi bersama rekannya yang sedari tadi hanya bisa diam.
Leah merosot ke lantai usai kepergian Darcie. Gadis itu bersimpuh lemas seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Isakan mulai terdengar dari baliknya. Tak lama, bahunya gemetar. Freda tidak mengatakan apa pun selain turut bersimpuh di sisinya sambil mengusap punggung temannya. Ia tahu betapa lelahnya Leah menghadapi hal semacam ini sejak mengajukan diri menjadi dayang Aelin. Memihak Aelin sama saja merelakan diri untuk dicibir oleh semua orang.
“Tidak apa-apa. Kau hebat, kau melakukan hal yang benar, Leah,” ujar Freda teduh. “Putri pasti akan bangga dan bahagia karena memiliki dayang sepertimu.”
“Aku hanya… tidak bisa menerima semua orang yang… memandang rendah Putri Aelinna. Mereka keterlaluan…! Putri masih kecil, dia tidak tahu… apa-apa, tapi mengapa diperlakukan… seburuk itu!” isak Leah dalam napas tercekatnya. “Mengerikan sekali! Hina!”
Freda mengusap punggung Leah dengan sabar, tanpa lelah. “Aku tahu, Sierra pun tahu, lebih tahu. Putri Aelinna hanyalah anak tidak berdosa yang tidak tahu apa-apa, dan malangnya harus terjerat takdir semacam ini. Sebagai manusia biasa tanpa status, kita tidak memiliki kuasa apa-apa. Kita hanya bisa terus melayani Putri dan membuatnya senang. Hanya kita yang bisa melakukan itu, jadi kita harus menguatkan diri. Tidak boleh menunjukkan kesedihan.”
Leah tidak membalas, namun tangisannya sedikit mengencang. Hampir terdengar seperti tangisan yang diisi oleh curahan beban yang selama ini terpendam. Aelin tidak akan pernah tahu bagaimana kehidupan ketiga dayangnya karena mereka selalu tampil sempurna di hadapannya. Mereka sembunyikan segala masalah yang terjadi di balik pintu kamar Aelin sehingga Aelin tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Niat mereka bagus, namun Aelin rasa itu tidak begitu benar lagi.
Aelin berhak tahu, sangat berhak. Membuatnya hidup dalam sangkar hanya akan membuat mental Aelin tidak berkembang. Pada akhirnya, nantinya di hari debut, dia tidak bisa menghadapinya dengan baik. Aelin tidak boleh dibiarkan seperti boneka dalam rumah-rumahannya.
Kini, Aelin mengetahui bagaimana hidupnya akan berjalan. Ada banyak petunjuk yang dia miliki. Dia dapat mengubah segalanya semaksimal mungkin. Dia tidak akan tinggal diam mengikuti alur novel dan mengulang tragedi.
***
Seperti biasa, Sierra menidurkan Aelin dengan membawakan segelas s**u hangat dan menceritakan beberapa dongeng. Usia Aelin memang mulai memasuki usia yang tidak cocok lagi untuk diceritakan dongeng, namun Sierra tidak begitu mempedulikannya. Ia akan selalu menganggap Aelin sebagai putri kecil yang menggemaskan. Bagi Aelin, itu tidak masalah. Dia memiliki suatu perasaan yang mengharuskannya bertanggungjawab karena menghilangkan Aelin yang asli meski itu bukan kesalahannya.
“Hari ini, Putri ingin dibacakan apa?” tanya Sierra, mendudukkan diri di kursi pinggir ranjang Aelin.
Bagaimana pun, Aelin yang sekarang bukanlah anak kecil.
“Hmm, aku ingin diceritakan tentang ibu.”
Sesaat, Sierra terdiam menatap Aelin. Topeng sempurnanya yang selalu menampilkan senyum dan ketenangan, cukup retak karena jawaban sang Putri yang tidak lazim. Dan Aelin peka terhadap hal itu. Di alur novel, Aelin tidak pernah menanyakan keberadaan ibunya, entah karena paham sosok itu tidak ada lagi atau memang tidak ingin tahu selagi ayahnya masih ada dan berada cukup dekat dengannya. Jadi, ucapan Aelin saat ini adalah permintaan pertama yang berkaitan dengan ibunya. Wajar bagi Sierra untuk terkejut.
“Eh? Tentang ibu Putri?” tanya Sierra pada akhirnya, usai menetralisir keterkejutannya.
Aelin mengangguk, meringkuk di balik selimut tebal, bertingkah sekekanakan mungkin. “Ya, aku ingin tahu.”
Dibandingkan terharu, ekspresi Sierra lebih cocok disebut terharu. Ia terkesan cukup antusias untuk menceritakan segala hal tentang ibu Aelin. Keantusiasannya seperti saat ia menyiram ladang bunga mawar di Istana Clementine, salah satu kegiatan favoritnya.
“Ibu Putri bernama Viola Primevere, beliau berasal dari wilayah Selatan Neuchwachstein, tepatnya di Distrik Zannoct Valley. Itu adalah distrik hiburan malam, Madame Viola adalah salah satu penari dari kelompok penghibur keliling bernama Bravado,” tutur Sierra bercerita, sorot matanya tampak menatap jauh mengenang masa lalu, “Bravado dikenal sebagai salah satu kelompok penghibur terkenal di Neuchwachstein hingga mereka dapat memiliki kesempatan untuk tampil di Istana Kekaisaran sebagai peserta hiburan dalam acara kenegaraan. Pada saat itulah Yang Mulia Kaisar bertemu dengan Madame Viola….”
Benar juga, jika diingat-ingat, latar belakang ibu Aelin tidak pernah tercantum selain statusnya sebagai selir Ares. Bahkan, bukan benar-benar selir yang dinikahi, tapi seorang kekasih yang dibiarkan tinggal di istana. Ini kesempatan yang bagus, batin Aelin tanpa mengalihkan telinga dari cerita Sierra.
“… Madame Viola tinggal di Istana Clementine, ya, istana ini, di semasa hidupnya. Beliau sangat menyukai teh rosella dan kue kering keju. Beliau juga gemar bermain di ladang bunga dan air mancur Istana Clementine bersama Yang Mulia Kaisar. Beliau sangatlah ceria, ramah dan murah senyum. Beliau tidak sungkan membantu siapa pun, begitu sederhana, namun parasnya juga sangat rupawan hingga siapa pun tidak akan menduga bahwa beliau bukanlah keturunan bangsawan.”
“Ibu terdengar sangat baik,” tanggap Aelin kala Sierra menunduk padanya, ingin mengetahui reaksinya. “Aku menyukai Ibu.”
Sierra mengangguk, tersenyum lebar. “Madame sangat baik. Beliau memiliki aura dan energi yang sangat cerah, bahkan sampai sekarang saya masih menduga-duga apakah jangan-jangan beliau adalah bidadari yang turun dari surga.”
“Whoa, apakah secantik putri di dalam dongeng?”
“Lebih cantik!”
“Sungguh?”
“Sungguh.”
Tentu saja Aelin percaya. Siluet sosok Viola Primevere pernah ditampilkan di Webtoonnya, dan itu adalah siluet yang sangat cantik dan cerah. Dipenuhi oleh nuansa keemasan, sosok Viola digambarkan bak bidadari. Jadi, deskripsi Sierra tidak berlebihan. Sampai saat ini, Aelin sering mempertanyakan mengapa ilustrator hanya menggambarkan Viola sebagai siluet, tidak pernah sosok yang seutuhnya.
“Kalau begitu, sekarang Ibu ada di mana?”
Pertanyaan itu bagaikan bom yang menghancurkan segalanya. Suasana haru yang menguasai Sierra karena mengenang Viola pun pecah begitu saja. Tiada ekspresi haru di wajahnya, melainkan kesedihan yang nyata karena ingatan akhir hidup Viola membanjiri kepalanya. Untuk sesaat, Aelin merasa menyesal menanyakannya namun itu adalah pertanyaan yang sangat wajar untuk ditanyakan oleh anak kecil, jadi dia tidak memiliki pilihan.
“Sierra? Ada apa?” tanya Aelin kala Sierra tak kunjung bersuara, khawatir.
Sierra menoleh, menyunggingkan senyuman terpalsu yang pernah ada. “Tidak apa-apa, saya hanya teringat sesuatu terkait Madame.”
“Jangan sedih, maafkan aku, Sierra….”
“Ah, tidak, tidak apa-apa, Putri tidak salah sama sekali!” Sierra berdeham, merapikan ekspresinya. “Madame Viola, ya? Madame sekarang berada di tempat yang jauh sekali, tempat yang indah dan penuh kehangatan.”
Perumpaan yang bagus.
“Begitukah? Di mana? Apakah aku dapat menyusulnya?”
Sierra mengusap rambut merah Aelin. “Ya, suatu hari nanti, Putri dapat menyusul Madame. Madame pasti akan senang menyambut Putri.”
Benar-benar perumpaan yang bagus untuk menyembunyikan fakta menyakitkan. Viola sudah tidak ada, ia meninggal usai melahirkan Aelin, itu tercantum di dalam novel. Tentunya, Aelin alias Claire Ohara tahu itu. Namun, untuk menghibur Sierra, dia akan terus berpura-pura polos selayaknya anak kecil pada umumnya.
“Aku tidak sabar menantikannya.”
TO BE CONTINUED