Fajar menyambut pagi yang cerah di Sepinang. Sebelum semburat jingga menghias langit, orang- orang di negeri itu sudah tampak sibuk, apalagi di sekitar lapangan negeri yang hendak dipakai untuk acara perhelatan Sepinang. Tak pelak lagi bahwa helat yang dimaksud adalah acara gelanggang, yang tiap tahun diadakan. Acara itu berupa permainan- permainan khas Melayu yang dipertandingkan hingga beberapa hari lamanya. Semua masyarakat diikutkan dalam gelanggang tersebut, tentunya selain permainan yang terkhusus untuk anggota keistanaan atau prajurit sahaja. Tiada yang boleh bekerja di hari gelanggang, sebab Raja sejak dulu kala telah menitahkan pada masyarakatnya untuk ikut memeriahkan keramaian itu.
Sejak pagi, asap- asap sudah mengepul dari tungku penjerangan rumah- rumah yang berderet di sepanjang garis Pulau Sepinang. Mereka telah bersiap- siap, entah itu wanita yang menyiapkan perbekalan bagi suami atau anak mereka, atau para lelaki yang telah melatih badan mereka agar bisa bertanding. Nama mereka sudah didaftarkan jauh- jauh hari, dan tinggallah hari ini dan beberapa hari berikut yang harus mereka menangkan.
Ketika fajar berangsur naik, orang- orang pun mulai berduyun- duyun datang ke lapangan negeri. Begitu terus hingga akhirnya berdesak- desakanlah isi lapangan itu dibuatnya. Di sana sudah dibangun sebuah panggung besar lagi kokoh letaknya, tempat Baginda beserta anggota kerajaan akan duduk menyaksikan acara. Panggung itu juga menjadi tempat para pemangku adat, Imam, dan Syaikh negeri berada. Tentulah Baginda tiada menonton semua permainan, sebab beliau hanya menyaksikan satu dua pertandingan awal. Namun melihat panggung nan besar itu, dapatlah kiranya ia menampung hingga tiga hingga empat puluh orang yang duduk bersama di sana.
Pada waktu yang sudah ditentukan, terompet tanda acara bermula pun ditiup. Biasanya para peniup hanya menghembus terompetnya nan dari cangkang binatang laut itu hanya untuk masa peran, namun sejak Sepinang mulai terlepas dari Pulau Besar dan hidup damai, terompet itu juga ditiupkan pada penanda hari- hari besar. Setelah penanda itulah, baru Baginda beserta keluarga akan naik ke atas panggung. Mereka diiringi oleh para pemegang payung iram berjumbai- jumbai emas hingga semua anggota kerajaan berada di panggung itu. Terkhusus Baginda Syamsir beserta ketiga anaknya dan istri Yazid Alam, mereka mengenakan pakaian kebesaran hari Raya yang juga berwarnakan merah dan kuning keemasan. Terdapat pula bagi mereka ini sebuah kursi besar berukir selama gelanggang diadakan.
Sebagaikan biasa, Raja Syamsir membuka gelanggang itu. Ada kaji Al- Quran oleh Syaikh El- Beheira serta doa dipimpin oleh beliau agar beberapa hari ke depan diberi kelancaran. Baginda menyampaikan sepatah- dua patah katanya, kemudian dilanjutkan dengan pengucapan pembukaan oleh Raja. Namun kali ini Syamsir Alam menyampaikan pembukaannya dengan lebih panjang dari biasa. Beliau ucapkan kata yang biasa di gelanggang di tahun- tahun sebelumnya, namun beliau juga menyampaikan sebuah pengumuman tambahan.
“Sejak tahun ini, saya bersama Syaikh El- Beheira telah memutuskan bahwa perlu sekali bagi kita untuk memperdalam agama kita sendiri, Islam,” kata Baginda dengan suara yang menggelegar. Semua diam dalam khidmat mendengarkan.
“Saya akan membebaskan hari Juma’at untuk seluruh penduduk Sepinang dari pekerjaan mereka. Bila bapak bersawah atau berladang, maka tinggalkan sawah ladang itu di hari Jumat. Bila hendak menangkap ikan di laut, simpanlah sejenak jaring itu di rumah. Bila suka berdagang, jangna kembangkan dulu barang- barang di tikar pasar. Sebab hari Jumat adalah hari istimewa, hari kita mesti berjamaah sekali dalam sepekan. Saya dan Syaikh El- Beheira berpendapat, alangkah lebih bagusnya hari Jumaat itu kita pokokkan perhatian kita pada peribadatan kita pada Allah. Kami telah menentukan bahwa di Masjid Besar kita, akan diadakan pengajian ilmu Islam setiap hari Jumaat itu, dan hendaknya bapak membawa serta pemuda dan anak- anak lelaki kalian, agar ilmu agama ini terus bersambung –tiada terputus. Kita habiskan sehari itu untuk belajar tentang apa- apa yang disukai dan diperintahkan Pencipta kita, dan kebenaran tentang ibadah kita selama ini. Bila ada timbang keraguan, boleh pula ditanyakan dalam pengajian ini.”
Terdengar gumam- gumam setuju di antara penduduk Sepinang.
“Dan karena dalam sebulan ada empat kali Jumat, maka saya akan meringankan upeti yang tiap keluarga berikan pada istana karena berkurangnya hari bekerja ini. Penagihan upeti akan diringankan dari tiga kali setahun menjadi dua kali dalam setahun, dan perihal ini akan terus diawasi putra saya, Badruddin,” kata Baginda sembari menoleh pada anak bungsunya.
“Dan untuk para puan, gadis, ibu- ibu yang sibuk dengan pekerjaan rumah dan mengasuh anak, saya juga akan memberi waktu lain untuk pengajaran Islam ini. Perempuan adalah madrasah pertama keluarga, tempat anak bertanya dan belajar. Agaknya pengaturan jadwal baru bisa saya putuskan sebulan setelah pengajian lelaki berjalan, dan ibu- ibu tidak perlu risau sebab saya yakinkan bahwa tiada seorang pun yang akan ketinggalan dalam menuntut ilmu dibandingkan para lelaki. Pengajian untuk perempuan akan langsung diaturkan oleh anak saya, Putri Syahidah.”
Syahidah yang duduk dengan Nilam –agak di belakang Baginda –tersenyum dalam anggukannya. Senang benar ia dengan keputusan Ayahandanya itu, sebab itu artinya tak lain Syaikh El- Beheira benar- benar memikirkan masak- masak keluhannya dulu dan merundingkan dengan Ayahandanya.
“Demikianlah tambahan pengumuman dari saya, dan saya rasa itu sudah seadil- adilnya putusan. Harap seluruh penduduk Sepinang menjalankan titah yang diberikan. Dan dengan mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim dan rahmat Allah yang berlimpah, kita buka acara gelanggang negeri ini.”
Baginda Syamsir berdiri sembari merentangkan tangan, lalu dari arah bawah kedua sisi panggung, muncul beberapa pemuda ahli beladiri yang menunjukkan kemampuan mereka berpencak silat. Mereka menggunakan sebenar belati dan pisau keris di pinggang, dan tatkala pertunjukan pencak silat dimulai, terdengar tabuh- tabuhan gendang dan suling bernyanyi merdu mengiringi. Ada pula musik kompang celempong dan marwas gambus.
Begitu musik dimulai, Baginda pun kembali duduk di kursi kebesarannya. Beberapa gadis berselendang –yang tak lain adalah pekerja dapur istana –membawa talam dengan tempat- tempat perak berisi daun sirih, kapur, dan gambir. Selama pertunjukan, seluruh anggota kerajaan akan disuguhi talam itu satu demi satu dimulai dari Baginda, kemudian anak tertua –Yazid –dan seterusnya, dan dipersilakan mengunyah sirih. Di sisi lain, beberapa pekerja dapur juga menating nampan berisi minuman dan makanan bagi mereka.
Ketika para pelayan dapur istana mulai bergerak lambat menuju Tuanku Putri Syahidah, tersenyum tipislah salah satu dari gadis pembawa talam. Ia melihat sekilas pada Syahidah dengan terpesona selagi Syahidah mengambil sirih dan kapurnya.
“Maafkan bila saya teramat lancang pada Tuanku Putri. Tapi sungguh bukan kepalang, luar biasa cantiknya Tuan Putri hari ini,” pujinya.
Syahidah tersenyum, begitu pula Nilam. “Tentulah demikian. Bila disanding- sandingkan dengan matahari yang cerah bersinar sekarang, tentu tiada ada yang dapat menandingi cahaya wajah Engku Putri Syahidah kita ini,” kata sang dayang.
Namun bila kita tengok benar dan tilik sosok Syahidah, memang patut ia mendapat pujian. Syahidah mengenakan baju kurung kuning cerah yang longgar, dengan benang- benang emas menghiasi tepinya. Sebentuk penutup dadá yang berat bertingkat- tingkat senada sekali merah warnanya dengan selop yang ia pakai. Dan selendang sutra yang ia pakai juga berwarna merah agak tua, dengan benang emas yang membentuk wajik. Selendang itu –tak lain dan tak bukan –adalah pemberian Hamid Yusuf dulu, ketika mereka bertemu untuk kedua kali. Dan elok parasnya juga makin tampak ketika pipi pauh dilayang itu bersemu oleh hangat pagi. Lengkap benar cantiknya ia!
“Amboi, Nilam! Manis betul semacam gula perkataan engkau. Nah, ambillah sirih engkau Nilam, biar kulihat lesung pipit engkau yang sedap itu saat mengunyah sirih.”
Para gadis pelayan dan Nilam tertawa, namun dikerjakan Nilam jugalah apa yang dikatakan Engku Putrinya itu.
***
Permainan diawali dengan sepak raga yang dimainkan anggota hulubalang kerajaan. Mereka hanya membuka permainan itu, sebab para prajurit itu hanya lima orang dan membentuk bulatan –termasuklah Alif Samudera di dalamnya. Nanti untuk pertandingan, calon angkatan muda merekalah yang akan saling melawan satu sama lain.
Salah satu dari mereka melambungkan bola rotan, yang dalam sekejap ditahan oleh kaki Alif. Ia juga melambungkannya beberapa kali, lalu mengarahkan pada pemain lain setinggi mungkin.
Tepat ketika pandangannya dan Syahidah beradu.
Pemuda berkulit kuning langsat itu tersenyum sedikit pada gadis pujaan hatinya, lalu kembali melihat ke arah kawan di seberangnya yang sedang menendang bola rotan ke atas.
Aduhai apa daya yang bisa Syahidah lakukan selain menundukkan kepala? Tak kurang rasa malunya sebab beradu mata dengan Alif, terlebih lagi tadi ia sempat membayangkan Alif itu sebagai Yusuf.
“Engku tersenyum- senyum seorang,” kata Nilam yang asyik memperhatikan.
“Tidak. Aku hanya—“
Namun kata- kata Syahidah terputus sebab dari ketinggian panggung ia dapat melihat ada seorang penjaga perbatasan kerajaan yang berbaju lengkap –tapi baju itu kotor oleh lumpur. Ia tampak tergopoh- gopoh menuju bagian belakang panggung.
Tak hanya Syahidah, namun semua yang ada di panggung dan para penduduk yang berkerumun di bawah pun tampak memperhatikan penjaga yang setengah berlari itu. Begitu sampai di bagian belakang, ia memberi salam hormat lalu mendekati Yazid dan Panglima Gafar.
Dari tempat duduknya yang tak seberapa jauh, Syahidah daapt mendengar si penjaga itu berbisik.
“Ada mayat yang ditemukan mengambang di hilir sungai menuju laut, Tuanku. Dari pakaiannya, saya yakin benar dia angkatan prajurit muda.”