Butuh Baju

1010 Words
Alvin kembali beristigfar, garis di kubu-kubu jarinya digunakan untuk menghitung banyaknya istigfar yang dia ucapkan. Sungguh dia menyesal, sesal yang teramat membuatnya begitu bersalah. Bayang dan reka kejadian semalam terus berputar di kepalanya. Potongan-potongan gambar berserakan bak puzzle yang belum tersusun terasa terus berputar di kepalanya. Sesal dan rasa bersalah terus saja menyeruak. Namun, otak Alvin terasa buntu. Dia bingung harus mengambil langkah apa. Semua yang terjadi sama sekali di luar prediksinya. Tidak pernah terbayangkan sedikit pun Alvin sampai tega menggagahi gadis suci dengan cara yang paling menyakitkan. “Ya Allah, kakakku perempuan. Lindungi dia, jangan sampai salahku dilimpahkan padanya. Ini murni aku yang salah dan tidak ada kaitannya dengan kak Wengi, Ibu atau pun papa,” gumam Alvin. Telapak tangannya kembali meraup wajah, menggusarnya dengan kasar sebelum kembali bibirnya menggumamkan istigfar berulang-ulang. Sungguh Alvin baru sadar, ingatannya pulih dan mengakui kalau semalam dia bagai serigala yang tidak berperasaan. Alvin merenggut kesucian seorang gadis dengan paksa, bahkan dia sendiri pun merasa ngeri kalau teringat sekasar apa memperlakukan Agis semalam. Alvin mengaku dirinya pendosa. Pendosa yang amat hina, harusnya dia mampu mengendalikan dirinya agar tidak menyerah dengan efek obat laknat yang dia minum. “Maaf, Gis. Maaf. Ini benar-benar tidak seimbang. Aku yang salah dan salahku kali ini benar-benar sangat merugikanmu. Bagaimana aku menebus salah dan dosaku ini, Gis. Ya Allah, pertemukan aku sekali saja dengannya. Setidaknya aku ingin meminta maaf atas salah yang kuperbuat.” Alvin didera rasa bersalah yang teramat dalam kala wajah Agis kini terbayang terus dan terus seperti menggandul di pelupuk matanya. Agis tak ubahnya seperti Wengi. Mereka sama-sama seorang gadis suci dari desa. Hanya Wengi lebih beruntung karena pindah ke kota untuk tinggal bersama keluarga besarnya. Tidak seperti Agis yang merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan. Pergi dari desa menuju ibu kota hanya berbekal selembar ijazah SMK membuat Agus sangat susah mencari pekerjaan. Terpaksa dia menerima tawaran temannya untuk bekerja di sebuah club malam. Pekerjaan yang membuat Agis harus kehilangan kesucian di tangan Alvin. Air mata Alvin kembali menetes, rasa sesal dan bersalah membuat dadanya terasa sesak. Dia tidak mampu lagi untuk menahan tangis penyesalan karena perbuatan hinanya. “Ya Allah, ampuni aku ya Allah,” desisnya disertai rasa bersalah yang tetap tidak akan pernah mengubah keadaan ini. “Astaghfirullahal Ladzii Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyul Qayyuumu Wa Atuubu Ilaihi.” Bibir Alvin terasa bergetar saat mengucapkannya bersamaan dengan tetes air mata yang menyertai. Memang pantang buat seorang pria untuk menangis. Hanya untuk menangisi dosa besar yang telah dia perbuat rasanya Alvin tak malu karenanya. . Kalimat istigfar masih terus keluar dari bibir Alvin.Bibirnya masih saja terus menerus bergerak lirih untuk memohon ampunan pada Tuhannya. Istigfar panjang yang diakhiri dengan doa yang dia panjatkan dari hati dan jiwanya. "Aku memohon perlindungan Engkau dari segala kejahatan yg telah aku lakukan. Ampuni aku ya Allah, ampuni aku ya Rabb, ampuni dosa besar yang telah kulakukan ini.” Alvin mengusap kedua telapak tangannya ke wajah untuk mengakhiri doa panjangnya dia melipat handuk yang telah dijadikan sajadah, kemudian duduk di tepi ranjang untuk meminta tolong pada Ibra mengirimkan pakaian ke club ini untuknya. Tangannya langsung menekan tombol dial. Ah, sungguh wajah tuan muda yang pongah kini tak lagi tampak. “Alhamdullilah, Lo bangun juga bos, are you okay?” tanya Ibra saat mengangkat panggilan Alvin. “Big No, tolong bawain baju, celana dan underwear ke club, gue butuh itu secepatnya,” ujar Alvin menjawab tanya Ibra diserta sebuah perintah yang tidak pernah bisa ditolak oleh sahabatnya yang satu itu. “Gue butuh baju dan secepatnya Lo susul ke sini,” ulang Alvin mempertegas perintahnya. “Okay,” jawab Ibra yang langsung mematikan panggilan tanpa bertanya apapun lagi. Biar lah nanti semua pertanyaan akan dia ajukan secara langsung. Ibra bukan hanya akan bertanya, tapi dia juga akan bercerita apa yang terjadi pada Salwa semalam. Dia yakin keadaan sahabatnya kini pasti sangat kacau, secepat mungkin dia mengambil baju dan celana miliknya, kemudian satu set underwear yang belum dia pakai. Semua dia masukan ke dalam tas, baru keluar dari kamar. “Ibra!” Suara berat terdengar memanggilnya. Ibra mengaduh dalam hati. Akan susah kalau papanya tahu hendak ke mana dia pagi ini dengan satu set pakaian di dalam tas gendongnya. “Ibra.” Panggilan diulang, ragu-ragu Ibra membalik badannya. “Iya, Pa.” Ibra meringis, sungguh susah bersikap netral dan memasang wajah datar seolah tidak ada kesalahan apa pun yang dia lakukan. Tentu kacau kalau papanya tahu semalam Ibra kembali berkunjung ke klub malam. Bukankah sebelumnya kedia orang tua Ibra selalu menasehati agar sang putri berkaca diri dan tidak terus mengikuti pergaulan eman-temannya yang selain bergaya hidup hedon, mereka juga kerap keluar masuk klub. “Kamu mau kemana sepagi ini bawa tas?” “Ini, Pa. Aku ....” Ibra gagap, selalu seperti itu saat dia hendak berbohong. “Kamu piki papa tidak tahu kalau kamu semalam pulang pagi?” Terlihat Ibra semakin kikuk. Kembali ke kamar, bisa dibayangkan bagaimana nasib Alvin menunggunya datang. Memaksa pergi pun rasanya dia tidak mampu berkata jujur, tapi Ibra juga tidak biasa berbohong. “Katakan kamu mau ke mana? Sudah pulang pagi dan sekarang kamu mau berangkat lagi!” suara sepuluh oktaf sang papa membuat Ibra ingin langsung mengurungkan niatnya. “Masuk ke kamar. Kamu pikir papa tidak tahu apa yang kamu lakukan semalam!” bentak sang papa membuat Ibra langsung mengangguk saja agar tidak memperpanjang perdebatan. “Kembali ke kamar dan jangan coba-coba untuk keluar rumah tanpa seizin papa!” pesan mutlak yang sepertinya membuat Alvin harus terima tertahan lebih lama di kamar hotel. Alvin terus mondar-mandir di kamarnya sembari menimang ponsel. Dia hendak menghubungi Wengi untuk memberi tahu keberadaannya. Namun, urung dilakukan karena bingung merangkai kebohongan apa untuk menutupi apa yang terjadi semalam. Ponsel bergetar, benar saja apa yang ditakutkan Alvin terjadi juga. Sebuah pesan dari Wengi masuk dan membuat Alvin harus siap menerima hukuman apa pun yang sudah disiapkan Bramantyo. ‘Vin, kamu di mana? Ini papa sampai mau cek CCTV buat memastikan kamu keluar jam berapa?’ Pesan dari Wengi hanya dibaca saja. Alvin malah segera menghubungi Ibra untuk kedua kalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD