“Kenapa Saga lama sekali?”
Langit jingga telah menghiasi lautan angkasa tetapi Saga tidak kunjung kembali dari Herenlass. Mungkin, sudah sekitar dua jam semenjak kepergiannya. Satu-satunya yang harus ditekankan adalah Aelin tidak boleh mudah goyah dalam mempercayai Saga. Lelaki itu tidak akan pernah berbohong dan berkhianat. Dia telah menekankan keyakinan itu erat-erat sejak celetukan sembarangan Kuro. Namun kemudian, lamanya kepergian Saga membuat Aelin cemas.
Tanpa perlu ditengok, Aelin tahu Kuro sedang menyeringai lebar karena pertanyaan gadis itu. Tiba-tiba saja situasi mulai berpihak pada Kuro, seakan-akan sedang ingin membenarkan celetukannya yang disangkal mentah-mentah oleh Aelin. Dan Aelin tidak bisa percaya bahwa dirinya akan merasa tidak menyukai seekor kucing dalam konteks seserius konflik antar manusia.
“Entahlah, jangan bertanya padaku. Kau tidak ingin mendengar ocehanku, bukan?” sahut Kuro meledek begitu saja, membuat Aelin melirik sinis. “Aku tidak ingin bertengkar dengan manusia.”
Aelin mendengus. “Kau pikir aku mau bertengkar dengan kucing, huh?”
“Kalau begitu bukankah lebih baik jika kau mengalah dan mengakui pemikiranku tepat? Penyihir Bodoh itu tidak kunjung kembali.”
Aelin menoleh, alisnya bertaut jengkel. “Sudah kubilang Saga akan kembali. Dia memang sedikit gila tapi dia tidak bermental pengkhianat!”
Kuro turut menoleh, rautnya mengikuti Aelin dengan tatapan tidak kalah tajam. “Aku mengenal Saga lebih darimu!”
“Well, jika memang begitu, seharusnya kau lebih memahami pola pikir Saga! Segila-gilanya dia, dia tidak mungkin berkhianat!”
Kuro membuang muka diiringi dengusan. “Kau tidak akan mengerti. Penyihir Bodoh itu belum menceritakan apa pun mengenai latar hidupnya, bukan? Bersenang-senanglah sejenak dalam fantasimu tentangnya.”
Aelin tidak memperlihatkannya, tetapi dia cukup tersentak oleh ucapan Kuro. Apa yang kucing itu katakan tidak salah. Saga belum menceritakan apa pun terkait latar belakang kehidupannya. Satu-satunya yang Aelin ketahui adalah dirinya seorang penyihir dari The Eternity Forest yang juga memiliki koneksi dengan Raja Faelyn. Hal lainnya adalah dia mengetahui usia Saga lebih tua dari seharusnya. Selesai, hanya itu saja.
Tempo hari Saga telah mengatakan tidak begitu penting untuk mengais rahasia satu sama lain selama mereka memutuskan saling mempercayai dengan sungguh-sungguh. Aelin yang awalnya tidak sependapat pun jadi berubah pikiran. Dia merasa tidak ada gunanya mencurigai Saga. Selama ini lelaki itu telah menemaninya tanpa pamrih—yah, mungkin saja itu masih belum terlihat—lantas jika ia memang memiliki niat buruk ia pasti sudah pergi jauh sebelum masalah ini terjadi. Aelin tahu dengan pasti betapa suka Saga terhadap kebebasan. Ia tidak mungkin repot-repot singgah sampai enam tahun di Istana Kekaisaran.
Aelin jadi merasa ini seperti suatu cobaan untuk menguji dirinya apakah dia benar-benar mempercayai Saga sebagai sahabatnya atau tidak. Menyebalkan sekali.
“Itu adalah privasi dia. Haknya untuk menceritakannya kepadaku atau tidak,” tukas Aelin, kukuh berdiri membela Saga. “Selama dia tidak mengutarakannya secara langsung, aku tidak akan mempercayai ucapan apa pun tentangnya dari mulut orang lain.”
Kuro menoleh, tatapan garangnya sedikit sirna. Berganti menjadi keheranan juga kebingungan. “Kau benar-benar sepercaya itu padanya, huh?”
Aelin tersenyum. “Tentu saja. Dia satu-satunya sahabatku. Sekarang hanya dia yang kumiliki.”
Kuro tidak berkomentar lagi seolah menerima keputusan Aelin dalam mempercayai Saga sepenuhnya. Kucing hitam itu kembali merebahkan diri di dekat api unggun yang dia nyalakan dalam sekali hembusan api—berhubung malam akan segera tiba. Aelin duduk di samping Kuro, menatap kobaran api unggun. Benaknya masih cemas namun ia berusaha tetap tenang sembari mendoakan keselamatan Saga di Herenlass. Walau ia meyakini kemampuan lelaki itu, takdir tidak dapat ditebak, bukan?
Belum terlalu lama sejak Kuro dan Aelin diselimut keheningan, si kucing hitam tiba-tiba bangkit duduk. Kepalanya mengarah ke Utara dengan bulu bergidik seluruhnya. Gelagatnya sontak mengejutkan Aelin. Gadis itu turut menoleh ke arah pandangan Kuro. Kecemasannya kian meningkat. Dari mengkhawatirkan Saga kini bertambah menjadi kemungkinan ada orang asing mendekat.
“Ada apa, Kuro?” tanya Aelin, berbisik sepelan mungkin.
“Ada yang mendekat,” jawab Kuro, bulu-bulunya makin naik. “Dan itu terlalu banyak.”
Aelin sontak bangkit berdiri kala mendengar suara gemerisik dari kejauhan. Tubuhnya terpaku di tempat saat beberapa sekon kemudian muncul suara-suara yang riuh, pertanda bahwa tidak hanya satu orang yang mendekat. Keringat dingin segera membasahi kening Aelin, mulai panik. Saga tidak ada, dia belum mampu menggunakan sihir, hanya ada Kuro si Nekomata yang belum tentu mampu menghadapi segerombol manusia. Catatan tambahan, tampaknya gerombolan tersebut adalah pasukan kesatria kekaisaran.
Hutan Leadale tidak mungkin dijelajahi sembarangan akibat menaungi hewan-hewan buas. Jika bukan satuan penjaga hutan, pasti kesatria.
Bagaimana ini?
“Kuro, kembali ke gua!”
Kuro menoleh. “Huh? Apa—meow!!”
Tidak menunggu Kuro menyelesaikan ucapannya, Aelin menyambar tubuh kucing itu dan membawanya memasuki gua. Bukan tanpa alasan. Aelin ingat pesan Saga bahwa gua tersebut telah ditanamkan mantra pelindung yang akan aktif jika didekati maupun diserang oleh siapa pun selain mereka bertiga. Saga sempat mengatakan kekuatan mantranya cukup kuat untuk melindungi dari serangan hewan buas, tembakan sihir, dan serangan pedang. Jadi, hanya itulah yang bisa Aelin andalkan sekarang.
Bertepatan setelah masuk ke dalam gua, segerombol kesatria kekaisaran muncul dari balik pepohonan dan semak-semak. Jumlah mereka tidak sedikit seakan-akan sudah tahu posisi Aelin dengan tepat sehingga tidak perlu terpecah menjadi beberapa tim. Aelin dan Kuro kian terpaku di tempat dengan kepala kosong, terlalu syok untuk mencerna situasi. Mereka sempat berpikir pasukan kesatria di depan gua hanyalah imajinasi. Namun, mereka tidak kunjung menghilang sehingga itu semua bukanlah imajinasi belaka.
“Putri Aelinna Eunice von Sinclair telah ditemukan!” ujar salah satu kesatria, memulai kengerian. “Atas tindak kriminal Anda sebagai pengkhianat Kekaisaran Neuchwachstein, Anda kami tangkap untuk mendapatkan hukum seadil-adilnya!”
Mungkin Aelin akan tetap menjadi patung jika saja Kuro tidak menyenggol kakinya. Gadis itu mengerjap cepat, buru-buru kembali ke kesadarannya. Dia menatap puluhan kesatria yang berjarak dua puluh meter di hadapannya. Tanpa aba-aba, mereka telah mengacungkan pedang seolah-olah Aelin hendak melawan dengan kekerasan. Status gadis itu sebagai Putri Neuchwachstein telah sirna, maka wajar saja melihat tiada satu pun dari mereka merasa segan kepadanya.
“Angkat tangan dan serahkan diri Anda, maka tidak perlu ada sesuatu yang tidak diinginkan untuk terjadi, Putri Aelinna.”
Saga, aku takut…, batin Aelin, tubuhnya mulai dijalari oleh gemetar seiring keringat dingin makin bercucuran. Apa yang harus kulakukan…?
Menginterupsi kekosongan pikiran Aelin, Kuro maju selangkah lalu menggeram kencang kepada para kesatria. Aura hitam pekat memancar dari tubuhnya, lambat-laun menyebar hingga keluar gua. Dalam sekejap, tumbuhan di sekitar gua layu akibat paparan aura Kuro. Para kesatria sigap memasang kuda-kuda dalam kondisi terkejut menyaksikan fenomena tersebut. Pasalnya, tidak ada informasi yang menyebutkan Aelin dikawal oleh binatang mistis.
Sementara itu, Aelin kian panik melihat Kuro menggunakan kekuatan aslinya sebagai Nekomata. Dia ingat Saga pernah berkata bahwa Nekomata sangat erat dengan kematian. Kutukan Nekomata mengincar nyawa manusia dan tidak ada penangkal atas hal tersebut. Sayangnya, Saga tidak memaparkan lebih lanjut tentang kekuatan Kuro. Kendati demikian, Aelin cukup yakin Kuro tidak akan mampu melawan puluhan kesatria sekaligus sendirian.
Bagaimana ini?
“Kuro, hentikan! Kau tidak akan mampu melawan mereka sekaligus…!” tegur Aelin seraya berjongkok, hendak meraih Kuro agar pancaran kekuatannya berhenti mengalir. Akan tetapi, kepekatan aura membuat tangan Aelin seperti tersengat listrik sehingga dia tidak dapat mendekap kucing itu.
“Sekarang atau tidak sama sekali, Aelinna,” tandas Kuro dingin, “setidaknya, kita harus mengulur waktu sampai Penyihir Bodoh itu kembali.”
“Tapi—”
DUAR!
Aelin mendelik kaget melihat sebuah ledakan menghantam mulut gua. Sekat transparan pun terlihat, mantra pelindung yang ditanamkan oleh Saga. Sesuai ucapan Saga, gua terlindungi namun apakah itu dapat dipercaya selama apa? Jika serangan terus dilancarkan, bisa jadi berakibat pada kehancuran gua. Getaran dari ledakan barusan saja membuat seisi gua bergetar hebat.
Bagaimana ini?
TO BE CONTINUED