Impas

1023 Words
Tuan muda, Alvin. Aku masih ingat namamu, karena tragedi di mall itu membuatku benar-benar kehilangan pekerjaan. Pekerjaan yang begitu berarti untukku. Tidak mengapa, kemarin aku menganggapnya itu hanya kesialan yang terjadi karena sikap sembronoku. Aku terima dipecat meskipun saat itu aku sangat membutuhkannya. Namun, kejadian malam ini malah semakin membuat aku membencimu. Apa yang kamu lakukan malam ini membuatku tidak mungkin melupakan namamu, karena kamu adalah pria paling b***t yang tidak mendengarkan rintihan dan permohonan yang berulang kali aku ucapkan agar kamu melepaskanku. Kamu b*****h, kamu biadap, kamu makhluk paling kejam yang sudah membuat aku kehilangan harga diri dengan cara yang paling mengenaskan. Alvin, Ponselmu pecah dan aku tidak bisa menggantinya dan sekarang selaput daraku dirobek paksa olehmu. Kamu pun tidak akan bisa menggantinya dengan seluruh harta yang kamu miliki. Aku harap ini sudah impas. Tidak usah menagih apa pun padaku karena apa yang kau lakukan malam ini sudah lebih dari cukup membuatku sangat terhina. Aku harap kamu sudah puas melakukan hal keji pada wanita sepertiku. Aku harap cukup aku saja yang mengalami ini, tidak perlu kakakmu Wengi mengalami apa yang menimpaku karena ini sangat menyakitkan dan kamu tidak akan tega melihatnya terus merintih menyalahkan dirinya yang tidak lagi suci. Alvin, Aku memang bersalah karena memberikan minuman yang salah padamu. Minuman yang seharusnya aku berikan pada seorang gadis justru diminum olehmu. Aku menyelamatkan gadis itu dan aku yakin dia masih perawan karena justru aku yang kehilangan keperawananku. Tuan muda yang pongah dan arogan, Aku berharap ini adalah terakhir kalinya Tuhan mempertemukan kita. Aku harap setelah malam ini aku tidak akan lagi bertemu denganmu. Aku akan mencoba melupakan kejadian malam ini dengan sekuat jiwa dan ragaku. Meskipun aku tidak akan pernah memaafkanmu atas apa yang kamu lakukan malam ini. Cukup malam ini aku bekerja di tempat yang sebenarnya begitu berbahaya untukku. Setelah malam ini kamu tidak akan menemukanku di sini. Tidak usah merasa bersalah karena rasa bersalahmu tidak akan mengembalikan kesucianku. Aku juga minta maaf karena dengan terpaksa aku membawa semua uang dalam dompetmu. Aku membutuhkan uang ini untuk bertahan hidup selagi aku belum menemukan pekerjaan baru. Aku mengambil uangmu bukan karena meminta bayaran dari apa yang telah kamu lakukan malam ini. Sungguh, terlalu murah kalau kamu menganggap uang tiga juta ini bisa membayar keperawananku yang kamu renggut paksa dengan cara yang paling menyakitkan. Aku tidak akan memberikannya pada siapa pun kecuali pada suamiku. Namun, kini aku tidak bisa lagi berharap ada laki-laki baik yang akan mempersuntingku setelah apa yang kamu lakukan malam ini. Aku juga minta maaf karena terpaksa memakai pakaian milikmu karena seragam yang aku pakai sudah kau robek paksa hingga tidak mungkin aku keluar kamar ini dengan mengenakannya. Terima kasih untuk luka yang kamu torehkan malam ini. Jangan pernah mencariku karena aku tidak akan pernah muncul di hadapanmu. Dari Fitri Agisti, gadis yang sudah kau nodai. *** Aku melipat surat yang sudah aku tulis di bawah ponsel milik Alvin. Surat yang penuh lelehan air mata dan aku tidak tahu apa Alvin bersedia membacanya atau tidak. Yang penting aku sudah meninggalkan jejak agar dia selalu ingat kalau malam ini dia menyakiti Fitri Agisti dengan perbuatan yang paling keji. Aku yakin saat dia terbangun dan membacanya, aku sudah jauh meninggalkan tempat ini. Terakhir kali aku melirik Alvin yang masih terlelap tanpa bergerak sedikit pun. “Biadab!” umpatku tanpa tenaga sebelum berjalan tertatih keluar dari kamar tepat pukul dua dini hari. Lorong tampak sepi, semua pintu tertutup. Bagaimana dengan penjaga di depan sana. Ragu-ragu aku mengendap untuk melihat beberapa penjaga yang duduk di depan lift. Keberuntungan kali ini berpihak padaku karena dua penjaga yang duduk di meja depan pintu lift tertidur sehingga aku tidak perlu malu untuk menyapa mereka dan tidak perlu juga aku menjawab satu dua pertanyaan yang mungkin mereka layangkan. Aku menekan tombol untuk menuju lantai dasar agar bisa langsung menuju kamar ganti para pekerja. Aku tidak mau melewati para pengunjung yang biasanya semakin malam akan semakin ramai. Saat aku keluar lift, aku berpapasan dengan Dara, teman satu sekolahku di SMK Negeri Satu Bulang Karang yang mengajakku bekerja di tempat ini. “Agis, kamu dari mana saja, semua tadi mencarimu?” tanyanya dengan memicingkan mata melihat penampilanku yang semraut. “Kemana seragammu? Baju siapa yang kamu pakai,” sambungnya kembali bertanya dengan mengikuti langkah kakiku menuju loker tempat aku menyimpan tas dan baju. “Agis, jawab akum berhenti dulu.” Dara menahan lenganku hingga mau tidak mau aku membalas tatapan matanya. “Kamu kenapa?” tanyanya dengan tatapan miris menyadari aku tidak baik-baik saja. “Minuman yang Andrew berikan itu salah, itu minuman untuk gadis di meja nomer sepuluh lantai satu, bukan nomer sepuluh lantai dua. Minuman yang sudah dibubuhi obat perangsang, tapi aku tidak tahu siapa yang melakukannya. Hanya saja minuman itu sukses membuatku hancur lebur seperti sekarang. Aku mau pulang, tolong sampaikan kalau aku berhenti bekerja di sini,” ujarku sebelum kembali melangkah menuju loker. Dara menutup mulutnya, dia kembali menghentikan langkahku dan memelukku. Namun, tidak ada setetes air mata pun yang jatuh dari kedua bola mata ini. Aku tidak ingin menangis lagi. Semua sudah terjadi dan menangis tidak akan membuat keperawananku yang telah hilang kembali lagi. “Agis, maafkan aku. Aku salah membawamu ke tempat ini,” sesal Dara yang masih memelukku. Aku mendorong perlahan tubuhnya hingga pelukan kami terlepas. “Kamu tidak salah, aku yang ceroboh. Maafkan aku tidak bisa lagi bekerja di tempat ini. Aku pulang duluan, sampaikan permintaan maafku pada bu Regina,” pesanku sebelum membuka loker untuk mengambil tas yang berisi baju dan meninggalkan Dara yang masih terisak di tempatnya berdiri. “Agis, aku minta maaf.” Aku diam saja, aku sudah lelah dan tidak berniat membalas satu pun ujaran maaf yang Dara ucapkan. Saat aku tiba di pintu keluar, teriakan Dara menjerit memanggil Andrew pun terdengar. Namun, aku sudah tidak peduli apa yang terjadi di tempat ini setelah kepergianku. Aku sudah cukup lelah. Lelah dengan takdir yang seolah sedang mempermainkanku. Takdir yang menjadikan aku tokoh teraniyaya sejak kepergian mendiang ibuku. Semoga takdir kini berbaik hati dan tidak akan pernah mempertemukanku dengan pria bernama Alvin. Semoga apa yang terjadi malam ini tidak menyisakan benihnya agar tidak perlu ada yang tersisa antara aku dan dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD