Penemuan

1149 Words
Dari panggung atas, tampak orang- orang berkelompok, berbisik- bisik dengan keadaan penjaga batas yang kusut tak berbentuk itu. Bagaimana tidak? Ia datang dengan napas sesak yang keras berbunyi –pertanda ia sudah berlari jauh sejak tadi –lalu bila diamati pula dekat- dekat, pada baju dan sepatunya tak setakat hanya lumpur coklat saja yang menempel. Tapi juga dárah yang sudah mengering. Namun tak begitu nampak kesannya sebab darah itu sudah lama kiranya menempel di badannya sejak ia berlari dari batas sungai, hingga sudah tampak menyatu saja dengan bekas lumpur. Syahidah dan Nilam saling memandang, sebab jarang benar ada kabar penemuan tubuh semacam itu di Sepinang. Seumur- umur mereka, tiada pernah terjadi malah. “Menyeramkan betul, apalagi ini di hari helat negeri kita,” bisik Syahidah pada dayang yang duduk di dekatnya. “Apa gerangan yang tengah terjadi? Menurutmu bagaimana, Nilam?” Nilam sendiri sama terkejutnya dengan Syahidah, tapi ia menggigit- gigit bibirnya dengan perasaan tak menentu. Ia berfirasat akan sesuatu. Baru sekali ini. “Entahlah, Engku. Duga saya, bila bukan karena angkatan muda yang terbunuh itu ada masalahnya sendiri, tentu bisa pula karena ada yang membenci para prajurit.” “Atau bisa pula kemungkinan buruknya orang luar yang melakukan itu sebab ingin meruntuhkan Sepinang.” “Apa yang menyebabkan Engku Putri berpikir sebagai begitu?” Syahidah mendekatkan duduknya pada Nilam, lalu ia pun berbisik lagi. “Aku sungguh ingin tahu dengan keadaan di istana sebelum kebakaran terjadi. Tahukah engkau, Nilam, wajah Ayahanda dan Kakanda Yazid memang bagai menghadapi masalah pelik sebelum kebakaran gudang terjadi.” Nilam yang mendengarkan dengan seksama, mengangkat tangannya ke mulut. “Saya harap, Engku Putri tak lagi mengendap- endap di dekat balai pertemuan, semacam masa kita kecil dulu?” Syahidah menyunggingkan senyum manisnya penuh arti. “Astaga, bagaimana bisa, Engku? Takkanlah balai itu dijaga pengawal selalu, setahu saya?” “Nah, baiknya tak perlulah kita berpanjang- lebar bercerita tentang bagaimana caraku mendekat ke balai, Nilam. Aku yakin engkau tiada perlu benar dengan perkara yang demikian,” ujar Syahidah, “Walau begitu, dari yang aku dengar, ada beberapa kali Sri Raja Pulau Besar dibicarakan.” Wajah Nilam mengerut. “Saya jadi berpikir apakah Pulau besar terniat untuk merebut Sepinang lagi, Engku.” “Pandai engkau, Nilam! Aku pun terpikirkan begitu. Kau tentu juga ikut membaca kisah- kisah moyangku yang bergulung- gulung di ruang baca? Ada satu- dua yang kuingat, dan aku tahu persis bahwa gulungan itu juga mengisahkan beratnya perjuangan kita dahulu untuk bisa keluar dari genggaman Pulau Besar.” Sementara Syahidah dan Nilam asyik berdua, laporan tadi hanya terdengar di sekitaran Yazid, Syahidah serta di antara beberapa anggota kerajaan yang sudah tua, sehingga  sang putra tertua langsung mengabari Ayahandanya tentang berita ini. Ia mendekat dan membisikkan pasal itupada Baginda Syamsir Alam –dan serta merta pembawaannya yang berwibawa itu langsung mengeras. Jelas ia juga memikirkan kemungkinan- kemungkinan sebab pembunuhan dan ditemukannya jasad itu. Beliau pun menghentikan pertandingan sepak raga sejenak. Ia khawatir bila pembunuhan ini akan membahayakan penduduk negerinya, walau kecemasan itu tiada ia utarakan langsung. Baginda hanya meminta penghentian permainan untuk seharian itu, menyuruh warga Sepinang kembali ke rumah masing- masing, lalu berdiam di rumah mereka hingga masa pertandingan dimulai lagi esok pagi, bahkan walau itu kepala keluarga sekalipun. Usai memberikan perintahnya, dengan wajah ketat Syamsir Alam lalu berbincang sejenak dengan anaknya itu beserta Panglima Gafar yang juga duduk di atas panggung. Yazid pun disertai sang panglima dan beberapa prajurit nan bertanding tadi –termasuk Alif –turun dari lapangan gelanggang. “Engkau ikut, Badruddin?” tanya Yazid yang sempat melirik sekilas pada adiknya itu. Badruddin, tampak tiada terpengaruh dengan kabar itu, melainkan terus memandang keramaian nan terus menyusut di depan matanya dengan dagu tinggi. “Aku rasa itu tergantung Kakanda Yazid, betul?” katanya. “Aku tak ingin merongrong kerja Kakanda, dan sudah berkali- kali Kakanda menegurku sebab kerana itu, bukan? Bila Kakanda mengizinkan, aku akan ikut. Tapi bila aku tiada dianggap ikut campur, aku akan turut menghadapi masalah ini.” Sudut bibirnya naik, menyindir. Mata Yazid memandang adiknya tajam, walau wajahnya masih diam lagi tenang. “Kali ini engkau kuperbolehkan datang dan ikut bersamaku, Badruddin. Ini masalah yang mendesak, dan bisa pula ini menyangkut keberlangsungan negeri Sepinang. Lagipula, bila ditilik benar, memang engkau seharusnya ikut, adik. Engkau selama ini bertanggung jawab untuk pelaksanaan jual beli, urusan upeti, Pasar Induk serta keamanan. Dan ini jelas mengenai keamanan wilayah kita, jadi engkau tak perlu minta izin padaku.” Badruddin duduk dalam diam, dan tak lama ia pun bangkit berdiri mengikuti Kakandanya. Baginda sementara itu mengajak anggota kerajaan yang masih di atas panggung –terutama yang sudah sepuh usianya –untuk kembali ke istana dan rumah kebesaran. “Anakku Syahidah, mari kita kembali ke istana,” gumam Baginda dengan raut cemas. “Sepertinya keadaan sekarang ini begitu rawan, sehingga kita semua perlu berjaga- jaga untuk keselamatan diri kita hingga ada kabar pasti malam nanti dari Gafar dan kakakmu.” Syahidah menundukkan kepalanya penuh penghormatan. “Baik, Ayah. Namun izinkanlah aku berada di sini sebentar lagi. Aku takkan lama, sebab begitu selesai dengan satu- dua hal, aku akan segera kembali.” “Ya, baiklah. Asalkan engkau selalu bersama dayangmu. Aku akan meminta satu kusir beserta kereta istana untuk menunggui engkau di sini. Jangan berlama- lama dan kembalilah pulang secepatnya.” *** Begitu kelompok para lelaki menjauh, Syahidah dengan cepat menangkap pergelangan tangan Nilam dan memegangnya kuat- kuat. “Nilam, maukah engkau mengawankan aku sekali ini?” Dayang Nilam menatap Engku Putrinya itu sesaat, dan tahulah ia apa yang ada di pikiran gadis raja di depannya itu. “Apa Engku berniat hendak pergi ke sana? Ke tempat mayat itu ditemukan?” “Benar, Nilam. Aku dapat menunggu saja di istana dan menunggu kabar dari Kakanda Yazid. Namun aku yakin beliau tak akan menberitahuku siapa yang sudah menemui ajalnya di aliran sungai itu. Beliau orang yang sangat berhati- hati.” Nilam termenung dengan ragu. “Engku, saya rasa Baginda ada benarnya. Tidakkah terlalu rawan bagi kita untuk pergi kemana- mana setelah penemuan jasad tadi? Mesti Baginda menduga itu pembunuhan, dan Baginda pasti punya alasan kuat menyuruh kusir kereta istana menunggui kita di sini. Engku, menemani Engku ke tempat itu berbeda dengan pergi ke dermaga.” “Ayolah, Nilam. Aku jamin kita tak akan berlama- lama di situ. Sekedar mencari tahu siapa dan apa yang terjadi padanya, lalu kita pulang. Perkara kusir yang menunggui, kita bisa berkata padanya kalau kita hanya sekejap lagi di sini.” Sebenarnya Nilam juga ingin tahu siapa yang telah ditemukan merapung di hilir sungai. Sebagaimana firasatnya tadi, ia sudah mengira- ngira orang yang menjadi jasad itu, tapi ia tak ingin berprasangka. Rasanya ia juga masih tak percaya bila orang yang ia kira itulah ternyata adanya. “Ayo,” kata Syahidah sambil mengguncang lengan Nilam yang sudah ia pegang dengan erat tadi. Dayang itu mengangguk, lalu bergegas melewati kerumunan orang- orang yang meninggalkan lapangan –lantas mereka berbelok ke arah Yazid dan yang lainnya menghilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD