3

1510 Words
Berdiri membeku di atas tanah merah yang masih basah. Gadis kecil berambut panjang menggenggam pita jingga di tangan mungilnya. Pagi itu elegi mengalun sendu, bersama setiap tetes yang menghiasi pipi gembulnya. Tidak ada tangan yang bisa ia genggam kala sendirian, tidak ada pula pinggang yang mampu ia rengkuh untuk meredakan ketakutan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu sesenggukan di depan pusara Mama. Setelah ia melihat bagaimana mama mengakhiri hidupnya dengan mata kepalanya sendiri, saat itu Ata kecil sudah tidak tertolong lagi. Alunan lagu menyayat hati terus berputar di telinganya. Menghantui saat pagi menyapa. Elegi yang mengalun dalam delusi yang terasa nyata. Ata terhenyak membuka mata. Keringat dingin membasahi tubuh di waktu subuh. Napasnya naik turun, seperti atlet lari yang telah mengikuti lomba maraton. Waktu telah menunjukkan pukul empat pagi, Ata mendudukkan diri bersandar pada sandaran tempat tidur. Matanya terpejam sejenak lalu menghirup napas perlahan. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang tidak karuan. Ia menatap sekeliling kamar yang gelap, kamar mini bercat broken white yang penuh dengan tempelan kertas. Di sudut kamar ada gitar berwarna cokelat muda berukuran sedang. Lalu kembali berkeliling hingga matanya berhenti memaku jendela kaca. Tirai jendela terbuka lebar, menampakkan cahaya fajar menyingsing. Di atas langit yang masih gelap, Ata menatap bulan yang bersinar terang. Ia hembuskan napas pendek lalu mengacak rambutnya kasar. Selalu seperti ini, terbangun di waktu yang paling ia takuti setelah mimpi buruk menghantui. Tidak ada pilihan lain, selain hal yang biasanya selalu ia lakukan. Duduk di sofa panjang yang berada di dekat jendela. Matanya menatap keluar, berharap matahari segera menampakkan diri dengan cepat agar gelap di pagi hari lenyap membawa serta ketakutannya. Ata memejamkan mata ketika alunan musik sendu menyayat hati kembali terputar dalam benak. Mengalun jelas memenuhi telinganya bersama bayangan di masa silam. Sepuluh tahun yang lalu, di pagi yang masih gelap ia duduk di atas kasur bersama mama. Mata sembab mama yang selalu basah karena air mata, lebam di antara wajah cantik mama yang sangat mengganggu, elegi yang selalu menemai pagi mama mengalun syahdu, Ata mengingatnya. Semua itu menjadi titik rasa sakit yang ia rasakan, napas Ata sesak namun bayangan itu semakin nyata mengirisnya perlahan. Saat mama menyayat nadi di tangannya dengan sebilah pisau. Tidak ada yang bisa Ata kecil lakukan waktu itu, ia berteriak meraung memanggil mama yang sudah terpejam dengan tangan yang berdarah. Kembali pada kesadarannya, Ata menekan kepalanya yang terasa pening. Suara tangisnya waktu itu, tawa ceria milik mama, senyuman ayah, juga teriakan gembira saudaranya. Semua itu berbaue jadi satu dalam elegi yang menciptakan sesak di d**a. Buru-buru ia menggeledah laci untuk mendapatkan sebuah obat dari dalam tabung berwarna putih. Ia raih segelas air putih yang tersedia di atas nakas lalu meneguknya dengan rakus. Menciptakan suara gaduh. Elegi di pagi hari, yang selalu mengalun di dalam tempurung kepalanya. Membuat Ata selalu ketakutan menghadapi pagi. Skizofrenia yang diderita Ata sempat membaik beberapa waktu lalu. Namun, akhir-akhir ini pikiran Ata terlalu mudah kalut hingga membuatnya harus mengonsumsi obat penenang dari dokter psikologinya. Di dalam kurungan ketakutannya, Ata memeluk dirinya sendiri pagi itu. Hingga telinganya menangkap ketukan pintu kamar yang membabi-buta. Ata enggan bergerak, takut juga terlalu lemah. Karena suluruh tubuhnya benar-benar bergetar hebat. Seseorang berdiri di sana lalu menghampiri Ata dengan cepat. "Ata?" Senja langsung mendekati Ata yang meringkuk di pinggir kasur. Tanpa aba-aba Ata memeluk cowok di depannya erat. Meremas jaket denim yang di kenakan Senja kuat-kuat. Ia salurkan ketakutannya pada cowok yang tiba-tiba menemukannya dalam kegelapan. Hanya ini yang Ata butuhkan, satu orang yang datang dan peduli padanya. Tidak perlu banyak, cukup seorang saja. Pinta batinnya. "Ck, mikirin apa, sih?" tanya Senja masih cemas. "Aku kan, udah bilang kalau ada apa-apa cerita!" sambung Senja kesal melihat Ata kesakitan. Ia berusaha melepaskan pelukan Ata demi melihat wajah cemas di depannya. Namun, Ata menolak. Ia masih mendekap Senja dengan erat sampai Senja membalas pelukan itu dengan hangat. "Tolong, sebentar aja!" ucap Ata dengan suara bergetar. Senja mengerti, tangannya bergerak mengusap punggung Ata lembut. Ia cukup lama mengenal Ata, tepat setelah mamanya menemukan Ata menangis di samping pusara. Dan memutuskan untuk membawa Ata bersamanya. Kala itu Senja tidak menyukai Ata kecil, karena menurutnya Ata telah membuat perhatian mama hanya tertuju pada Ata, bukan dirinya. Namun, seiring berjalannya waktu kedua anak kecil itu tumbuh sama-sama. Sudah sebagai adik dan kakak, saling melindungi dan mengisi kekosongan. Ata yang terlalu kaku dan sedikit bicara, dan Senja yang ceria dan penuh tawa. Elegi esok pagi. Mengalun sunyi dalam kerapuhan hati. Menghantui jiwa yang lelah tertatih. Mengoyak luka terasa perih. Matahari pernah datang untuk menerangi. Menciptakan tawa tetapi tidak dihargai. Matahari pernah datang untuk menemani. Mendatangkan kehangatan tetapi tidak pernah dipuji. Sinar pudar itu hilang dalam temaram. Tenggelam bersama lembayung senja dalam suasana kelam. Mengirim bulan untuk datang menggantikan tugas berbagi kebahagiaan. Bersama kejora bersinar terang di balik gelap malam. Matahari menghilang, dalam kerapuhan menyelipkan satu pesan pada gurindam. Berharap mampu kembali bersama cahaya bulan dan kejora. Juga pada lembayung senja. Namun, Impian pupus musnah, karena paham takdir mereka mungkin tidak untuk dipersatukan. *** Setelah beberapa hari yang lalu. Saat Senja menemukan Ata yang ketakutan di kamarnya, cowok itu memutuskan untuk lebih sering menengok Ata di rumah minimalis yang kerap Ata sebut sebagai sarangnya. Ata terdiam menatap cowok yang tersenyum lebar di depannya. Tanpa rasa bersalah cowok itu menyentuh sendok lalu memasukkan satu suapan besar ke dalam mulutnya hingga penuh. Sereal gandum buatan Ata memang tiada duanya. Oat meal yang di rebus dengan s**u cair hingga lumat dengan taburan keju di atasnya, selalu membuat Senja ketagihan. "Masih bisa nelen makanan, ya?" seru Ata mengangkat sendoknya seperti hendak memukul kepala Senja. Buru-buru Senja mengangkat kedua tangan ke atas untuk melindungi kepala dari serangan cewek di hadapannnya. Meski nyatanya cewek galak itu hanya menggertak, siapa yang tau jika nanti tiba-tiba Ata tetap memukul Senja. Secara di mata Senja, Ata bukan cewek tulen. Ata itu lebih mirip dengan induk macan. Garang! "Ow-ow! Ampun, Ta," ucap Senja kembali menyuapkan bubur ke dalam mulutnya. Ata mendengus kasar. Cowok di depannya itu terlalu menyebalkan, tapi nyatanya Ata nggak pernah bisa marah berkepanjangan dengan Senja. Saat cowok itu kembali sibuk memakan bubur, pelan Ata mengetuk kepala Senja dengan sendok. Nah, 'kan! Apa kubilang! "Aduh, Sakit, Ta!" eluh Senja melotot protes. "Lebay!" balas Ata mulai menyuapkan bubur ke dalam mulut. Cowok itu nyengir. Yang barusan itu memang cuma acting. Karena Ata hanya mengetuk kepalanya pelan, benar-benar pelan. Ia mulai sibuk menyantap bubur dalam mangkok yang sudah tinggal satu suap itu. "Jadi semalem, kamu tidur di mana?" tanya Ata sambil mengunyah. "Di sofa." "Masuk lewat jendela?!" sambung Ata. "Lain kali kalau mau tidur di sini bilang," tegas Ata. Meneguk air putih yang berada di sebelahnya. "Iya, maaf." Matanya fokus pada Ata yang sibuk meneguk air putih dalam gelas besar. Lalu pandangan Senja beralih pada mangkok bubur Ata yang masih bisa di kategorikan utuh. Ata yang memerhatikan hal itu mendengus pelan. Ia mendorong mangkok buburnya ke tengah, sehingga mata Senja berbinar indah. Dengan lahap Senja memakan pula jatah Ata. "Dasar Bison!" ucap Ata meletakkan sendok serta mangkok Senja di tempat pencuci piring. "Enak, aja! Aku tuh, makan banyak buat pertumbuhan, nggak kayak kamu yang stuck segitu-gitu, aja," balas Senja membela diri. "Pertumbuhan, tuh, kalau masih bocah. Udah bangkotan begini apanya yang mau bertumbuh?" "Asetku, lah! Kamu pikir tumbuh itu cuma soal tinggi badan, buat cowok ukuran panjang juga harus bertumbuh." Cewek itu diam sejenak menghentikan aksi memasukkan buku ke dalam tas sekolah. Ia masih mencerna kalimat sulit yang baru di ucapkan Senja. Matanya melotot sempurna begitu memahami apa yang baru saja Senja katakan. Dengan gerakan cepat Ata mengangkat kamus bahasa Inggris lalu mengayunkannya kencang hingga menghantam punggung Senja. "Jorok banget, sih!" Menerima pukulan tersebut Senja yang untungnya sudah selesai makan dan minum hanya terbatuk-batuk. Penganiayaan pagi ini benar-benar membuatnya merasa geli juga tersakiti. Cewek kasar kayak Ata ini, ada di mana lagi? Satu aja, udah serem, gimana kalau lebih banyak spesiesnya? Senja yakin, jumlah betina akan membeludak sedangkan pejantan akan menjadi almarhum terlebih dulu karena tidak tahan akan penganiayaan. Ah! Pikiran absurd macam apa ini?! Batin Senja tertawa detik itu juga. "Astagfirullahaladzim, Ata! Aku manusia, bukan boneka. Sakit tau," kilah Senja setelah batuknya reda. "Buruan, atau tak kunci dari luar!" balas Ata melenggang pergi sambil memainkan kunci rumah di tangannya. Senja menelan ludah nelangsa. Gemas ia memukul meja makan sambil membayangkan bahwa yang barusan ia pukul itu adalah Ata. "Aku hitung sampai tiga! Satu ..." teriak Ata dari depan. Kali ini Senja mengadu rahangnya kuat. Ia berlari meraih sepatu yang berada di sisi sofa dan segera menyusul singa betina yang sudah stay di halaman rumah bersandar dinding. "Tiga!" ucap Ata final. Bersamaan dengan Senja yang sudah berada di luar rumah sambil menatap Ata gemas. Ata mengunci pintu rumahnya lalu memasukkan kunci tersebut ke dalam salah-satu kantung tas. "Apa?" sentak Ata melihat Senja yang menatapnya datar. Cowok itu menggeleng kuat-kuat dengan ekspresi wajah yang menggelikan. Buru-buru Senja memakai sepatu kets-nya dan berlari kecil menyusul Ata yang sudah mendahuluinya. "Ata sialan!" umpat Senja menekan d**a bagian kirinya tanpa menghentikan langkah. BERSAMBUNG!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD