Old Wounds

2600 Words
Tiba-tiba mulutnya dibekam dari belakang. Dia membelalak kaget karena diam-diam dia sedang mengintip.   "Sstt.." Isyarat seorang pria setengah baya dengan wajah cemas.   "A-ayah! Kenapa kau sudah pulang?!" Tanyanya setengah berbisik.   Pria setengah baya yang ia panggil ayah itu hanya menggeram pelan. Wajahnya memerah, bukan karena malu tapi karena menahan amarah.   "Kenapa ibu, bersama...?" Pria itu masih bertanya.   Pria setengah baya itu kembali mengisyaratkan untuk diam. Rahangnya mengeras dan bergerak naik turun.   "Dia seorang p*****r nak!" Katanya tegas. Pria itu menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca umurnya sudah sebelas tahun. Dan ia tidak terlalu bodoh untuk tidak mengetahui apa yang terjadi. Sebuah masalah besar menanti, dan hidupnya tidak akan sama lagi.   *** Tubuh seorang pria tersungkur jatuh saat beberapa peluru mengenai badannya. Mata tajamnya yang secara jelas melihat pembunuhan itu kini sudah penuh dengan air. Tubuhnya bergetar hebat. Tapi dengan sekuat tenaga tangannya masih menekan kuat mulutnya agar tak terdengar suara darinya. Suara jeritan dan isak tangis seorang wanita menaungi rumah itu.   "Kenapa! Kau gila hah? Apa yang kaulakukan bodoh!" Teriak wanita itu. "Sekarang bunuh aku juga! Kau menyesal hah? Aku sudah tahu semuanya! Jangan pikir aku tidak mengetahuinya!" Teriak wanita itu lagi.   "Kau salah paham! Sudah kubilang itu salah paham" dengan nada bergetar pria itu mulai bicara   "Aakuu melihatnya dengan mata kepalaku sendiri bodoh dan kau masih mengelaknya! Aaaaakkkk bunuh aku juga sekarang. Ini tidak adil bunuh aku!" Wanita itu semakin histeris   Wanita itu mengambil sepucuk pistol yang masih digenggam pria itu secara paksa. Lalu ia mengacungkan pistol itu tepat ke pelipisnya.   "Sekarang kau bebas melakukan apapun yang kau mau! Bercinta dengan banyak p*****r tanpa ada yang mehalangimu." Wanita itu tersenyum pahit. Lalu menembakan pistol itu tepat dipelipisnya.   "Kau gila! Kau juga terlihat seperti p*****r!" Balas pria itu.   Lagi lagi suguhan yang sangat tidak ingin pria yang sedang sembunyi sembunyi melihat itu ingin lihat. Perutnya mual dan kepalanya sudah terasa sangat berat. Tubuhnya bergetar hebat tapi nalurinya berkata untuk tetap bertahan dan menjadi saksi bisu.   Tiba tiba seorang anak kecil perempuan berteriak histeris nafasnya tercekat seperti sesak tubuhnya ambruk. Dia ingin berlari lalu membawa anak kecil itu pergi tidak sepantasnya anak kecil seperti dia melihat kejadian sadis seperti ini namun tubuhnya tidak kuat untuk berdiri sekalipun. Sampai detik terakhir ia melihat anak kecil itu dibawa pergi oleh pria yang tadi sempat beradu mulut dengan wanita yang kini telah tergeletak tak bernyawa.   ***   Alex terbangun dari tidurnya dengan tubuh yang berkeringat. Nafasnya tersengal-sengal tak beraturan. Mimpi buruk. Ia tertidur di kursi kerja peninggalan ayahnya lagi.   Mimpi itu selalu seperti dejavu. Seakan semua kenangan pahitnya terus menerus diputar ulang.   Alex bangkit dari kursinya tubuhnya lemas entah kenapa memimpikan hal itu seakan sangat nyata sekali. Ini pukul satu dini hari, ia tidur bahkan tidak lebih dari dua jam.   Samar samar terdengar suara langkah kaki melewati ruangan kerjanya. Alex mengernyit. Siapa? Dirumah ini hanya aja dia, Mia dan dua orang satpam yang berjaga didepan.   Alex lalu tersenyum miring. Siapa lagi jika bukan Mia?   Perlahan ia keluar dari ruangannya untuk memastikan siapa yang mengendap-endap tengah malah seperti ini.   Alex berdecak, benar saja Mia Clark tengah mengendap ngendap ke dapurnya sedang mencari makanan di kulkasnya.   "Sedang apa kau disini?" Kata Alex langsung.   Mia melonjak kaget. Lalu melihat Alex intens, wajahnya sedang menatap Mia tajam. Mia meringis malu ia seperti pencuri yang sedang tertangkap basah.   Mia menghela nafas panjang.   "A-aku lapar! Dan aku mencari makanan." Jawab Mia jujur. Sungguh ia sangat kelaparan! Ia belum makan apapun hari ini.   "Itu semua salahmu! Kau yang membantu para pelayanku pergi kan." Kata Alex datar.   Mia menggigit bibir bawahnya. Lalu suara keroncongan terdengar sangat jelas dari perutnya.   Alex terkekeh pelan. Tubuh Mia sudah sangat ramping dan mungil dan kini ia sedang kelaparan?   "Makanlah. Aku tidak tahan dengan suara perutmu itu" kata Alex lembut.   Mia terperangah Alex bersikap lembut padanya. Ditatapnya wajah Alex lekat lekat. Luka lembamnya sedikit membaik walau masih berbekas. Tapi wajahnya sedikit pucat, dengan sedikit berjinjit Mia meletakan lengannya di pelipis Alex. Alex sedikit bergetar.   Ada apa?   "Kau sakit? Hmm, tapi tidak panas" Tanya Mia penuh perhatian.   Alex menggeleng. Memangnya kenapa?   "Wajahmu pucat Alex. Ohhhh! Aku tahu! Kau juga lapar ya?" Tebak Mia dengan wajah polosnya. Entah kenapa Alex ingin tertawa melihat wajah Mia seperti itu. Memang benar dia belum makan selain sarapan nasi goreng yang Mia buatkan untuknya tadi pagi. Tapi tidak, dia tidak merasa lapar.   "Baiklah! Aku akan membuatkan makanan untukmu!" Kata Mia semangat.   Alex mendesah. "Tidak perlu, kau payah dalam memasak Mia. Aku tidak mau makan nasi gorengmu lagi." Cibir Alex.   Mia memajukan bibirnya. Pria yang ia idamkan adalah pria romantis yang akan selalu memuji masakan untuknya atau setidaknya menghargainya karena telah memasak walaupun masakannya gosong sekalipun. Ah! Lagi lagi kenapa ia buat perbandingan itu dengan Alex?   "Kau menyebalkan Alex!" Sungut Mia.   Alex tertawa. Sadar ia sudah banyak tertawa bila bersama Mia Clark, dia kembali menahan tawanya.   "Delevery saja Mia. Kau mau pesan apa?" Saran Alex.   Mata Mia berbinar binar. Malam ini Alex baik padanya. Persetan dengan masalahnya yang masih Mia tanyakan. Mia sangat lapar malam ini.   "Kau bersungguh-sungguh? Aku ingin pizza dengan toping double cheese ya?" Rengek Mia seperti anak kecil.   Alex merogoh sakunya mencari ponselnya lalu menelpon restoran makanan siap saji yang tadi Mia ingin makan.   Entah berapa lama kehiningan tercipta saat Alex dan Mia menunggu pesanannya datang.   Alex sibuk dengan ponselnya dan Mia diam diam memperhatikan Alex. Wajahnya begitu familiar diingatan Mia, dan juga tentang foto yang ia temukan apakah akan menjadi potongan puzzle teka teki yang Alex buat?   "Ekhem." Mia berdehem .   Alex menoleh Mia kilat. Dengan tatapan acuhnya.   "Alex..." panggil Mia.   "Hmm?"   "Entahlah ini perasaanku saja atau tidak, kau ini pemilik perusahaan besar. Dan kulihat kau sangat santai sekali, tadi wanita itu bilang bila ada acara seperti itu kau tidak pernah datang dan mencari wakilmu." Mia mulai mengeluarkan pendapatnya.   Alex mendesah pelan. Mia Clark sangat cerewet ingin sekali ia menyumpat bibir tipisnya itu dengan bibirnya.   "Benarkah terlihat seperti itu?" Tanya Alex pura pura. Sungguh kenapa Mia sangat sok tahu?   "Ya begitulah. Kau memang sengaja mau mempermalukan aku kan?" Kata Mia memajukan bibirnya. Ia teringat lagi dengan kata Alex bahwa ia hanya wanita investasi saja.   "Ya memang itu mauku. Padahal aku baru saja bicara pada dua orang tadinya aku akan bicarakan itu pada semua tamu undangan, tapi baru begitu saja kau sudah menangis di pelukan pria lain!" Cibir Alex.   Mia merengut, ia sadar ia terlalu banyak bicara dan bertanya jika sedang bersama Alex. Dan pada akhirnya akan berakhir pada perdebatannya.   "Memangnya kenapa Alex? Ada yang salah? Kau menyakiti perasaanku. Sungguh, aku tahu kau membenciku tapi kenapa kau harus marah jika aku menangis di pelukan pria lain? Bukannya harusnya kau senang? Kau berhasil menyakitiku!" Kali ini Mia sungguh-sungguh, suaranya bergetar.   "Aku bilang aku tidak suka Mia!" Gertak Alex.   "Memangnya kau siapa? Kau bukan kekasihku! Dan kau tak berhak melarangku untuk bersama pria manapun Alex!" Sungut Mia.   Alex tersenyum miring. Lalu menarik kursi yang Mia duduki untuk mendekat dengannya lututnya ia apit dengan pangkal paha Alex.   Mia tersentak. Perasaannya tidak enak.   Alex mendekatkan wajahnya ke wajah Mia.   "Jadi... kau ingin aku jadi kekasihmu dulu Mia? Hmm?" Entah kenapa suara Alex terdengar serak dan lagi lagi membuat jantung Mia berdetak maraton.   "Ti-tidak... bukan begi-tu..." jawab Mia gugup.   "Aku peringati sekali lagi Mia, hanya aku yang boleh menyentuhmu! Dan aku tidak suka dengan pria bernama Gio itu!" Kini Alex serius.   Mia mengangguk kaku, jarak mereka hanya beberapa inci, sampai bunyi bel rumah Alex terdengar. Mia mendesah lega.   "Ah! Itu pasti pesanannya datang!" Pekik Mia lalu berlari menjauh dari Alex.   ***   Gio meringis pelan saat tumpukan es batu menyentuh kulit mukanya.   "Kenapa kau bisa babak belur seperti ini sih?" Gaby mulai bersungut ria. Gio berhutang penjelasan padanya.   "Aku bilang aku tidak tahu! Aku sedang memeluk Mia dan tiba tiba pria gila itu datang menghantamkam tinjuan padaku!" Jelas Gio kesal.   "Waw, aku rasa Mia dan Alex punya hubungan khusus. Kau tidak tahu kenapa mereka bersama?" Gaby mulai menerka-nerka.   "Alex namanya? Bukankah dia pemilik perusahaan itu? Aku pikir dia akan terlihat lebih tua" Gio masih meringis.   "Yap. Kau tidak lihat bagaimana agresifnya dia saat Alex bilang 'beraninya kau sentuh dia' aku pikir dia tengah cemburu" pikir Gaby.   Gio mengangkat kedua bahunya.   "Entahlah... jadi dia saingan ku? Kau pikir siapa yang akan dipilih oleh Mia?" Gio mulai kehilangan kepercayaan dirinya.   Gaby menjitak kepala Gio keras.   "Aduh!" Pekik Gio   "Belum apa apa sudah ciut! Aku akan mencari tahu ada hubungan apa antara Mia dan Alex." Janji Gaby.   "Kau serius?" Gio berbinar binar   "Ya.. tapi aku punya ide lain!" Gaby nampak bersemangat.   "Apa?!"   "Kita harus temui ayah Mia dulu sebelumnya!" Kata Gaby dengan suara berat.   Gio mengangguk, setuju akan usul kakanya itu. Gaby memang selalu bisa diandalkan!   ***   Alex duduk dengan mengangkat sebelah kakinya sambil membaca koran harian ditemani kopi instan buatannya.   Ia tersenyum tipis saat membaca sebuah berita ditemukannya seorang mayat wanita dengan kulit melepuh di sebuah bilik sauna.   Wanita jalang itu tewas mengenaskan. Dan ia pantas mati!   Alex menggeram pelan.   "Aku tidak tahu kau suka baca koran di pagi hari!" Entah dari mana Mia sudah berada di pinggir Alex mengintip apa yang Alex baca.   "Lalu yang kau tahu tentangku apa Mia?" Kata Alex malas.   Mia tampak berpikir.   Kecanggungan antara dia dan Alex sudah tak ia hiraukan lagi. Menganggu dan menantang Alex sampai membuatnya kesal adalah kesenangan tersendiri untuknya.   "Yang ku tahu kau ini hanya bisa marah! Dan menggoda wanita saja!" Cibir Mia.   Alex tersenyum miring tanpa mempedulikan Mia dan masih tetap fokus pada korannya.   "Aku hanya menggodamu saja Mia" jawab Alex.   "Bohong! Aku tidak bodoh Alex... kau ini pria dengan wajah c***l yang pastinya sudah berpengalaman banyak dengan wanita!" Sungut Mia.   Alex tertawa hambar   "Kalau begitu aku akan membagi pengalamanku dengan mu. Bagaimana?" Goda Alex   Mia menelan ludahnya sendiri.   "Cari wanita lain saja"   "Kau bahkan membalas ciumanku!" Ejek Alex.   Skat mat! Berdebat dengan Alex tak akan pernah menemukan ujungnya jadi Mia memilih diam sekarang.   "Seorang wanita telanjang tewas di sebuah bilik sauna dengan tubuh melepuh" mata Mia menyipit saat membaca berita dari koran yang masih di genggam Alex.   "Diduga pembunuhan berencana! Waw..." pekik Mia tiba tiba.   Alex menaikan sebelah alisnya.   "Kenapa?"   "Aku suka! Waktu di London aku sering baca komik detektif conan dan novel sherlock holmes. Hahaha.. wanita itu telanjang dengan baju renangnya yang tergeletak di samping bak pemandiannya lalu ia mati karena suhu bilik tersebut mencapai panas maximum. Bukankah terlihat disengaja sekali?" Mia mulai menerka nerka.   Alex tak terlalu menanggapi bahkan tak merasa bersalah sedikitpun. Bagaimana reaksinya jika Mia tahu bahwa dirinyalah yang membunuh wanita itu ?   "Hasil otopsinya mengatakan bahwa ia mati bukan karena suhu panas dari bilik itu tapi sebelumnya urat nadi lehernya telah putus. Wawww..." mata Mia berbinar binar membaca berita tersebut.   "Alex kau pikir wanita itu dibunuh atau bunuh diri?" Tanya Mia sarkitis   Alex mengangkat kedua bahunya.   "Aku tidak peduli" jawab Alex datar.   "Mungkin dia diperkosa di bilik tersebut lalu sang pembunuh tidak ingin tanggung jawab atas perbuatannya lalu memilih untuk membunuh wanita tersebut itu terlalu mainstream" mia masih berkutat dengan berita tersebut.   Alex menyesap kopinya pelan. Ia tersenyum miring mendengar celotehan Mia yang terus menduga duga tentang kematian wanita jalang tersebut.   " Aku pikir jika seorang psikopat yang membunuh wanita malang tersebut pasti tidak akan tanggung untuk membunuh wanita itu lebih sadis. Paling ringan menyayat tubuh wanita tersebut dengan pisau. Iya kan?" lanjut Mia lagi.   Seorang psikopat? Alex kembali tersenyum miring. Bagaimana bisa cerita cerita detektif sangat berpengaruh terhadap pemikirannya yang labil.   "Kau pikir yang membunuh wanita tersebut adalah seorang psikopat?" Tanya Alex pura pura menanggapi.   "Ya... tidak menutup kemungkinan bukan? Sshh... aku jadi penasaran. Aku tidak pernah mendengar cerita seorang psikopat yang membunuh dengan cara hanya memutuskan urat nadinya lalu membiarkan tubuh si korban melepuh. Aku pikir semua psikopat membunuh dengan cara memutilasi si korban lalu mengambil bagian tubuhnya untuk ia koleksi." Ujar Mia   Tawa Alex pecah.   "Heh apanya yang lucu?" Tanya Mia aneh.   "Kau terlalu banyak membaca komik bocah sd itu Mia... sudahlah aku lapar." Alex sama sekali tak mencurigakan. Air mukanya tenang teramat tenang.   Mia memajukan bibirnya. Komik bocah sd katanya?   "Mia kenapa kau sering sekali memajukan bibirmu itu?!" Alex sungguh gemas melihat Mia yang selalu memajukan bibirnya saat kesal padanya.   "Kau mau menyuruhku memasak lagi?" Tanya Mia polos.   Alex menggeleng cepat.   "Aku bilang kau payah dalam memasak! Kau mau ikut aku tidak?" Kata Alex tak sabar.   Mia mengangguk senang.   Walaupun Alex sangat tidak mudah ditebak dan juga sifatnya yang mudah sekali berubah, Mia yakin Alex juga memiliki sisi baiknya. Dan Mia masih tetap harus mencari tahu apa yang membuat Alex membencinya dan papahnya.   ***   "Alex banyak wanita yang memperhatikan kau sepertinya." Mia menyikut punggung lengan Alex.   Alex mendesah pelan. Lalu kenapa?   "Biarkan sajalah.. cepat kau mau pesan apa?" Tanya Alex masih memperhatikan daftar menu makanannya. Tapi tak ada jawaban dari Mia. Alex meletakan daftar menunya lalu menatap Mia yang sedang menatap ke arah lain, Alex mengikuti pandangan Mia.   Mia sedang menatap sebuah keluarga yang sedang tertawa bahagia. Ayah dan ibunya saling berlomba menyuapi sang anak yang terlihat enggan untuk makan. Tapi akhirnya si anak luluh juga dan menerima suapan dari ayahnya. Ibunya memasang wajah pura pura sedih karena si anak tidak menerima suapannya. Si anak terlihat tak tega lalu menepuk nepuk ibunya untuk menyuapinya. Mereka tertawa bersamaan. Keluarga yang sangat bahagia.   "Mereka keluarga yang sangat bahagia ya Alex?" Tanya Mia langsung.   "Aku tidak yakin akan bertahan lama." Jawab Alex sinis.   Mia mengerutkan keningnya.   "Kenapa kau berkata seperti itu?"   "Aku tidak salah. Lambat laun pasangan itu akan saling bosan satu sama lain, pria itu lalu akan mencari wanita jalang untuk pelampiasan rasa bosannya. Pasangan itu akan berpisah dan pada akhirnya si anak juga yang menjadi korban.dan saat itu si wanita akan mulai menggoda pria lain" Kata Alex datar.   Mia menggeleng tak setuju.   "Tidak semua seperti itu Alex! Itu tidak adil!"   "Benar Mia itu tidak adil! Cinta itu hanya omong kosong. Ada tanggal masa tenggangnya. Dimana ada hari mereka melupakan semua janji manis mereka masing masing. Bahkan buah cinta yang mereka hasilkanpun tidak berarti apa apa lagi Mia." Rahang Alex mengeras saat berkata seperti itu. Bukankah kenyataannya seperti itu? Akan ada dimana saatnya si wanita itu bosan lalu menggoda pria lain tak peduli apa statusnya lalu menghancurkan keluarganya sendiri dan bisa jadi keluarga kecil lainnya akan hancur.   Mia mengernyit tak mengerti.   "Aku tidak mengerti."   "Kau pasti akan mengerti Mia.. aku tidak tahu racun apa yang ayahmu beri padamu sehingga kau bisa melupakan semuanya dengan mudah." Kata Alex masih dengan wajah datar.   Teka teki lagi?   "Alex kenapa kau tidak katakan saja padaku?" Mia mulai frustasi.   "Aku tidak yakin kau akan percaya jika aku ceritakan." Kata Alex malas.   "Apa karena kau punya keluarga yang tidak bahagia Alex? Benar?" Tanya Mia langsung.   Alex melotot.   "Maksudmu?"   "Aku benar kan? Apa asumsi kau itu sebuah pengalaman pribadi hidupmu? Baiklah aku memang tidak tahu bagaimana kehidupanmu yang sesungguhnya. Tapi jangan samakan kisahmu itu untuk orang lain alex!" Mia kembali menantang Alex.   Tangan Alex mengepal kuat.   Kurang ajar wanita ini!   "Jika ya kenapa? Itu memang pengalaman pribadiku. Tapi asal kau tahu saja Mia. Kau bilang itu tidak adil bukan? Lalu kenapa mereka harus merasakan hal yang berbeda dariku? Sebelum mulutmu itu banyak bicara dan terus menerka nerka tanpa tahu fakta yang ada lebih baik kau tutup mulutmu itu! Dan saat kau tahu kebenarannya kau sendiri yang akan merasakan dimana ketidak adilan yang kau maksud itu!" Kata Alex keras.   Kini mereka menjadi pusat perhatian di tempat makan itu.   Tubuh Mia bergetar. Sekarang Mia mengerti kenapa foto Alex bersama dua orang yang mengapitnya itu tidak jelas. Ada sesuatu yang mengganjal dan pasti itu ada hubungannya dengan Mia.   Dibalik kearoganan sikap Alex, Mia sekarang tahu Alex hanya pria biasa yang sama rapuh dengannya. Dan Mia bertekad untuk mencari tahu lebih dalam tentang Alex...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD