bc

(Bukan) Jomblowati

book_age16+
1.2K
FOLLOW
6.4K
READ
love-triangle
scandal
goodgirl
tomboy
brave
comedy
bxg
humorous
realistic earth
teacher
like
intro-logo
Blurb

Ini adalah lanjutan kisah cinta Kanaya.

( Buku ke dua dari series jomblo-jomblo ngenes)

***

Memiliki pacar untuk pertama kalinya adalah hal yang membahagiakan bagi Kanaya. Hampir satu tahun hubungan mereka terjalin sampai akhirnya Radit (pacar Kanaya) pergi ke Singapura untuk bekerja. Mereka pun menjalani hubungan jarak jauh.

Awalnya baik-baik saja, tapi setelah beberapa bulan Radit mulai susah dihubungi. Desakan Stefan (kakak Kanaya) untuk menghadirkan Radit saat pernikahannya membuat Kanaya berinisiatif untuk menyusul Radit ke Singapura. Namun, Kanaya justru harus sakit hati saat melihat Radit berkencan dengan wanita lain.

Dalam kesedihan itu Kanaya bertemu dengan Max Miller. Cinta pertamanya. Mampukah Kanaya mengobati sakit hatinya?

“What? Lo bakalan jomblo lagi?

"Dia hanya pergi dua tahun. Radit juga janji akan setia."

"Lo yakin bisa LDR-an? Apalagi hubungan kalian belum genap setahun. Gue khawatir lo bakalan jadi jomblowati."

chap-preview
Free preview
LDR
 Tujuh bulan lamanya Kanaya bisa merasakan pacaran. Setelah bertahun-tahun menjomblo akhirnya seorang Raditya Baran bisa meluluhkan hati Kanaya. Setiap akhir pekan mereka pergi bersama. Lebih penting bagi Kanaya adalah pamer di story sosial medianya bersama kekasih. Hal yang tidak pernah ia lakukan selama ini. Ia bisa mengatakan pada teman-temannya bahwa sekarang ia tidak sendiri lagi. Ada seorang pria yang menemaninya sepanjang waktu. Kini ada orang yang menanyakan padanya apakah sudah makan, ada di mana saat ini. Kanaya benar-benar merasakan yang namanya pacaran. Matahari bersinar terik. panasnya membuat udara di dalam angkot menjadi gerah. Asap kendaraan mengepul membuat Kanaya kurang nyaman. Pakaiannya yang rapi dan wangi kini sudah basah oleh keringat. Sayangnya Kanaya tidak membawa pakaian lain sebagai pengganti. Beberapa saat lalu Santi menghubunginya meminta Kanaya membawakan makan siang. Bukan tanpa alasan Santi meminta Kanaya untuk membelikan makanan. Ia ingin bertemu sahabatnya yang sudah sebulan tidak berjumpa. Kanaya tahu Santi sangat sibuk akhir-akhir ini sehingga mereka jarang bertemu. Terlebih Santi melakukan pemotretan out door yang membuat Kanaya tidak bisa mengunjunginya setiap saat. Kanaya keluar dari angkot setelah membayarnya. Motor yang selama ini mengantar Kanaya berpergian harus berakhir di bengkel. Ban belakangnya pecah lagi. Mungkin setelah uangnya terkumpul Kanaya akan mempertimbangkan untuk membeli motor baru. Kanaya berdiri di depan gedung pencakar langit. Ia berjalan di trotoar sambil menenteng box makanan. Ia kesal tapi juga senang bertemu Santi. Persahabatan mereka sangatlah dekat, bisa dikatakan mirip saudara. Kalau dekat marahan kalau jauh rindu. "Pinat!" seru Santi saat melihat Kanaya menghampirinya. "Wajah gue sudah glowing, jangan panggil Pinat lagi," sahut Kanaya sembari menyerahkan makanan yang ia beli tadi. "Co cwit banget. Terima kasih, Beb," ucap Santi membuat Kanaya bergidik ngeri. AC ruangan yang dingin membuat tubuh Kanaya rileks. Pakaiannya yang basah mulai mengering namun kulitnya tetap lengket. Setelah mengajar Kanaya langsung pergi ke studio pemotretan demi bertemu sahabatnya. "Si Sherly mana?" tanya Kanaya saat tidak melihat sosok wanita yang menjadi manager Santi. Biasanya Sherly berada di samping Santi 24 jam. Bahkan saat istirahat Sherly juga ikut menemani untuk memastikan makanan yang dikonsumsi modelnya adalah makanan yang bergizi dan sehat untuk kulit. Beruntung Kanaya sudah terlepas dari Sherly sehingga ia bisa bebas makan apapun yang ia suka. Kanaya menarik salah satu kursi yang berjejer si belakang kamera. Ia duduk di samping Kanaya yang sedang menyantap makan siangnya dengan lahap. "Kangen,ya, sama nenek lampir?" Santi tersenyum membuat Kanaya ingin tertawa. Ia justru ingin menghindar dari Sherly apalagi ia membawakan Santi makanan fast food yang tentunya dilarang oleh Sherly. Kanaya berharap Santi selesai makan sebelum Sherly datang. "Tenang gue sudah lempar ke Pluto," lanjutnya. Kenangan masa lalu kembali berputar dalam ingatan Kanaya. Saat ia pertama kali bergaya di depan kamera dengan mimik wajah yang berubah-ubah. Kanaya jadi rindu saat Max menjadi rekan kerjanya. Memikirkan pria itu membuat Kanaya merasakan getaran yang berbeda. Max sudah pergi tapi bayangannya masih melekat dalam ingatan. Max sudah sukses berkarir di luar negeri. Kalau dia di Indonesia, Kanaya yakin Max tidak akan mengenalnya. Santi membuka tutup botol air mineral lalu meminum airnya. Para kru masih sibuk bekerja memperbaiki letak kamera hingga mengatur pencahayaan. "Lo masih kerja?" tanya Kanaya membuat Santi menoleh. "Sudah selesai. Sekarang giliran yang lain." Santi membersihkan alat makannya. "Bagaimana hubungan lo sama Radit?" tanya Santi. Kanaya berdiri mengikuti Santi ke sebuah ruangan. Tidak ada orang di dalam sana sehingga mereka bisa bebas bicara tanpa takut mengganggu orang. "Baik-baik saja, kemarin kami sempat jalan-jalan. Sekarang dia sibuk lagi." Santi membuka sedikit pintu lalu menatap Kanaya yang sedang bercermin. Santi tersenyum melihat Kanaya mulai memperhatikan penampilannya. Wajahnya putih bersih walau tanpa make-up tetap terlihat cantik natural. "Baguslah. Semoga bisa sampai pelaminan." Santi menutup pintunya. Kanaya tersenyum menatap pantulan dirinya pada cermin. Gelang putih melingkar di tangannya. Benda pemberian Radit sebagai hadiah ulang tahunnya. Sebentar lagi perayaan satu tahun hari jadi mereka membuat hati Kanaya berdesir. Satu tahun adalah waktu yang cukup lama bagi Kanaya yang belum pernah pacaran. Kanaya senang bisa menjalani harinya bersama Radit. "Lagi mikirin apa?" Santi keluar dari ruang ganti. Ia sudah berganti pakaian. Santi mengambil tas yang ada di atas meja dekat lemari. Kanaya berdiri lalu bersandar pada meja rias. "Gue bingung pilih hadiah buat Radit. Sebentar lagi hari jadi yang pertama. Menurut lo gue harus ngasi hadiah apa?" Santi menghentikan gerak tangannya. Ia menatap Kanaya lalu tersenyum tipis. "Ya, ampun Nat, gue kira kenapa. Apa pun yang lo kasih ke dia, pasti Radit terima. Dia pasti menghargai setiap pemberian lo." Santi menyampirkan tasnya ke bahu lalu mendekati Kanaya. "Gue tahu, tapi setidaknya gue bisa memberikan sesuatu yang bermaanfaat buat dia." Santi merangkul pundak Kanaya lalu berjalan bersisian keluar dari ruangan. Sesekali Santi menyapa rekan kerjanya saat berpapasan. Kanaya teringat dulu saat ia akan pulang Max selalu menghampiri untuk menawarkan tumpangan. Kanaya mengenyahkan pikiran tentang Max. Pria itu telah pergi membawa separuh hatinya. Beruntung ada Radit yang mengobati rasa sakit di hati Kanaya. "Jadi lo butuh bantuan gue buat cari hadiah?" Santi berjalan memutari mobil sementara Kanaya sudah membuka pintu mobil lalu masuk. Santi mulai menghidupkan mesin mobil sementara Kanaya sibuk dengan ponselnya. "Kalau lo gak sibuk." "Memang kapan lo anniversary? Masih lama, kan?" "Tiga bulan lagi. Gue mau sesuatu yang tidak terlupakan." Santi menatap Kanaya lalu tersenyum lebar melihat sahabatnya bahagia. "Tenang gue bantu, yang penting sahabat gue yang baik ini tidak terjangkit jomblo kronis lagi," ucap Santi lalu tertawa. Kanaya memalingkan wajahnya ke luar jendela. Santi meledeknya lagi. Berkat Radit penyakit jomblo kronis itu perlahan menghilang. Kanaya bisa bahagia dengan pria yang ia sukai. "San, lo bisa antar gue ke kantornya Radit?" Kanaya menyimpan ponselnya ke saku lalu menatap Santi yang fokus pada jalanan. "Cie, yang mulai kangen," goda Santi. "Bukan begitu. Radit bilang ada sesuatu yang ingin dia katakana. Katanya penting," ujar Kanaya. Santi menatap Kanaya sekilas. "Iya, gue antar. Kurang baik apa lagi gue sama lo." Kanaya hanya menggeleng pelan melihat kelakukan sahabatnya. Santi menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung kantor. Kanaya melepas sabuk pengaman lalu keluar dari mobil Santi. Kaca mobil di turunkan. Kanaya menatap Santi lalu melambaikan tangannya. "Nanti malam gue nginep di rumah lo, ya," ujar Kanaya membuat Santi mengusap leher belakangnya. "Bilang saja lo mau dekat-dekat sama Radit." Kanaya tersenyum tidak menampik ucapan Santi. Semenjak pacaran dengan Radit membuat Santi harus terbiasa dengan kehadiran Kanaya di rumahnya. Menginap adalah alasan mereka supaya bisa pacaran sampai larut malam. Setelah mobil Santi melesat pergi, Kanaya segera masuk ke gedung kantor. Pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini sekitar tiga bulan lalu. Saat itu Radit sakit kemudian meminta Kanaya mengantarkan surat ke kantor. Awalnya Kanaya ragu untuk masuk ke gedung itu tapi setelah bertanya pada salah seorang karyawan akhirnya ia bisa menemukan ruangan Radit. Kanaya melambaikan tangannya saat Radit menoleh. Tidak perlu menunggu lama Radit beranjak menemui Kanaya. Banyak pasang mata yang melihat mereka terlebih Kanaya bukanlah karyawan di sana. "Lo sudah datang? Cepat banget," ujar Radit kemudian meraih tangan Kanaya. Genggaman tangan Radit membuat hatinya berdesir. Sentuhan Radit membuat Kanaya nyaman seolah pria itu akan melindunginya. "Kan, mau bertemu pacar, jadi harus cepat." Radit dan Kanaya saling melempar senyum lalu mereka turun ke lantai dasar untuk bicara. Radit membeli dua kaleng minuman dan beberapa cemilan untuk menemani mereka bicara. Jam pulang kantor sekitar dua jam lagi sementara Radit sudah menyelesaikan pekerjaannya sejak tadi. Radit menghampiri Kanaya yang sedang duduk menunggunya. Ia memberikan satu minuman untuk Kanaya. Gadis itu langsung menerimanya. Radit duduk di samping Kanaya sembari meletakkan makanan ringan di atas meja. "Lo tidak tahu cara buka minuman kaleng, kan?" Radit meraih minuman Kanaya lalu membukanya. Terima kasih. Kanaya tersipu malu. Radit sangat memahaminya. Ia menyesal karena sampai saat ini ia belum memahami Radit dengan baik. Kanaya menatap Radit yang tidak seperti biasanya. Saat bertemu Radit lebih cerewet dan selalu usil pada Kanaya. "Lo ada masalah?" Kanaya meneguk minumannya. Radit menoleh lalu tersenyum tipis saat melihat Kanaya menikmati apa yang ia berikan. "Nay, gue boleh tanya sesuatu?" "Apa?" "Bagaimana kalau kita berjauhan? Maksudnya LDR-an," ucap Radit. Tangannya saling meremas, takut jika Kanaya marah dan kecewa. "Maksudnya kamu mau pergi?" Radit dan Kanaya saling bertatapan. Radit menunduk. Tubuhnya bersandar pada kursi lalu kedua tangan meremas kuat rambut hitamnya. Ada keraguan besar dalam hati meninggalkan Kanaya. Terlebih hubungan mereka belum genap satu tahun. Kanaya meraih tangan Radit, seulas senyum yang ia berikan membuat Radit lebih tenang. Mereka terdiam saling bertatapan menyelami perasaan masing-masing. Kanaya meletakkan kepalanya pada bahu Radit sembari mengusap tangan mereka yang saling bertautan. "Gue akan pindah tugas ke Singapura kurang lebih dua tahun. Lo tidak apa-apa kalau gue tinggal?" Kanaya semakin mengeratkan genggaman tangannya. Matanya terpejam merasakan kenyamanan berada di dekat Radit. "Asal lo bisa jaga diri dan hati lo buat gue. Semua akan baik-baik saja." Radit mencium tangan Kanaya lalu memeluk gadis itu erat. Rasa sayang semakin kuat tumbuh di hati masing-masing ketika usia hubungan semakin bertambah. Kanaya akui setelah berpacaran dengan Radit banyak hal yang berubah dalam hidupnya. Pria itu memberikan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan. "Lo juga jaga hati selama gue tinggal ke Singapura. Jangan lirik cowok lain kalau bisa menghindar," ucap Radit membuat Kanaya tertawa. Mereka belum berpisah tapi Radit bicara seakan mereka berada di negara yang berbeda. "Iya, tenang saja. Hm kita belum punya nama panggilan sayang. Seperti pasangan yang lain. Enaknya apa ya?"  Kanaya menegakkan tubuhnya. Ia mulai berpikir nama yang cocok untuk memanggil Radit. Bukankah para remaja sering membuat nama panggilan sayang untuk pasangannya. Kanaya rasa itu adalah salah satu cara mendekatkan diri pada pasangan. "Bagaimana kalau honey, beb, yang, ayang, atau papa," kata Radit membuat Kanaya menggeleng. "Gue mau panggil lo Sanbong. Sandal bolong. Masih ingat saat gue ke rumah Santi, waktu itu lo lempari gue sandal bolong." Radit mengusap leher belakangnya. Tentu dia ingat kejadian itu, tapi nama itu tidak keren sama sekali. Nama itu bahkan terdengar asing dan aneh. Melihat Kanaya bahagia saat memanggilnya Sanbong membuat Radit akhirnya setuju. "Kalau gue mau panggil lo, Wasir. Wanita yang jarang sisiran." Mana ada? Gue rajin sisiran." "Iya, sekarang. Dulu jarang banget. Lo sendiri yang bilang jarang sisir rambut karena bangun kesiangan," ucap Radit.  Adu mulut kembali terjadi seperti dulu saat mereka belum menjadi sepasang kekasih. Seperti anjing dan kucing yang tidak pernah akur. "Jangan wasir, mirip nama penyakit," gumam Kanaya membuat Radit menahan tawanya. Setelah dirayu dengan berbagai cara akhirnya Kanaya setuju menggunakan wasir sebagai nama kesayangan dari Radit. "Bong, sudah makan?"  tanya Kanaya membuat Radit dongkol. Ia merasa Kanaya sedang memanggil dirinya dengan nama kecebong, bukan Sanbong.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

My Secret Little Wife

read
95.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook