2

2527 Words
Lembayung Senja. Rindu bergolak menentang jingga yang menyala. Kebencian turut hadir menorehkan lukisan abstrak di atas kanvas cakrawala. Hadirnya sandykala sore itu tidak mampu di nadakan dengan suara. Hanya perasaan mati yang sesekali terdengar ingin bernyanyi. Elegi mengalun larut dalam kepedihan. Luka yang datang tanpa menggores kulit, namun nyatanya sangat menyakitkan. Dalam kepedihan juga air mata, cinta pernah hadir membawa sengsara. Ditinggalkan tanpa ada sepatah kata juga ungkapan rasa. Pelan-pelan sang matahari tenggelam kembali ke singgasana. Membiarkan kegelapan menyapa bersama ribuan cahaya. Helaan nafas berat sekali lagi terdengar menyesakkan. Satu gelas kopi hitam tanpa gula tidak lagi bisa menjadi sebuah penawar luka. Mata indah berwarna cokelat muda itu menerawang keluar jendela kaca. Kendaraan berlalu-lalang seperti tiada lelah mengisi jalanan. Duduk diam menopang dagu dengan tangan adalah hal yang terlalu sering ia lakukan. Ia remas sebuah kertas yang telah di penuhi coretan tangannya. Sesekali ia bahkan tersenyum mengingat alur hidupnya yang sedikit membosankan. Sejauh apa pun, ia berlari, namun sejujurnya ia hanya akan kembali pada titik yang sama. Ia begitu runyam. Ingin kembali, tapi takut untuk memulai lagi. Ia teguk lagi kopi pahit yang sudah mendingin itu. Bersamaan dengan sesuatu yang jatuh di atas kepalanya. "Ngapain, sih?" tanya seorang cowok mengambil alih kursi di dekatnya. Dengan sengaja ia menjatuhkan jaket denim miliknya ke atas kepala gadis itu. "Ck!" decak gadis itu malas. Lalu melemparkan kembali jaket denim yang menimpa kepalanya barusan. "Nggak usah ngerusuh!" Cowok itu tampak mengangkat bahu acuh. Matanya jelalatan menatap secangkir kopi yang tinggal setengah di hadapannya. Tanpa permisi, ia meneguk kopi dengan serakah. Ekspresinya menggelikan setelah menelan cairan hitam yang terasa pahit di indra perasanya. "Jancuk! Apaan nih?!" serunya menatap gadis di sebelahnya protes. "Menurut kamu?" balasnya retoris. Cowok itu mendengus. Tidak ada kah, kalimat lain selain kata yang menyebalkan itu? Dengan akrab ia merangkul bahu gadis di sebelahnya. "Kenapa, sih? Muka udah kusut malah makin jelek gitu. Kalo butuh temen curhat, ada Senja nih, buat Matahari yang lagi redup." "Najis!" dengus Ata mengibaskan lengan lelaki yang mengaku bernama Senja tersebut. Senja mendengus kesal. Ia mengangkat tangan meminta salah satu pelayan datang untuk memesan kopi. Seperti biasa permintaan Senja hanyalah satu cangkir kopi hitam sedang. Tidak manis juga tidak pahit. Keduanya sama-sama diam. Ata lebih memilih untuk terus menatap ramainya kendaraan dari balik jendela kaca. Sedangkan Senja tersenyum mengetuk-ngetukkan jari pada meja, kadang bersiul mengikuti alunan lagu Sampai Kau Jadi Milikku dari Judika yang menemani penghuni kafe malam itu. "Dit?" panggil Ata bersuara. "Hah?" "Kenapa namamu Senja?" tanya Ata tanpa menatap lawan bicaranya. Senja menerima pesanan kopinya yang baru datang. Lalu mengalihkan pandangan hingga tertuju pada Ata. Ia tampak berpikir sejenak sambil membetulkan letak topi terbalik di kepalanya. "Mungkin..., karena aku ini ganteng dan menawan kayak senja." Ata menoleh, menatap lawan bicaranya jijik. Kemudian disusul tawa dari cowok tersebut. "Kata Bunda, aku lahir sore, waktu matahari mau tenggelam, jadi dinamai Senja Praditya. Waktu matahari udah mau tenggelam, sinarnya udah redup, jadi saat saat terakhir yang penuh sama harapan. Karena Bunda bilang, dulu hampir aja nggak bisa ngelahirin aku ke dunia ini." Tangan Senja memutari pinggiran cangkir sambil bercerita panjang." Kenapa emang?" Ata masih mengangguk tanpa berminat memutar kepala untuk menatap lawan bicaranya. Senja tersenyum lalu menyeruput pesanan kopinya penuh penghayatan dengan mata tertutup. "Kamu tau, nggak arti dari nama Praditya?" tanya Senja. "Nggak." Senja menghela nafas, ketika dua puluh dua huruf yang terucap dari bibirnya hanya di balas dengan lima huruf singkat. Untung Senja cowok yang sabar. Ia menoleh menatap Ata dengan pandangan kesal. "Mau tau artinya?" tawar Senja tidak menyerah. "Nggak juga." "Oke kalau gitu aku yang kasih tau, meskipun, kamu nggak mau tau!" Saat itu Ata memutar kepala hingga menatap Senja yang sudah memasang ekspresi menggelikan. Ata tertawa kecil, senang berhasil membuat sohibnya itu merasa jengah. "Emang artinya apaan?" tanya Ata kemudian. "Sama kayak nama kamu..., Matahari." Cowok itu tersenyum senang. Seketika Ata berdecih. Ia tersenyum remeh pada lawan bicaranya. "Tukang bohong bisa kena azab!" gumam Ata kembali memalingkan wajah. "Aku lebih suka manggil kamu Adit dari pada Senja. Nama Senja nggak cocok sama kamu." "Sukanya manggil Adit doang? Kalo sama orangnya suka nggak?" Senja tersenyum menggoda Ata. Alisnya naik turun diiringi bibir yang tersenyum simpul. Gadis itu mendengus kecil. Ia lemparkan satu tinjuan ringan pada lengan Senja membuat keduanya tertawa. Senja belum juga menghapus senyum dari bibirnya. Ia sudah menduga reaksi Ata nanti. Lantas ia menopang sebelah tangan di atas meja lalu mengintip wajah Ata dari samping. Yah, lagi-lagi Matahari yang satu itu kerap sekali melamun. "Ngelamunin apaan, sih? Kalo ada apa-apa cerita sama aku. Kamu nggak hidup sendiri, tau?" ucap Senja masih memerhatikan Ata. Ata mengangguk. "Nggak apa-apa. Cuma..., " Gadis itu terdiam menggantungkan kalimatnya. Ia kemudian menghela nafas pendek. "Cuma?" sambung Senja nggak sabaran. "Nggak tau deh." Mendengar jawaban Ata tangan Senja yang sejak tadi menopang dagu terasa lunglai. Ata masih saja sama. Menutup diri di depannya, dan mungkin di depan semua orang. "Makannya belajar ikhlas. Jangan nginget yang dulu-dulu. Aku nggak tau apa yang terjadi, tapi kalo itu emang nyakitin, ya..., lupain." "Ngebacot doang sih, emang gampang." Senja terkikik geli mendengar umpatan kecil dari bibir Ata. "Iya-iya sorry. Jangan nge-gas dong." Cewek itu tidak menjawab. Ia lebih memilih untuk menandaskan lagi gelas kopi ke lima yang berada di meja. "Nggak ada niatan pulang ke Rumah? Bunda kangen katanya," cowok itu berucap kalem. "Pulang gih!" sambung Senja Ata mengangguk pertanda bahwa ia setuju. Selain ingin bertemu Bunda, Ata juga ingin melepaskan segalanya yang melelahkan sejenak saja. Untuk lari sebentar lalu kembali dengan segala hal yang membuatnya rindu juga takut. Matahari yang merindukan seseorang, namun takut untuk sebuah pertemuan. *** Pagi itu adalah anugrah terindah untuk anak kelas VI MIPA 3. Di jam pelajaran pertama yang seharusnya diisi dengan rumus-rumus kimia dibebaskan karena para guru sedang mengadakan rapat. Kebahagiaan jelas tergambar di setiap wajah penghuni kelas karena mereka tidak harus berhadapan dengan pak Bambang, guru yang jauh dari kata galak dan garang. Namun, terlalu ribet ketika sedang memberikan penjelasan. Cahaya yang baru saja memasuki kelas setelah di panggil pak Bambang ke ruang guru kembali dengan setumpuk kertas di tangannya. "Yaah..., yah! Apaan tuh, nggak seru!" teriak Damar membanting sapu yang tadinya ia gunakan sebagai gitar untuk mengisi keheningan kelas. "Tugas dari Pak Bambang. Cuma sepuluh biji, harus dikumpulin hari ini juga!" tegasnya membagikan lembaran kertas pada setiap meja. "Yang udah kelar ngerjain soal, boleh keluar duluan!" imbuh Cahaya. Cahaya Bulan yang menjabat sebagai seorang wakil ketua kelas menghampiri seorang gadis berambut panjang yang selalu dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajah. Gadis berkaca mata yang tadinya sibuk mengerjakan soal-soal itu mendongak ketika Aya mengetuk pelan mejanya dengan jari. Dialah ketua kelas yang sesungguhnya. "Mau bantuin?" tanya Aya menyerahkan setengah dari kertas di tangannya pada gadis berkacamata itu. Ia mengangguk setelah terdiam cukup lama lalu menerima kertas yang di berikan oleh Aya. Di kelas sebelas MIPA 3, ada beberpa siswa yang selalu bersaing memperebutkan gelar juara pertama. Tiga orang yang selalu masuk ke dalam jajaran tiga teratas tersebut tidak lain adalah, Keke, Aya, dan Nino. Mereka adalah tiga anak kesayangan guru, yang sering sekali dinobatkan sebagai siswa teladan. Yang sering di jadikan tolak ukur dengan siswa model Damar cs ketika sedang memberikan arahan. "Ay, bantuin aku pliss!" Cahaya yang baru saja duduk di kursinya dan mengisi lembar jawaban dengan biodata menatap Vivi yang menangkupkan kedua telapak tangan di depan d**a. Ia hanya menggeleng sambil tersenyum manis. "No!" tolak Aya tersenyum manis. "Sembilan soal, aja. Nanti sisanya aku," pinta Vivi. "Pliss, Ya! Semalem aku lupa nggak belajar." Dahi Cahaya mengkerut menatap Vivi yang mengoceh seenak jidatnya. Soal sepuluh butir dan Vivi minta sembilan poin dari semuanya? Ia buru-buru melayangkan satu jitakan di kepala Vivi "Kerjain sendiri. Lagian siapa suruh nggak belajar?!" "Lupa Aya, lupa!" kata Vivi membela diri. "Bodo amat!" balas Aya tersenyum lalu mulai mengerjakan soal. Seluruh penghuni kelas khususnya untuk murid badung yang terkenal ndablek mulai mengeluh, mengaduh dan berteriak nggak terima. Jam kosong macam apa ini? Kalau pada kenyataannya mereka harus mengisi soal-soal dari pak Bambang. Gagal sudah rencana untuk ngamen di dalam kelas. "Tai lah! Males aku," ucap Damar menghempaskan kertas di tangannya kesal. Di sebelahnya Rinto menggaruk kepalanya sambil menatap selembar kertas di meja. Meskipun, sebenarnya Damar sangat nggak mood untuk mengerjakan soal kimia sebanyak sepuluh biji tersebut, tapi cowok yang hobi ikut balapan liar itu mulai mencoret-coret lembaran kertas jawaban secara asal. "Yang penting ngerjain, 'kan? Mau kita usaha kayak apa juga, yang bakal dapet nilai bagus cuma tiga butir. Yang di elu-elu juga pasti tiga butir doang. Kita mah apa? Cuma produk gagal," ucap Damar mengeraskan suaranya. "Siapa mereka bertiga?" teriak Damar berdiri di atas kursinya sambil memainkan kertas di tangan. "Murid Tauladan... murid tauladan ... murid tauladan!" teriak keempat cowok yang terkenal sering membuat ulah di sekolah itu dengan nada yang mereka ciptakan sendiri. Nino selaku sekertaris menggebrak meja. Membuat kelompok paduan suara itu terdiam seketika. "Bisa diam nggak?!" "Siap Ndan!" sahut Damar turun dari atas kursi. "Kalo g****k nggak usah ngajak-ngajak. Ganggu konsentrasi orang lain, kelas ini bukan cuma kamu isinya." "Biasa aja ngomongnya, Cuk! Mentang-mentang pinter, di sayang Guru nggak usah belagu!" seru Damar tidak terima. "Gini, nih, jadinya kalau punya ketua kelas nggak becus. Nggak ada tindakannya sama sekali. Harus buru-buru dilengserin kalo kayak gini!" Kalimat sindiran dari Nino membuat Keke menghentikan aktifitas mengerjakan tugas tersebut. Gadis itu menoleh pada asal suara. Nino berdiri jauh di sudut kelas berjarak tiga jejer meja, namun matanya terang-terangan menatap Keke yang masih bungkam. Gadis itu menatap tajam lewat ekor matanya lalu mendengus pelan. "Ambil, kalo kamu butuh, aku nggak peduli," balas Keke dingin. Damar cs tertawa kecil mendengar jawaban telak Keke untuk orang kelewat ambisius macam Nino. Damar memberikan senyumnya pada Keke yang masih menatapnya datar. Cowok bertubuh tegap itu mengeluarkan sebuah buku catatan bersampul hitam membuat Damar cs kembali diam. "Hidupmu nggak asik cuk!" umpat Damar menggebrak meja. Ketiga cowok lainnya mendengus kesal lalu kembali duduk tenang di kursi masing-masing. Keke yang duduk di depan meja guru menyumpalkan ear phone di telinga. Malas mendengarkan gegaduhan di dalam kelasnya. Gadis yang dikenal pendiam dan selalu sibuk dengan buku kemana, pun, ia pergi itu mulai fokus dengan soal-soal dihadapannya. *** Jika di kelas VI MIPA 3 ingar-bingar sirna karena tugas yang di berikan pak Bambang. Di kelas VI MIPA 2 seluruh penghuni kelas justru hening karena ulangan harian matematika dadakan dari Bu Yani. Tidak ada keluh kesah yang terdengar, justru seluruh siswa mengerjakan tugas-tugas tersebut dengan khidmat. Termasuk Ata. Baru sepuluh menit yang lalu soal di bagikan, tapi ia sudah berjalan ke depan dan meletakkan lembar jawaban miliknya di meja guru. Bu Yani menatap Ata gemas, meskipun Ata adalah siswa paling pintar di kelasnya, bahkan di sekolah, namun banyak guru-guru yang kurang menyukai Ata karena penampilan Ata yang seenaknya. Malah keberadaan Ata di sekolah tersebut seolah tidak kasat mata. Tidak ada yang peduli dan mau mempedulikan siswa badung seperti Ata. Bahkan meski, pun, Ata lah yang selalu menjadi juara satu pararel di sekolah. Namun, banyak guru yang enggan mengikut sertakan Ata dalam olimpiade MIPA. "Bajunya Ata!" ucap bu Yani ketika Ata hendak melenggang pergi. Ata menghentikan langkahnya. Diam di tempat menantikan kelanjutan ucapan bu Yani. "Dimasukin yang rapi dong, kayak teman-temanmu itu loh!" titahnya. Ata mengikuti instruksi bu Yani. Memasukkan seragamnya asal-asalan. "Sekolah ini punya tata tertib dan peraturan yang harus di patuhi. Bukan malah sengaja di langgar, jadi jangan seenaknya sendiri. Kamu itu harus sopan, contoh teman-temanmu itu. Jadi banyak orang yang suka sama kamu. Ngerti?" "Udah Bu," ucap Ata setelah selesai memasukkan baju seragamnya. Sementara itu bu Yani masih saja mendelik tak suka. "Ya, sudah sana. Kamu boleh keluar." Baru selangkah Ata berjalan, ia kembali berbalik menatap bu Yani. "Saya lupa Bu." "Apa lagi?" "Saya nggak mau hidup kayak orang lain. Saya juga nggak butuh disukai guru kayak mereka semua. Saya cuma mau jadi diri saya sendiri. Jadi, kalau orang-orang nggak suka sama saya, silahkan. Saya nggak peduli. Lagian menurut saya kalau orang itu menyukai orang lain dengan alasan, itu cuma pencitraan kan, Bu? Biar dianggap seleranya bukan murid nggak tau tata krama kayak saya. Tapi, bukannya orang-orang berpendidikan seperti Bapak dan Ibu guru itu justru harus dengan sabar mendidik kami tanpa membedakan dan membandingkan satu sama lain? Setau saya sih, gitu Bu. Nggak, tau deh kalau sekarang udah ganti ketentuan. Oh, iya? Guru yang baik itu harus mencontohkan hal baik buat muridnya. Termasuk mematuhi tata tertib dan peraturan, salah satunya datang ke Sekolah sepuluh menit sebelum bel. Saya permisi, Bu," ucapnya gamblang. Saat itu juga terdengar suara saling berbisik dari seluruh siswa di kelas. Bersamaan dengan perginya Ata, Bu Yani melotot. Ibu guru berbadan tambun itu mendelik tajam. Dari mana juga Ata tau bahwa ia sering datang terlambat. Belum sempat lagi Bu Yani berbicara, Ata menundukkan kepalanya memohon diri untuk keluar sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh Bu Yani. Bahwa siapa, pun, yang telah menyelesaikan ulangannya dengan baik, mereka boleh keluar dari kelas. Hari masih pagi, pukul tujuh lewat empat puluh lima menit. Ata yang tadinya berniat untuk pergi ke atap sekolah memutar langkahnya menuju kantin. Sejak kemarin ia hanya menelan sepotong roti bakar dari Senja dan satu gelas kopi. Cacing-cacing di perut meronta minta diisi. Saat kaki jenjangnya melangkah santai melewati koridor yang sepi, Ata tersentak ke depan merasakan seseorang menabraknya dari belakang. Kontan gadis itu menoleh, mendapati beberapa buku berserakan juga seorang gadis berkaca mata yang memungut buku-buku tersebut. "Nggak sengaja," ucapnya singkat, padat nan jelas. Ata ikut serta memungut buku di lantai sambil terus mengamati gadis berambut panjang yang menutupi wajah. Sedetik kemudian gadis itu berdiri melenggang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, sementara satu buku miliknya masih berada di tangan Ata. Iseng ia membuka lembaran pertama buku setebal kamus di tangannya. Keke. 11 MIPA 3 Melihat alamat kelas yang tertera di lembaran halaman itu senyum yang tadi sempat menghiasi bibir Ata lenyap. Ia teringat seseorang yang pernah dekat dengannya dulu. Seseorang dalam kenangan yang membuatnya merasa rindu juga benci. Yang saling mencari juga saling berlari. Kenyataannya, Ata membenci semua itu. Namun, hal-hal yang ia benci selama ini bukannya semakin lenyap dari ingatannya justu dengan jelas muncul ke atas permukaan. Membuat gadis berusia tujuh belas tahun itu semakin kacau di dalam. Ia berbalik setelah diam beberapa saat. Tetapi, lagi-lagi ia berhenti. Menatap seorang gadis berambut panjang yang entah sejak kapan mengamatinya dengan pandangan sayu. Sebaliknya Ata melemparkan tatapan dingin lalu melangkah lagi tanpa melihat orang yang sejak tadi mengamatinya. "Ta, sampai kapan kamu mau kayak gini?" Entah mendapat keberanian dari mana. Aya yang biasanya ciut melihat Ata kini menahan lengan Ata untuk tinggal. Tapi, hal itu hanya bertahan selama lima detik. Tepat setelah Ata menghempaskan kasar tangannya dari genggaman Aya. "Jelasin semuanya biar aku ngerti di mana yang salah. Jangan kayak gini," sambung Aya tak menyerah juga. Tanpa sepatah kata gadis yang selalu dicap buruk di sekolahnya itu melenggang tanpa mempedulikan Aya yang mulai menitikan air mata. Punggung Ata terlihat semakin samar di mata Aya karena air mata yang menggenang. Untuk saat ini ia mulai ragu bahwa apa yang ia genggam akan menyuguhkan hasil yang menyenangkan. BERSAMBUNG!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD