Ampuni Aku

1026 Words
Samar-samar suara adzan mengalun dari ponsel Alvin, suara adzan yang dijadikan alarm pengingat Alvin untuk bangun di waktu Fajar agar dia tidak terlambat untuk menunaikan kewajiban rutinnya. Matanya masih tertutup rapat, tapi tangannya mencoba menggapai ponsel untuk mematikan sejenak bunyi alarm. Alih-alih menarik ponsel, Alvin malah menarik kertas yang jadi alas ponsel hingga mau tidak mau dia pun membuka mata untuk mengecek selembar kertas yang ada di tangannya. Semenit, dua menit … lima menit pun berlalu begitu saja dengan matanya yang terus turun dan naik memastikan setiap aksara yang tertulis di sana. Alvin mengucek matanya, menggusar kasar wajah dengan telapak tangan sebelum membaca ulang surat yang ditulis Agis. Alarm ponsel berhenti sendiri, Alvin tidak menghiraukannya karena sekarang dia fokus ingin memastikan apa yang terjadi semalam. Benarkah dia melakukan semua yang tertulis di surat Agis. Kepalanya kembali terasa berat. Surat dari Agis dilipat kembali dan Alvin memijat pelipisnya berulang-ulang sembari melafalkan istigfar. Potongan-potongan kejadian semalam melintas bak kepingan puzzle yang belum tersusun. Suara azan dari ponselnya kembali terdengar setelah berhenti beberapa saat. Sejenak Alvin meraih ponsel dari nakas untuk mematikan bunyi adzan. Alarm mati, tampaklah kini dilayar begitu banyak panggilan tidak terjawab dari nomor Salwa. Menjelang dini hari disusul banyaknya panggilan dari Ibra pun berderet di log panggilan. Dari sekian banyak pesan masuk. Avin hanya peduli pesan yang dikirim kekasih hatinya. ‘Mas, aku minta tolong jemput aku di Metronite Club.’ Mata Alvin memicing membaca nama club yang sama dengan club yang semalam dia kunjungi. “Ya Tuhan, Wa. Apa kamu ke sini,” gumam Alvin cepat-cepat menelepon nomor Salwa. Namun, nomor Salwa justru tidak aktif. “Sial!” Alvin mengakhiri panggilan pada nomor Salwa dan beralih menelepon Ibra. Semalam Ibra memang kembali ke Club, tapi dia tertahan di pos penjaga lantai tiga. Dia sudah berulang kali merayu penjaga agar mengizinkannya masuk ke kamar yang disewa atas nama Alvin Megantra. Namun, penjaga tetap bersikeras kalau data diri pelanggan di lantai ini sangat rahasia dan tidak bisa diberikan ke sembarang orang. Sudah jam tiga pagi, Alvin yang belum juga bisa dihubungi membuat Ibra memutuskan untuk kembali meninggalkan Club. Rasanya percuma saja dia berada di sana hanya untuk menunggu Alvin yang entah akan bangun jam berapa. “Angkat, Bra, angkat,” gumam Alvin terus menerus, tapi tetap saja Ibra tidak juga mengangkat teleponnya. Alvin kembali meletakan ponsel, dia meraih lagi surat yang ditulis oleh Agis. Dia pun menyibak selimut yang menutupi badannya yang ternyata polos tanpa sehelai benang pun. Ditambah lagi bercak darah yang mulai mengering juga terlihat hampir diseluruh bagian seprei yang begitu berantakan. “Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan.” Alvin menutup matanya, sekuat mungkin dia mengingat apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Agis semalam sembari kembali membaca surat yang Agis tulis berulang-ulang. “Ya Tuhan, ampuni aku. Aku tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” sesalnya sembari menjambaki rambut dan sesekali menekan-nekan pelipisnya dengan telunjuk. Entah bagaimana murkanya Bramantyo-sang papa kalau tahu apa yang dilakukan Alvin malam ini. Sudah beberapa kali Bram mengingatkan sang putra untuk tidak lagi datang ke club malam meskipun hanya untuk kongkow santai bersama ketiga sahabatnya. Sudah sering juga Bram menasihatinya kalau mendatangi tempat penuh maksiat itu akan membuatnya mudah terjerumus godaan setan. Alvin selama ini bisa membuktikan kalau dia tidak pernah mabuk, tidak mengenal barang haram maupun wanita meskipun sesekali mendatangi club malam bersama teman-temannya. Namun, malam ini semua nasihat Bram terngiang hingga membuatnya menyesal tidak menuruti omongan orang tuanya. Alvin mengaku salah, salah yang teramat membuat dirinya berdosa. Alleta semasa hidupnya sudah sering mengingatkannya agar menjauhi zina, tapi kini dia melakukannya meskipun tanpa sadar karena di bawah pengaruh obat yang dicampurkan ke minumannya. “Edan. Ulah siapa sebenarnya,” gerutu Alvin mengira dan menebak siapa yang sudah terlalu iseng mencampurkan minumannya dengan obat perangsang. Sengaja atau pun tidak Alvin tahu kalau zina adalah salah satu perbuatan yang dilarang keras oleh Tuhannya. Zina adalah salah satu dosa besar, setelah syirik dan membunuh. Hal ini diterangkan dalam surat Al Furqon ayat 68 yang beberapa hari lalu dibahas bersama Ibunya Wati dan Bram sebagai nasihat untuk Alvin dan Wengi. “Tuhan, aku pantas dicambuk seratus kali. Aku berdosa Tuhan, aku berdosa.” Alvin merangku wajahnya dengan telapak tangan, menggusarnya kasar sebelum turun dari ranjang. Alvin berjalan lunglai masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, beruntung fasilitas hotel menyediakan kimono handuk hingga dia bisa memakainya sementara belum ada pakaian yang bisa dia kenakan setelah mandi besarnya. “Aku salat pakai apa ini,” gumam Alvin sembari memindai isi kamarnya. Pemandangan seprei yang dipenuhi bercak darah mengganggu matanya. Alvin menyeret sprei kotor dan memasukannya ke dalam keranjang cucian, begitu pula dengan baju Agis yang sudah dia sobek, dia pungut semuanya dan dimasukan ke dalam keranjang sampah. “Ya Allah, Gis. Ini tidak impas. Apa yang aku lakukan sudah diambang batas.” Baju-baju Agis yang sudah tidak berbentuk utuh menjadi bukti seperti apa semalam Alvin memperlakukan Agis. Semua sudah rapi, Alvin pun membuka lemari untuk mencari sesuatu yang bisa dia pakai untuk salat. Bagaimana pun kelakuannya semalam, sungguh itu di luar keinginan Alvin. “Alhamdulillah,” ujar Alvin saat dia menemukan kain sprei bersih di lemari. Dia menyobeknya menjadi dua dengan gunting yang ada di laci nakas. Bagian pertama dia ikatkan di pinggang untuk menutupi aurat bagian bawahnya, sedangkan bagian kedua dia pakai layaknya kain ihram untuk menutupi bagian d**a. Dia pun menggelar handuk bersih sebagai alas salat setelah memastikan arah kiblat dengan aplikasi kompas penunjuk arah di ponselnya. Dua rakaat subuh dia jalankan, setelahnya baru lah Alvin mengerjakan dua rakaat salat taubat yang dia lakukan sepenuh hati dan jiwanya sebagai salah satu cara untuk meminta pengampunan pada Tuhan. “Tuhan, begitu hinanya diri ini. Ampuni hamba Mu ini, ampuni aku yang tidak kuasa melawan efek obat laknat yang membuatku menjadi manusia laknat. Ampuni aku yang tak mengindahkan nasihat dari papa dan ibuku yang selama ini selalu mewanti-wanti agar tidak lagi mendatangi tempat yang penuh dengan maksiat. Maafkan aku, Ma. Maafkan jika sikap anakmu ini mengecewakan mama. Maafkan aku, Agis, maaf sudah merenggut seuatu yang paling berharga dalam hidupmu. Ampuni aku ya Allah, aku bertaubat. Taubat yang sebenar benarnya taubat. Astaghfirullahal Ladzii Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyul Qayyuumu Wa Atuubu Ilaihi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD