Salwa

1009 Words
Seorang wanita muda dengan pakaian gamis syar’i terlihat berdiri di tempat parkir klub malam. Pakaiannya terlihat kontras dengan tempat yang dia datangi. Dia juga terus menerus menghubungi seseorang dengan ponselnya. Namun, berkali-kali orang yang dia telepon tidak juga mengangkat panggilannya. “Ya Allah, Mas. Sampeyan ke mana, aku butuh kamu,” gumamnya seraya terus menekan-nekan layar ponsel. Badannya pun mondar-mandir tidak jelas. Ke sana kemari sambil terus berharap seseorang yang sedang dia hubungi mengangkat panggilannya. Ah, menyesal sudah tiada guna. Nyatanya dia memang terlalu gegabah mengambil keputusan. Datang ke klub malam tanpa berpamitan pada siapa pun membuatnya harus dilanda kebingungan macam ini. Dia ingin menelepon salah satu nomor sopir di rumah besar tempatnya bekerja, tapi tengah malam begini semua nomor tidak aktif. Kak Wengi, dia mengetik nama tersebut. Namun, jemarinya justru kembali mengunci ponselnya. Dia tidak mungkin meminta dijemput Nona muda di sebuah klub malam. Kalau hal itu terjadi dia hanya akan membuat malu bibi dan mamangnya. Satu-satunya harapan adalah minta tolong pada Alvin-sang tuan muda yang bucin akut padanya. Tuan muda yang selalu bersedia melakukan apa pun yang dimintanya meski dia hanya pembantu di rumah besar sang tuan muda. “Bodoh,bodoh. Bodoh.” Ah, wanita muda itu kembali meruntuki kepolosan dan kebodohannya dengan terus mengetuk dan kening menggunakan telunjuknya. Kenapa dia mau saja diundang untuk menghadiri pesta perpisahan sekolah yang diadakan salah satu temannya tanpa bertanya dulu dimana tempat pesta diadakan. “Salwa, kok di sini. Nunggu siapa?” Salwa mundur teratur, tiga orang pemuda gagah dan rupawan berdiri di hadapannya. Awas dia memindai satu persatu wajah dari ketiga pemuda, tapi saat mengenali kalau mereka adalah sahabat dari Alvin, tuan muda pemilik rumah di mana Salwa bekerja bersama sang Bibi yang menjadi asisten rumah tangga di sana. Salwa pun bisa menghembuskan napas lega. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Akhirnya ketemu mas Ibra,” ujarnya sembari mengusapkan telapak tangan ke wajah. Alvin beberapa kali membawa Ibra, Martin dan Louise ke rumahnya hingga Salwa pun mengenali mereka. “Ya Allah, beruntung banget ketemu mas-mas di sini. Aku sudah telepon mas Alvin berkali-kali sejak satu jam yang lalu, saat aku masih di dalam sana, tapi si mamang tidak mengangkat satu pun panggilanku. Aku mau pulang, aku tidak mau terus berada di dalam. Bau alkohol dan aneka minuman itu terasa memuakan,” beber Salwa dengan mata yang kini sudah tampak berkaca-kaca. “Memangnya kamu ke sini sama siapa?” Martin kali ini bertanya sembari memundurkan badannya karena takut bau alkohol dari mulutnya tercium oleh Salwa. Setidaknya Martin tahu kalau sang tuan muda menaruh rasa pada gadis muda yang bekerja di rumahnya. “Aku dijemput teman satu kelas buat ngehadirin pesta ulang tahun sekaligus pesta perpisahan angkatan kami, tapi sumpah aku tidak tahu kalau acaranya di tempat maksiat seperti ini. Apalagi kebanyakan dari mereka malah mabuk, aku sudah tidak betah dan mengajak temanku pulang, hanya dia tidak menggubris. Makanya aku lebih baik keluar buat telepon Mas Alvin dan minta dia jemput aku di sini.” “Ya Tuhan, pantas saja Alvin memilih batal ke Aussie. Bisa jadi alasan dia itu bukan karena Kak Wengi, tapi karena pacarnya yang polos model begini,” gumam Louise lirih. Tentu saja kedua temannya yang lain menyetujui ucapan Louise meskipun tanpa gerakan dan suara. Mereka hanya tidak menyangka kalau Salwa yang berjilbab masuk ke dalam klub malam dan parahnya hampir tengah malam begini dia justru memilih berdiri di tempat parkir yang sudah sangat jelas terlalu berbahaya untuknya. “Aku antar kamu pulang,” putus Ibra mengalah karena dia sudah memastikan kalau dirinya yang paling tidak berbau alkohol di antara Martin dan Louise. “Memangnya Alvin tidak ikut kalian?” tanya Salwa yang membuat ketiga teman Alvin saling pandang. Satu lagi hal yang membuat mereka semakin miris, masa iya Salwa tidak tahu kalau kini dirinya berdiri di samping mobil sang tuan muda. Meskipun mereka tahu kalau bukan hanya ada satu mobil di garasi besar rumah Alvin, tapi mobil itu lah yang selalu dibawa Alvin kemana pun. “Sudah kamu ikut Ibra pulang saja, dia tidak bau alkohol kok. Lagian rumahnya juga searah sama kamu,” bujuk Martin. “Yuk, aku antar kamu pulang. Di sini terlalu bahaya, Wa. Lain kali kamu tanya dulu kemana teman kamu mengadakan party. Atau setidaknya lebih baik kamu minta antar salah satu sopir,” sambung Ibra yang juga berusaha membujuk Salwa. “Aku tidak merepotkan?” Ragu-ragu Salwa menatap Ibra. “Tidak, ayo,” ajak Ibra yang langsung berjalan menuju mobilnya. Akhirnya Salwa pun menyerah dan menerima tawaran Ibra untuk diantarkan pulang. Tentu tidak mungkin dia terus berada di sana dengan harapan Alvin segera mengangkat teleponnya. Salwa memang salah memaksa pergi ke tempat ini tanpa sopir, dia benar-benar terlalu bodoh percaya saja dengan Tasya dan Maudy. Padahal mereka berdua teramat sering mengerjainya di sekolah. Namun, Salwa tidak juga berprasangka buruk saat keduanya mengajak untuk datang ke acara Satria. Dia pikir pesta perpisahan biasanya diadakan di sekolah atau minimal disebuah kafe atau rumah makan bukan di klub malam seperti ini. Salwa mengikuti langkah Ibra menuju mobil warna merah. Ibra membukakan pintu untuk Salwa, pacar dari sahabatnya yang dirahasiakan dari seisi rumah keluarga Bramantyo. Hanya mereka saja yang tahu kedudukan Salwa di hati Alvin. Tentu tidak mudah buat Alvin membuka semuanya di hadapan Ibunya Wati dan papanya Bram. Salwa hanya seorang asisten rumah tangga yang dibesarkan keluarganya, dibiayai untuk sekolah dan sekarang malah dipacari oleh sang tuan muda. Ah, sungguh susah dicerna logika, tapi memang seperti itulah pilihan Alvin, mencintai gadis desa yang sudah membuatnya tergila-gila. Setelah Salwa masuk dan duduk, Ibra pun berputar untuk segera duduk di belakang kemudi. Lega rasanya, Salwa bisa menjauh dari tempat yang penuh maksiat di dalamnya. Kini dia harus semakin berhati-hati dengan ajakan dari teman-temannya. Bukan untuk berburuk sangka, tapi lebih kepada memproteksi dirinya agar kejadian seperti ini tidak kembali terulang. “Alvin kemana ya, kok tumben dia tidak ikut kalian, padahal aku tahu habis salat isya dia pergi,” gumam Salwa begitu lirih. Ibra mendengarnya, tapi tidak mungkin dia menjawab kalau Alvin sedang berada dalam satu kamar hotel bersama wanita lain. Itu tentu saja akan menyakiti hati Salwa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD