Sudah dua jam lebih Ibra belum juga tiba, padahal aku benar-benar ingin segera meninggalkan tempat ini. Hanya saja bagaimana mungkin aku keluar kamar hanya dengan mengenakan kain sprei seperti ini. Aku mencoba menghubungi Ibra lagi. Tidak mungkin perjalanan dari rumahnya ke tempat ini memakan waktu lebih dari dua jam. Pasti ada sesuatu yang membuatnya terlambat untuk datang.
Setiap kali melihat ponsel, terlintas di layr wajah Agis berurai air mata. Namun, aku sungguh abai akan itu. Laknat, aku ini biadap dan tak pantas untuk dimaafkan. Allahu rabb. Aku kembali menggusar rambut, mengacaknya untuk menghapus jejak wajah Agis yang terus menghantuiku.
Cepat aku menghubungi nomor Ibra, berharap dia segera datang untuk membawaku pulang. Setidaknya keluar dari kamar ini mungkin bisa membuat rasa bersalahku hilang sebagian.
“Halo, Bra, kok Lo belum sampe sini juga sih.” Langsung saja aku berbicara lepas begitu melihat detik penghitung panggilan mulai berjalan.
“Bra? Lo enggak lagi bercanda kan? Atau Lo mau biarin gue terkurung di sini?”
Bukan jawaban, justru suara deheman yang menghentakku yang terdengar.
“Maaf Den Alvin, Ibra sedang tidak Om izinkan keluar dari rumah.”
Deg.
Kenapa malah suara om Burhan yang terdengar. Aku kembali mengecek layar ponsel untuk memastikan kalau aku menghubungi nomor yang benar. Soalnya beberapa kali aku memang menelepon om Burhan saat Ibra tidak bisa dihubungi. Di antara ketiga sahabatku, Ibra yang paling dekat denganku bukan hanya karena Om Burhan bekerja di perusahaan papa. Namun, aku dan Ibra memang aktif di ikatan remaja masjid sekolah kami.
Bayangkan anak Rohis tapi masih juga berkeliaran di klub. Papa benar, harusnya aku pandai memilih teman bergaul. Namun, Martin dan Louise sudah cukup lama berteman dengan kami. Sejak di bangku SMP hingga kini kami lulus SMA bersama.
“Den Alvi, ada yang bisa Om bantu?” Aku mengerjap, sadar akan telepon yang masih berlangsung.
“Om, aku nggak salah telepon kan?” tanyaku dengan agak ragu setelah kesadaranku pulih seutuhnya. Sialan, efek obat itu masih saja terasa dan kerap membuatku susah membedakan mana halusinasi dan kenyataan.
“Tentu saja tidak. Ini memang benar ponselnya Ibra, semalam Ibra pulang pagi. Makanya pagi ini Om tidak mengizinkan dia keluar rumah.”
Mampus, aku hanya bisa mendesah panjang. Kembali bingung hendak meminta tolong pada siapa lagi. Ibra yang paling bisa diandalkan malah sedang dikurung Om Burhan. Tidak mungkin juga Martin dan Louise sudah bangun sepagi ini. Aku pun berdehem, mencoba bernegosiasi dengan Om Burhan. Lagian dia salah satu manager di perusahaan papa. Aku bisa sedikit membujuk dan merayunya untuk mengizinkan Ibra keluar sebentar saja.
“Om, maaf nih sebelumnya. Aku beneran butuh banget pertolongan Ibra, Ada sesuatu hal yang tidak bisa aku ceritakan, tapi aku bener-bener butuh pakaian ganti.” Sepertinya berbohong jadi satu-satunya cara untuk bisa mendapatkan pakaian tanpa melibatkan pihak hotel/
“Loh, memangnya Den Alvin sedang dimana?”
“Anu om, di tempat fitnes, dan anuku robek,” gagapku. Aku memang nakal, tapi untuk berbohong aku tidak begitu handal hingga kerap terbata-bata kala sedang meluncurkan kalimat klise.
Ini terpaksa Tuhan, tolong mengerti. Meski baru saja aku salat taubat meminta ampunan Mu. Kini mulut ini sudah kembali berbohong karena sesuatu yang benar-benar urgent. Ya Tuhan, tolong maafkan aku sekali lagi. lagi dan lagi aku bisanya hanya menumpuk dosa saja.
“Oh, iya, Om paham. Nanti Om segera suruh Ibra ke sana secepatnya. Cuma habis itu pastikan Ibra langsung pulang Den. Anak itu selalu saja bikin Om pusing kepala,” decak Om Burhan. Untungnya dia tidak tahu kalau semalam Ibra pergi denganku.
“Siap Om, terima kasih ya Om.”
Panggilan pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Sungguh benar kalau satu kejahatan kadang diikuti kejahatan yang lain. Begitu pun sekarang yang aku lakukan. Berada di tempat salah seperti ini memang bukan suatu kejahatan. Namun, sudah jelas kalau ini suatu kesalahan yang pada akhirnya membuat aku terpaksa berbohong. Kebohongan yangakan berulang untuk menutupi aku yang semalam tidak pulang.
Astaghfirullahal Ladzii Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyul Qayyuumu Wa Atuubu Ilaihi.
Tuhan, aku usahakan ini terakhir kalinya aku ke tempat ini. Cukup sekali aku terjebak suatu kesalahan yang tanpa aku sadari. Sadar? Ah, aku memang melakukannya dengan sadar, bahkan aku sekarang sudah mulai mengingat bagaimana raut ketakutan wajah Agis disertai dengan rintihan dan permohonan agar aku menghentikan kebejatanku.
Hanya saja saat itu aku benar-benar tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Napsu sudah membutakan mata dan menulikan telingaku. Hingga yang terjadi kini hanya sebuah penyesalan dan rasa berdosa karena aku sudah membuat gadis suci dari desa itu sekarang ternoda.
Bagaimana keadaan Agis sekarang?
Kemana aku harus mencarinya kalau dia memastikan tidak akan lagi datang ke tempat ini.
Aku yakin dengan pasti kalau apa yang terjadi semalam pasti membuatnya benar-benar hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Hanya saja untuk menikahi dia aku tidak mungkin, ada Salwa yang aku cinta. Namun, lari dari tanggung jawab juga bukan pilihan bijak.
Ah, bagaimana pun caranya, dimana pun dia, aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku tanpa harus menikahinya. Aku akan mencoba mencarinya meskipun dia berkata kalau tidak ingin bertemu denganku. Aku kini ingat kalau semalam melakukannya berkali-kali meskipun dia merintih dan memohon. Aku takut, takut kalau kesalahanku bukan hanya sudah merenggut kesuciannya. Namun, juga meninggalkan benih dalam diri Agis.
Tidak, aku memang masih muda dan belum berpikir sama sekali tentang sebuah keluarga. Hanya saja aku laki-laki dan harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku perbuat pada Agis. Agis benar, dia menyelamatkan satu perempuan yang akan dijadikan korban dari minuman yang dicampuri obat laknat itu. Namun, dirinya justru menjadi korban dari kebiadabanku yang emnjadikannya b***k napsu saat efek minuman itu membuatku benar-benar menjadi seperti sosok pria pendosa yang hobi bergonta-ganti wanita.
Ah, perutku sudah terasa begitu lapar, mungkin sekitar tiga atau empat puluh menit lagi Ibra baru datang. Aku memutuskan untuk kembali mensucikan diri dengan percikan air wudu. Lebih baik aku menunggu Ibra dengan kembali meminta ampun di waktu duha Nya.
Setelah itu aku baru bisa memikirkan langkah apa yang kuambil selanjutnya untuk menebus rasa salah dan dosaku pada Agis.
Jujur pada papa, aku takutnya Salwa akan terluka kalau aku diminta menikahi Agis.
Atau menyimpan semuanya sendiri dan mencoba menyelesaikannya tanpa campur tangan keluarga? Bisakah aku lakukan itu?