Hancur

1019 Words
Aku sudah tak perawan. Kalimat itu terus saja membayangiku hingga mataku tak juga terpejam meskipun Alvin berkali-kali menggempurku untuk menuntaskan hasratnya. Dasar biadab, serigala tidak berperasaan. Semua caci maki rasanya tidak cukup aku layangkan pada pria bernama Alvin. Setiap kali bertemu dengannya kesialan selalu menimpaku. Apa salahku, Tuhan? Apa salahku hingga malam ini aku kembali bertemu dengannya dan berakhir tragis seperti ini? Lelah, remuk redam badan ini selaras dengan hatiku yang terasa hancur berkeping-keping karena kelakuan Alvin. Semua sudah hancur dan tidak ada satu pun yang tersisa. Jangankan harga diri, tenaga untuk bangkit pun tidak ada. Aku bagai sampai bungkus permen yang hanya tinggal dibuang oleh Alvin. Kenapa dia setega ini, apa salahku sampai dia berlaku kejam tanpa perasaan. Tanya itu terus saja mengiringi isak tangisku. Aku tahu semua sudah terlambat dan tangis ini tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi. Tangis ini tidak akan mengembalikan kesucianku yang sudah terenggut. Hanya saja air mata ini terus saja mengalir sembari memukul-mukul badanku yang terasa sangat kotor sementara pria b***t bernama Alvin itu malah terlihat begitu lelap setelah puas mencumbu dan menggagahiku. Pria yang begitu kejam yang menutup telinganya dari rintihan dan permohonan yang aku ucapkan berkali-kali agar dia berbelas kasih dan melepaskanku. Aku memang bersalah karena salah memberikan minuman untuknya. Kesalahan yang aku lakukan kali ini benar-benar fatal hingga ditukar dengan mahkota kesucian yang begitu aku jaga dan malam ini terenggut juga. Tuhan, aku kabur ke kota ini agar ibu tiriku tidak menjualku pada bandot tua yang kaya raya di Bulang Karang. Aku kabur dari rumah dengan harapan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada terpaksa menikah dengan bandot tua pilihan ibu tiriku. Namun, kota ini ternyata begitu kejam. Aku justru kehilangan apa yang selama ini kujaga secara percuma pada pria b******k di sampingku. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Ke mana lagi aku harus pergi? Sudah tidak ada lagi tempatku mengadu dan berkeluh kesah. Aku memang bukan lagi gadis suci, tapi aku pun tidak mau menjual diri dan terjebak dalam kehidupan malam di kota besar ini. Apa yang terjadi cukup sampai di sini. Jangan biarkan aku semakin terjebak di jalan yang salah. Tetap berada di klub malam ini benar-benar terlalu berbahaya untuk hidupku. Namun, aku tidak tahu harus ke mana lagi mencari pekerjaan yang begitu susah aku dapatkan hanya dengan mengandalkan selembar kertas ijazah SMK yang aku miliki. Ibu, seandainya kau masih di sini. Aku tidak akan ragu kembali padamu meskipun dalam keadaan yang begitu hina. Ibu, maafkan aku. Maafkan aku yang tidak bisa menjaga apa yang seharusnya aku jaga. Ini bukan mauku, Bu. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi hari esok sedang sekarang aku merasa diri ini bak sampah yang sudah tidak ada harganya. Aku hancur, hancur sehancur-hancurnya karena sebagai seorang wanita aku tidak lagi memiliki apa yang seharusnya aku banggakan untuk suamiku nanti. Ibu, rasanya aku ingin ikut saja denganmu agar bisa terbebas dari kejamnya dunia ini. Aku tidak mungkin pulang, Bu. Bapak terjebak banyak utang gara-gara istri barunya yang selalu berfoya-foya menghabiskan hartanya. Aku tidak mau pulang karena aku tidak mau menikah dengan pria yang pantasnya menjadi kakekku hanya untuk menutupi semua utang bapak dan istrinya. Aku harus bagaimana, Bu? Aku harus ke mana? Aku butuh ibu, aku butuh tempat bersandar untuk meluapkan tangisku. Aku kembali menyusut air mata yang terus saja mengalir dari kedua sudut mataku. Aku pun melirik Alvin yang begitu terlelap hingga sedari tadi dia tidak bergerak sama sekali. Di lantai aku melihat baju-baju kami berserakan. Sudah jelas pakaianku tidak bisa lagi aku kenakan karena Alvin merobeknya hampir di setiap bagian. Aku tidak mungkin terus menangis di tempat ini. Akhirnya, aku memaksakan kaki ini melangkah meskipun rasa pedih di organ intimku masih begitu terasa. Aku mengambil celana panjang, jaket dan T-shirt milik Alvin, pakaian yang bisa kukenakan untuk keluar dari kamar ini. Aku membawanya masuk ke kamar mandi. Mandi mungkin bisa membersihkan tubuhku. Namun, seberapa pun banyaknya air yang mengguyur tubuhku, rasanya aku masih saja merasa kotor, apalagi bekas merah cumbuan bibir Alvin terlihat jelas di bagian leher dan dadaku. Bekas yang sama sekali tidak bisa aku hilangkan meskipun aku sudah menggosoknya berkali-kali hingga kulitku terasa pedih. Akhirnya, aku hanya mampu menangis lagi dan lagi. Menangisi kemalanganku dengan duduk menekuk kaki di bawah guyuran shower. Pertemuanku kali ini dengan Alvin benar-benar berakibat fatal. Kalau dulu aku dipecat gara-gara menjatuhkan ponselnya. Kini aku harus kehilangan harta satu-satunya yang kumiliki gara-gara salah memberikan minuman untuknya. Aku tidak tahu kalau minuman bersoda yang aku bawa untuk Alvin itu mengandung obat perangsang. Aku tidak pernah berpikir ada orang yang benar-benar tega dengan sengaja mencampurkan obat perangsang ke minuman pasangannya. Sungguh, gadis itu beruntung karena malam ini dia bisa terbebas dari rencana jahat pria yang mengajaknya ke tempat ini. Keberuntungan yang justru membawa kemalangan untukku. Kemalangan yang membuatku kehilangan keperawanan. Setengah jam berada di kamar mandi saat dini hari seperti ini sepertinya cukup membuatku menggigil kedinginan, kini aku sudah rapi memakai celana panjang, T-shirt dan jaket milik Alvin. Aku keluar dari kamar mandi agar bisa secepatnya meninggalkan kamar ini. Namun, saat aku mengusap bokongku, aku baru sadar di dalam saku celana masih ada dompet milik Alvin. Aku mengeluarkan dompet dan memeriksa isinya. Tiga juta dua ratus, total uang tunai yang berada di dompet Alvin. Aku mengambil semuanya tanpa sisa, Alvin bisa menggunakan ATM atau pun kartu kredit miliknya. Aku mengambil semua uangnya bukan karena ingin merampok dia, bukan juga aku ingin meminta bayaran dari apa yang sudah dia lakukan padaku. Aku membutuhkan uang ini untuk biaya hidup selagi aku belum mendapatkan pekerjaan baru. Aku tidak mau terus bekerja di tempat seperti ini. Malam ini Alvin, bisa jadi malam-malam berikutnya aku menjadi mangsa orang lain, dengan atau tanpa kesalahan yang kuperbuat. Semua uang tunai Alvin sudah masuk ke dalam kantong celana, kini ponsel miliknya juga tak luput dari pandangan mataku. Ponsel dengan lambang buah apel yang digigit di ujungnya terus saja berkedip berkali-kali. Aku ingin mengambilnya, nama My sister tertera dilayar hingga ponsel itu berhendi berkedip dan aku kembali meletakannya di nakas, kemudian aku mengambil kertas dan pulpen yang berada tepat di samping ponsel milik Alvin. Biar aku tuliskan sesuatu agar dia tahu apa yang dia lakukan malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD