Just Feeling

3830 Words
Mia terus menghela nafasnya. Jadi Alex ingin bermain teka teki? Ya. Baiklah Mia akan ikuti permainan Alex.   Jenuh. Satu kata yang dirasakan Mia saat ini.   Mia bahkan tak tahu ini tanggal dan hari apa. Rasanya sudah seabad Mia terkurung di rumah besar ini. Apa Mia bisa kabur? Kemarin para pelayan Alex yang melarikan diri punya alasan karena dipecat kepada dua orang penjaga rumah Alex disini. Tapi Mia? Mia tak punya alasan apa apa, dan juga tak punya apa apa untuk melarikan diri bahkan baju yang ia pakai sekarang pun bukan miliknya kan?   Tidak ada pelayan dengan wajah tertekan itu lagi disini dan Alex sudah tidak menampakan dirinya setelah perbincangan tadi pagi. Mia berniat untuk melihat-lihat rumah ini.   Mia menggeram frustasi kebanyakan ruangan ruangan disini terkunci rapat.   Lalu pintu tinggi bercat hitam itu menarik perhatian Mia, kamar Alex.   Mia tidak peduli jika Alex tiba tiba datang dan memarahinya kali ini.   Yah kamar dengan cat putih pucat dan barang yang serba putih juga. Hanya saja sedikit lebih berwarna dibanding kamar Mia, piano berwarna putih berada di ujung kamar ini. Lemari putih dengan buku buku tebal juga piringan instrumental dan sebuah music-box tertata rapih disana. Dan lemari pakaian Alex yang berwarna putih, hanya warna tirai, sprei, dan pintunya saja berwarna hitam.   Apa Alex menyukai kedua warna yang membosankan itu? Mia menggerutu pelan.   Buku-buku tebal yang terpajang rapi disana menjadi sasaran untuk Mia lihat.   Buku yang kebanyakan berbahasa inggris itu sama sekali bukan selera bacaan Mia, kebanyakan buku buku mitologi dan sejarah sejarah kuno.   Kenapa Alex membaca buku-buku ini? Bukankah seharusnya buku yang ia baca adalah buku-buku bisnis atau tentang manajemen atau apapun itu tentang perusahaan. Eh, lagipula Mia bahkan tak tahu Alex bekerja sebagai apa. Mia jadi teringat Alex akan mengajaknya ke perayaan ulang tahun perusahaannya. Sudah jelas dia adalah orang yang berperan penting dalam sebuah perusahaan. Bodoh, kenapa Mia pusing memikirkannya?   Mia membuka halaman per halaman buku itu sampai selembar kertas jatuh mengenai kakinya.   Mia memungutnya, itu selembar foto.   Foto usang dengan efek sepia. Ini pasti foto lama.   Kening Mia berkerut, foto seorang pria yang kira-kira berumur sebelas tahun tengah tertawa bahagia dengan dua orang yang mengapitnya. Namun wajah dua orang yang mengapit pria itu satunya sudah blur karena air dan satunya terpotong karena sengaja dibakar.   Mia mengerutkan keningnya. Bisa dipastikan itu foto Alex dulu, warna mata abunya terlihat jelas difoto itu. Tapi Alex tertawa? Benarkah dia sebahagia itu dulu? Dan siapa dua orang yang mengapitnya itu? Mungkin orang tuanya. Tapi kenapa harus tidak jelas seperti itu.   Walaupun dengan wajah yang serupa tetap saja menggambarkan Alex yang berbeda. Alex tampak sangat bahagia, berbeda dengan Alex yang Mia tahu, sekarang.   Tapi kenapa rasanya wajah Alex di foto itu begitu familiar bagi Mia?   Sebelum pemikirannya bertambah panjang Mia menyelipkan kembali foto itu ke buku Alex dan menyimpannya ke tempat semula.   Siapa Alex sebenarnya?   Mia keluar dari kamar Alex dengan wajah menunduk. Sembilan tahun bukan waktu yang sebentar bagi Mia merasa terasingkan, merasa sendirian bahkan kesepian sekalipun. Mia bahkan tak terlalu ingat bagaimana masa kecilnya. Yang Mia tahu dulu Mia bahagia, memiliki Mama dan Papa yang selalu berada di sampingnya sampai ia harus menerima kenyataan bahwa Mamanya meninggal juga bahwa kesehatan jantungnya tidak normal untuk anak seusianya. Papanya lebih sibuk dari biasanya. Walaupun Mia tahu papanya sangat menyayanginya.   Mia menggeleng tidak mau lagi mengingat-ngingat masa lalunya.   "Apa yang kau pikirkan?"   Mia terperanjat lalau cepat-cepat mengelap sudut matanya yang berair. Entah datang dari mana, Alex sudah berada di pinggirnya.   "Tidak. Bukan apa apa." jawab Mia pelan.   "Kenapa kau berada di depan kamarku? Kau ... menyelinap masuk kesana, hah?" Alex menatap Mia intens. Tentu saja membuat Mia gugup.   "Ti-tidak untuk apa aku kekamarmu? Ada barang berharga? Kau cek saja sendiri." dusta Mia mantap.   Alex hanya menaikan sebelah alisnya lalu tak merespon jawaban Mia dan berlalu pergi.   "Tunggu," Mia mencekal lengan Alex untuk tidak pergi.   "Hmm?"   "Kau kenapa?" Mia menunjuk pipi Alex yang lebam   "Bukan urusanmu." Jawab Alex dingin lalu melepaskan genggaman Mia pada tangannya.   "Kau merasa bersalah padaku hah? Sehingga membuat luka yang sama di pipi kita?" Geram Mia. Tentu saja Mia tak berpikir seperti itu, tapi entah dorongan dari mana dia bisa berasumsi seperti itu.   Alex tertawa meremehkan. Percaya diri sekali anak ini.   Alex menarik lengan Mia dan mencengkramnya kasar membuat Mia tersentak.   "Kau bilang apa tadi?" Kata Alex dengan sorot mata marah.   Jarak wajah mereka hanya beberapa milimeter dan Mia sangat bisa merasakan kemarahan Alex sekarang. Tapi Mia masih menatap Alex dengan tatapan menantang.   Aku tidak boleh kalah! Tidak boleh! Batin Mia menguatkan dirinya sendiri.   "Kau pikir aku merasa bersalah? Haha. Asal kau tahu saja Nona Mia, kau memang pantas mendapat luka itu bahkan lebih dari itu!" Gertak Alex. Lalu menghempaskan lengan Mia secara kasar juga. Belum sempat Alex akan melangkah pergi lagi Mia tertawa nista.   "Lalu, lalu kenapa kau tidak melakukannya sekarang Alex? Lakukan apa maumu padaku! Bukankah lebih cepat lebih baik?" Tantang Mia.   Alex menyunggingkan senyum miringnya. Lalu kembali mendekat , membuat Mia mau tak mau harus mundur hingga sampai pada sisi dinding.   Alex sangat menakutkan. Menatap Mia benci dan penuh amarah.   "Kau menantangku nona Mia Clark?"   Mia tak bergeming.   "Jawab aku! Apa sekarang kau sedang menantangku, hah?!" Kini Suara Alex yang tadinya tenang berubah menjadi sangat keras, berteriak penuh amarah.   Tubuh Mia bergetar takut, bagaimana ia bisa menjawab jika Alex berteriak seperti itu dan jarak diantara mereka hanya beberapa inci?   Alex kembali menyunggingkan senyum miringnya.   Lalu menelusuri pipi Mia dengan jarinya sampai menyentuh luka memarnya.   Mia meringis.   "Kau mau aku melakukannya sekarang? Apa kau tidak akan takut? Tidak Mia, aku ingin membuatnya perlahan tapi pasti. Kau hanya perlu bersabar saja ... ok?" Alex menyunggingkan senyum jahatnya setelah mengatakan hal itu. Lalu meninggalkan Mia yang masih mematung dengan mata yang terasa penuh dengan air.   Melakukannya secara perlahan? Mia tak bisa membayangkannya lagi.   ***   Gio memakai setelan jas resminya asal. Sialan, jika bukan karena keinginannya untuk pulang ke Indonesia, ayahnya tidak akan menjadi secerewet ini dengan sedikit sedikit mengancamnya untuk dikirim kembali ke Tokyo secara paksa jika tidak mematuhi perintahnya. Kali ini Ayahnya memaksa Gio untuk menghadiri sebuah undangan acara ulang tahun sebuah perusahaan, tentu saja Gio sangat malas datang ke acara seperti itu penuh dengan orang orang formal yang membosankan dan penuh orang orang kaya yang bersandiwara akan senyum manisnya padahal itu senyum meremehkan.   "Ayolah ini demi Mia-mu itu." Entah datang dari mana Gaby sudah berada di ambang pintu kamar Gio. Gaby sudah siap dengan gaun panjang berwarna merah tuanya. Gaby terlihat sangat cantik.   "Oh s**t, Gaby! Jika bukan karena Mia aku tak sudi datang ke acara seperti itu." Umpat Gio.   "Well, aku dengar Abraham's CEO group sekarang diurus oleh anaknya Alex Abraham. Yang kudengar dia sangat tampan. So, aku perlu melihatnya." Kata Gaby sambil terkekeh.   Gio melotot mendengar tanggapan Gaby "Bisa-bisanya kau berpikir seperti itu! Pria itu pasti kalah tampan denganku." Kali ini Gio yang terkekeh.   "i***t. Kau bahkan hanya mengejar ngejar satu wanita yang belum tentu mencintaimu." ejek Gaby.   "Jika Mia tidak mencintaiku akan kubuat dia mencintaiku. Hahaha!" Kata Gio optimis.   Gaby hanya bersungut-sungut mencibir Gio   "Dia wanita yang sangat tidak beruntung karena telah mencintaimu." Gaby masih tak mau kalah.   Gio menatap Gaby kesal, percuma saja adu mulut dengan kakaknya yang satu ini hanya akan menguras tenaganya saja. Jadi pada akhirnya Gio pula yang mengalah. Padahal dimana mana bukankah seorang kakak yang harusnya mengalah?   Akh! Gio menggeram frustasi.   "Lebih baik kita cepat pergi sebelum aku menyumpal mulutmu itu!" Gertak Gio yang malah membuat Gaby tertawa lepas.   ***   "Kenapa kau belum siap?" Alex mengagetkan Mia yang sedang termenung di ranjangnya.   Mia menoleh. "Memangnya bersiap untuk apa?" Tanya Mia polos.   "Bukankah sudah kukatakan kau akan kuajak ke acara pesta ulang tahun perusahaanku." Desis Alex.   Mia malah tertawa.   "Itu perusahaanmu? Lalu kenapa kau sangat santai sekali."   "Aku hanya tinggal menyiapkan uang dan semuanya beres. Aku tidak mau tahu lima belas menit kau sudah selesai atau kubuat kau mati tanpa suara!" Ancam Alex tapi entah kenapa ancaman Alex kali ini sama sekali tak membuat Mia takut.   "Lakukan saja." Jawab Mia santai. Oh, bagaimana bisa Mia yang sekarang kini telah menjadi seorang yang suka menantang.   Darah Alex mendidih. Ia mendekati Mia   Satu tamparan keras mendarat dipipi mulus Mia.   "Sudah kubilang jangan tantang aku Mia! Kau benar benar ingin mati sekarang?" Alex berteriak padanya.   Tentu saja Mia kaget. Bodoh, kenapa aku menantangnya? Batin Mia.   "A-alex." Kata Mia gugup   Alex memasang wajah tenangnya kembali.   "Lima belas menit." Kata Alex dingin lalu berlalu pergi.   Apa dia segila itu? Kenapa cepat sekali perubahan sikapnya?   Tanpa pikir panjang Mia segera berdandan dan mengenakan gaun hitam yang Alex belikan untuknya lusa kemarin. Kali ini Mia memberi make up tipis ke wajahnya untuk menutupi luka lebamnya. Dan lipstick bewarna merah darah. Mia tersenyum kecut melihat bayangannya sendiri di cermin. Kini ia nampak berantakan. Tapi siapa peduli? Persetan dengan semua itu. Hidup Mia kini dalam kendali Alex, dan apa yang akan terjadi kedepannya Mia sudah tak mau tahu lagi. Kenyataan yang sudah jelas adalah bahwa Alex ingin membuatnya menderita. Ya itu memang sudah terjadi, dengan mengurung Mia di rumah besarnya ini, dengan sikapnya yang mudah sekali berubah dan dengan membuat Mia penasaran apa salahnya selama ini? Mia mendesis sadar akan pemikirannya. Kenapa ia mudah sekali putus asa? Ia memukul pelipisnya pelan.   "Aahh!" Geram Mia.   "Kenapa kau lama sekali?" Alex kembali muncul secara tiba tiba   Mia segera menoleh. Oh tuhan! Alex sudah siap dengan tuxedo berwarna biru tua yang pas ditubuhnya. Rambut Alex dibiarkan sedikit basah yang membuat kesan sexy padanya.   Mia kembali menggeram, mengagumi orang jahat seperti alex? Tapi Mia bukan wanita munafik. Mia akui bahwa Alex tampan malam ini. Oke malam ini saja, aku bilang! Batin Mia.   Alex tersenyum miring menyadari Mia yang tengah memperhatikannya.   "Terpesona, hah?" Sindir Alex.   Mia melotot.   "Tidak! Penampilanmu biasa saja. Kuberi nilai 6!" Elak Mia, ah terdengar seperti lelucon yang gagal bukan?   Alex tertawa.   "Kau pintar berbohong. Cepat selesaikan Mia atau kita akan terlambat!"   Mia segera melangkah menuju Alex.   Sampai Mia tercekat menyadari kakinya yang telanjang.   "Apa lagi?" Tanya Alex tak sabar.   Mia menggigit bibir bawahnya.   "Alex ... emm." Mia menunjuk kakinya.   Alex terkekeh pelan.   "kau lebih pantas seperti itu." Mungkin terdengar lucu untuk Alex tapi tidak untuk Mia,   "Alex ... aku serius," kata Mia sambil mendesah pelan.   "Aku sudah menyiapkannya." Alex kembali bernada datar.   Mia mengikuti Alex yang sudah berlalu.   OH! mia memekik senang. Untuk pertama kalinya melewati batas pintu keluar rumah Alex.   Alex menghampirinya memberikan sebuah shopping bag berisi sebuah kardus berlebel merk sepatu terkenal.   Mia membukanya, heels putih sekitar lima cm menjadi pilihan Alex untuk Mia pakai.   Mia tertawa, heelsnya pas dikakinya.   "Kenapa?" Alex mengernyit   "Kau tahu nomor sepatuku?" Kata Mia mengejek.   Alex mendelik tak memberi jawaban. Segera berlalu naik ke mobil ferrari hitamnya. Mobil yang tidak terlalu mewah untuk pria seperti Alex.   Mia mengerucutkan bibirnya, yang diimpikan Mia jika seorang pria mengajaknya kesebuah pesta pria itu akan menjemputnya dengan wajah yang hangat lalu memuji penampilannya yang cantik dan setelah itu membukakan pintu mobilnya sebelum ia masuk kedalam mobil dan memperlakukannya bagai seorang putri. Dan Mia berharap pria itu Alex? Ahh Mia menggeram lagi lagi pemikiran yang bodoh.   "Cepat masuk Mia Clark!" Perintah Alex, dengan gusar Mia masuk kedalam mobil Alex. Oh astaga, apa Mia benar benar akan keluar dari rumah bercat putih ini? Mia tersenyum miring.   *   "Alex! Apa kau benar benar mengajakku keluar? Oh astaga!" Teriak Mia girang. Seolah tidak pernah terjadi apa apa dengan Alex,   Alex hanya mendesis, Mia clark sungguh sangat berisik.   "Mia bisakah kau duduk dengan tenang?"   "Oh Alex, kau harus tahu aku belum kemana mana sesampai aku di sini. Aku bahkan belum bertemu papah, dan tiba tiba kau membawa ku secara paksa ke rumah mu yang seperti sel rumah sakit jiwa!" Celetuk Mia. Mia segera menutup mulutnya cepat cepat ,   Alex menaikan sebelah alisnya. Mia bahkan belum bertemu dengan si tua bangka itu.   "Bagus, itu yang aku mau." Kata alex datar.   Mia mendengus kesal. Lalu kembali teringat Gio,   "Hah, seandainya Gio tidak ke Tokyo ..." kata Mia pelan, sangat pelan. Tapi masih terdengar oleh Alex.   "Siapa Gio?" Tanya Alex penasaran.   Mia mengerjap. Pendengaran Alex sangat tajam ternyata. Mia lekas menggeleng.   "Bukan siapa siapa." Jawab Mia pelan.   Alex mengerutkan keningnya tidak puas akan jawaban Mia.   "Kekasihmu?" Alex belum mau menyerah   Mia terkekeh.   "Jika ya kenapa? Dan jika tidak kenapa?" Kata Mia meniru gaya bicara Alex   "Mia aku serius!" Bentak Alex.   Mia menghela nafas panjang.   "Bukan urusanmu, Alex." Jawab Mia.   Alex membanting setirnya ke kanan lalu menghentikan mobilnya.   Mia membelalak kaget, lalu menatap Alex yang tengah menatapnya dengan tatapan marah. Dewi batin Mia berkata bahwa dia tidak salah kali ini, memang benar bukan? Ini bukan urusan Alex.   "Kau bilang apa tadi? Bukan urusanku? JELAS ITU URUSANKU! katakan siapa dia!" Alex kembali hilang kendali.   Mia mendelikan matanya. Alex selalu membuatnya takut.   "Di-dia temanku." Jawab Mia bergetar.   Alex menyunggingkan senyum miringnya. Benarkah hanya teman? Lalu kembali melajukan mobilnya.   *   Mereka sampai disebuah hotel berbintang lima.   Mia menjadi gugup. Jelas ia tidak pernah datang keacara seperti ini, Mia bukanlah tipe wanita yang suka keramaian.   Kedatangan Mereka disambut oleh 2 orang pria berpakaian formal, tentu saja Alex adalah salah satu orang penting dalam acara ini. Alex menggandeng lengan Mia possesive.   "Kau gugup?" Tanyanya seakan mengerti perasaan Mia sekarang.   Mia menggeleng cepat. Oh apa dia benar benar mudah ditebak?   Mia menggigit bibir bawahnya.   Belum beberapa langkah ia masuk kedalam ruangan tempat acara ini berlangsung ia sudah kembali dibuat minder kebanyakan wanita disini berpakaian glamour dan mewah seperti saling memamerkan harta dan juga kedudukan mereka. Sedangkan Mia berpenampilan kelewat sederhana. Bahkan ia tidak ke salon dan hanya berdandan seadanya. apa Alex sengaja membuatnya terlihat rendah seperti ini? Mia menggeram pelan.   Dan yang membuat risih kini adalah sebagian dari mereka menatap Mia penuh kebencian.   Alasannya? Oh ya, tentu saja karena Alex datang bersamanya dan juga menggandengnya.   Bagaimana mereka tidak iri?! Malam ini Alex memiliki pesona bagai dewa yunani. Mia bilang hanya untuk malam ini!   "Alex, kapan kau datang? Aku pikir kau tidak akan datang dan menyuruh orang suruhanmu untuk mewakilimu." tiba tiba seorang wanita cantik menyapa Alex, dan langsung dekat dekat dengannya.   "Baru saja. Hmm," jawab Alex dingin.   Kini wanita itu menatap Mia yang tengah digandeng Alex.   "Oh siapa dia, Alex?" Tanya wanita itu lagi menatap Mia intens.   "Bukan urusanmu." Jawab Alex acuh.   Mia menahan tawa, wanita itu tak mendapat respon yang baik dari Alex.   Wanita itu menggeram menatap Mia tidak suka lalu berlalu pergi.   "Ekhm. Kau punya banyak penggemar ya ternyata." Kata Mia terkekeh.   Alex hanya berdehem singkat. Dia sungguh menjaga imagenya malam ini. Mia mendengus kesal apa bawahannya tidak ada yang tau bahwa bosnya ini adalah pria gila?   Sadar, Mia tak tahu berapa umur Alex sekarang mengingat wajahnya masih terlalu muda untuk memiliki sebuah perusahaan. Jika Alex adalah pria buncit dengan berewok juga uban dirambutnya mia akan setuju setuju saja jika Alex bilang ia adalah seorang pemilik perusahaan. Mia memajukan bibirnya memikirkan hal itu.   Alex mengernyit melihat Mia dengan air muka yang berubah ubah.   Tapi Alex tak ambil pusing.   "Halo tuan Alex selamat untuk yang ke-26 tahunnya perusahaan Abraham." Seorang pria setengah baya menghampiri Alex dan memberinya selamat disusul pria yang sebaya dengannya memberi salam.   Alex mengangguk membalas jabatan tangan mereka dengan senyum kilatnya.   "Oh ... siapa dia tuan Alex? Apa dia kekasihmu?" Tanya pria itu yang kini menatap Mia   "Nope. Aku hanya sedang tidak ingin datang sendiri." Jawab Alex tenang.   "Aku pikir dia kekasihmu. Lihat, kalian sangat serasi." Puji pria itu.menggoda Alex. Terdengar sangat berbasa basi   Alex tersenyum hambar.   "Dia putri tunggal Tuan Clark." Aku Alex.   Mata kedua pria itu melotot tak percaya.   "Tom Clark yang kini sudah bangkrut itu? Ya Tuhan, aku benar benar tidak percaya bahwa dia benar-benar masih hidup! Aku tahu sekarang alasannya kenapa Tom Clark menyembunyikannya selama ini lihat dia sangat cantik." Kali ini tidak terdengar nada memuji dari pria itu.   "Begitulah," Kata Alex masih datar.   "Anda sangat baik sekali. Mengingat ayahnya yang telah bangkrut anda masih berbaik hati membawanya bersama Anda kemari. Ini pasti hal yang sangat sulit untukmu, nona." Kata pria satunya lagi. Apa maksudnya? Mia tersinggung kali ini.   "Tidak. Aku tidak sebaik itu, dia hanya wanita investasi saja. Aku membelinya dengan timbal balik menutupi salah satu hutang Tuan Clark." Kata Alex enteng. Tubuh Mia menegang lalu menatap Alex dengan wajah tenangnya seperti tak merasa berdosa sedikitpun. Mia menunduk dan mengepal kedua tangannya menahan tangis. Itu sungguh sakit. Kedua pria itu tak lagi berkata kata, lalu menatap Mia dengan tatapan iba.   Mereka duduk di barisan pertama, barisan orang orang penting dalam perusahaannya mungkin. Alex memberi isyarat pada Mia untuk tetap disitu ia akan naik ke panggung memberi sambutan untuk acara ini.   Tapi Mia tidak mendengar. Ia lebih memilih keluar ruangan dan menanyakan letak toilet ditempat ini. Menjauh dari Alex untuk tidak secara langsung menatap wajahnya adalah ide yang bagus.   Tanpa sadar, Mia tengah diperhatikan seorang pria dari jauh.   Mia menatap bayangannya dicermin matanya sudah merah menahan air. Perkataan Alex tadi membuatnya merasa seperti w************n yang ia beli secara sukarela.   Kedua tangannya berpegangan pada pinggiran wastafel menyangga tubuhnya yang terasa lemas.   "Dia bilang apa tadi? Aku hanya wanita investasi? Aku ini manusia bukan saham perusahaan! Memangnya dia anggap aku ini apa?!" Mia berbicara pada bayangannya sendiri yang terlihat menyedihkan.   Mia masih menahan tangisnya.   "Papah tidak mungkin menjualku! Dia bilang aku akan tahu kebenarannya pada waktunya. Ya aku harus tahu secepatnya!" d**a Mia bergemuruh keras.   Mia mengelap matanya yang berair lalu keluar dari toilet itu dengan langkah cepat. Sampai Mia tak melihat seseorang yang tengah berdiri mematung didekat sini hingga Mia menubruk tubuhnya. Sebelum Mia tersungkur jatuh pinggangnya ditarik hingga tubuh Mia menempel pada tubuh orang itu. Mia belum sempat melihat orang itu wajahnya menempel pada d**a orang tersebut hingga Mia bisa menghirup aroma parfumnya. Mia mengenal bau parfum ini, perlahan ia mendongak untuk melihat wajah orang yang ada dihadapannya kini. Mata coklat terangnya dan senyum manisnya menyambut Mia.   "Gi-gio?" Mia membelalak tak percaya. Gio?   Gio mengangguk. Dunia ini sempit sekali. Dalam hati Gio berterimakasih pada ayahnya yang telah menyuruhnya datang keacara ini. Walaupun satu pertanyaan mengganjal hatinya. Siapa pria yg bersama Mia tadi?   "Kenapa kau ada disini?" Tanya Mia lagi.   "Dan kenapa kau senang sekali membuatku hampir gila karenamu?" Gio balik bertanya.   Mia tak menjawab. Matanya yang sudah penuh dengan air tadi kini ia tumpahkan begitu saja. Menangis dihadapan Gio.   Gio yang kaget melihat Mia menangis tiba tiba segera memeluknya erat.   "Gi-gio.. aku harap a-aku benar benar mati saja saat itu" Kata Mia putus asa   Gio menggeleng.   Lalu menangkup wajah Mia dengan kedua tangannya.   "ssstt.. jangan katakan itu lagi Mia" Gio menghapus air mata Mia.   Gio hanya berjarak beberapa inci dari Mia, Mia jadi teringat Alex yang selalu sedekat ini dengannya. Tapi kenapa jantungnya tak memompa dengan cepat saat sedekat ini dengan Gio? Kenapa jantungnya memompa cepat hanya jika dekat dengan Alex? Bukankah awalnya Mia beranggapan bahwa Mia mencintai gio?   "Gio.. kenapa? Kenapa kau baik padaku?" Lirih Mia   Gio menghela nafas panjang.   "Apa kurang jelas? Seharusnya kau sudah tahu... aku..." perkataan Gio terpotong karena tubuhnya terhuyung hampir jatuh saat seseorang menghatamkan satu tinjuan ke wajah Gio.   "Alex!" Teriak Mia,   Alex meninju wajah Gio lagi   "Beraninya kau sentuh dia!" Teriak Alex kembali menghantamkan pukulannya. Gio membalas memukul Alex sama marahnya.   "Maksudmu apa bodoh!" Teriak Gio.   Saat Alex kembali mengepal tangannya untuk kembali memukul Gio, Mia menahan tubuh Alex untuk tidak melakukannya.   "Alex? Kau kenapa!! Cukup Alex" teriak Mia.   Untung saja ini koridor hotel menuju toilet umum dan tidak ada orang disini. Para tamu pasti masih sibuk di ruangan acara berlangsung.   Tubuh Alex mengendur rahangnya yang tadi mengeras kini mulai kembali normal. Menatap Mia Clark dengan mata sembabnya. Dan juga kenyataan bahwa ia lepas kendali melihatnya dipeluk pria lain. Marah karena dia seperti wanita jalang lainnya bukan?   "Cukup Alex!" Nada Mia kini terdengar memohon. Seperti sihir Alex menuruti kata Mia.   Tiba tiba Gaby dengan wajah bingungnya datang menghampiri Gio.   "Yaampun Gio? What the hell!" Pekik Gaby   Gaby menatap Alex dan Mia bergantian yang masih dalam posisinya. Bukankah itu Alex Abraham? Ada urusan apa dengan adiknya? Lalu kembali menatap Gio yang tengah meringis karena wajahnya yang lebam oleh pukulan Alex.   "Kau kenapa!?" Gaby meraba wajah Gio khawatir.   "Aku tidak tahu!" Jawab Gio kesal.   "Ayo kita pergi dari sini!" Gaby menarik lengan Gio dengan isyarat menuntut penjelasan darinya.   "Tunggu. Mia, kau ikut denganku kan?" Gio menatap Mia penuh harap. Tentu saja ia ingin bertanya tentang pria gila yang memukulnya tiba tiba ini. Dan Mia mengenalnya?   Alex melotot.   Lalu menahan Mia dengan menggemgam tangannya.   "Dia bersamaku!" Kata Alex menegaskan bahwa mia 'miliknya'   Mia mengisyaratkan pada Gio bahwa Mia akan ikut bersama Alex.   Gaby kembali menarik Gio untuk segera pergi   Gio tak punya pilihan lagi.   Mia masih mematung dengan Alex yang menggemgam tangannya.   Alex menatapnya tajam penuh amarah.   "Jalang! Kau terlihat seperti wanita jalang!" Umpat Alex.   Mia melotot.   "Apa maksudmu?" Tanya Mia keras.   Alex tak memberi jawaban, lalu menarik mia kasar keluar dari hotel ini.   "Mau kemana?" Tanya Mia penasaran   "Pulang." Jawab Alex dingin.   "Baru saja aku bawa keluar kau sudah berani berpelukan dengan pria lain! Apalagi jika aku tidak datang! Kau akan bercinta dengannya disana hah?" Teriak alex marah.   Alex tak menghiraukan pertanyaan orang yang bertanya mau pergi kemana dia? Acaranya pasti belum selesai.   Mia menggertak. Tak lagi membalas perkataan Alex. Lebih baik ia diam! Wanita jalang katanya?   Tidak ada obrolan apapun saat mereka dalam mobil. Alex terlihat serius menyetir walaupun sesekali meringis karena luka lebamnya. Belum lagi luka lebamnya tadi siang masih jelas terlihat. Sesekali Mia memperhatikannya.   Sesampainya dirumah, Mia segera mengambil air dingin untuk ia kompreskan ke luka Alex. Baiklah Mia tidak sejahat Alex. Setidaknya jika alex pria gila berarti Mia wanita yang masih waras.   Di kamarnya, Alex sudah membuka jasnya melonggarkan dasinya membuka 2 kancing kemejanya dan melinting kemejanya. Kenapa dia semakin terlihat tampan?   "Mau apa lagi?" Tanya Alex dingin.   "Duduklah akan kuobati lukamu." Perintah Mia.   "Tidak perlu, ini bukan luka parah keluarlah!" Enggan Alex.   Mia tak menggubris.   "Percaya padaku. Kau ingin lukamu akan semakin parah dan akhirnya mengeluarkan darah?" Dusta Mia, luka lebam tidak akan mengeluarkan darah. Tapi Alex kini berwajah pucat. Mia tersenyum kilat. Berhasil hanya dengan mengatakan kata darah alex terlihat sangat ketakutan.   Alex menuruti pemerintah Mia lalu duduk di sofa kamarnya.   "Sshhh." Alex meringis saat Mia mengompres lukanya.   "Maaf." Lirih Mia merasa bersalah.   Alex menatap Mia yang sedang serius mengompres lukanya.   Sungguh Alex tidak rela pria manapun menyentuhnya kecuali dirinya. Melihatnya menangis dalam dekapan pria lain membuat darahnya mendidih. Baiklah memang tujuan Alex membuat Mia menangis karena ucapannya tadi, tapi bukan untuk menangis dalam dekapan seorang pria. ini hanya perasaan merasa jijik saja bukan?   "Jadi dia yang namanya Gio?" Alex mulai bertanya.   Mia menatap Alex terlebih dahulu lalu mengangguk pelan.   "Bahkan aku lebih tampan darinya." Alex menyeringai. Mia menaikan sebelah alisnya.   "Apa maksudmu?"   "Aku tidak suka."kata Alex.   "Hmm?" Mia masih bingung   "Aku Sangat tidak suka kau dekat dengan pria bernama Gio itu. Dengar Mia hanya aku yang boleh memelukmu seperti tadi. Jangan membantah atau aku tidak segan segan membunuh pria itu. Mengerti?" Jelas Alex.   Mia mengernyit. Apa maksud Alex? Jantungnya kembali memompa cepat. Apa dia cemburu? Tapi untuk alasan apa? Setelah dia menganggapnya seperti boneka saham perusahaan. Kenapa Alex tiba tiba berkata seakan Mia adalah miliknya...? tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD