Malam Itu

1224 Words
Tempat istirahat dan penginapan para calon prajurit muda memang sungguh luas. Kiri kanannya tanah kosong, sedang bangunannya sendiri bersendikan batu- batu, dengan dinding kayu. Kala itu malam sudah turun menyelimuti Sepinang dengan kepekatan biru menghitam. Hari pun baru lepas Isya, namun sebagian besar angkatan muda itu sudah berehat tidur disebabkan lelah dengan pelatihan seharian ini. Nyenyak benar tidur mereka, sampai- sampai kawan mereka yang masih terjaga dan bergelak tawa di luar penginapan tak sedikitpun mengganggu mereka dari hanyutan mimpi. Tapi ada seorang –hanya seorang saja –yang tampak duduk menyendiri di dekat pintu keluar. Pemuda itu tak lain adalah Zainal. Ia duduk bagai membeku, sedang matanya terus menatap kawan- kawannya yang masih terjaga itu dengan pandangan hampa. Zainal memang tampak berlain dari dirinya yang biasa. Dalam bayang- bayang api unggun, wajahnya terlihat begitu pucat sebab sudah dua malam ini tak dapat tidur. Matanya cekung ke dalam, dan tubuhnya layu saja seperti orang habis sakit. Berbeda benar dengan perawakannya yang dulu gempal berisi, serta kuat penuh tenaga. Sebab perubahannya ini tak lain juga karena sebab perbuatannya sendiri. Semenjak ia mendapatkan perintah yang janggal itu, ia gelisah sekaligus takut hingga tak mampu terlelap di malam hari. Emas sekantung tak dapat menjadi penawar rasa takut itu, apalagi ia baru bertemu lagi dengan Tuanku Badruddin lagi sejak kejadian itu. Berita yang beliau sampaikan sungguh buruk, dan Zainal paham benar bahwa dirinya kini tak lagi aman. Ia juga sudah semampunya menghindarkan bahaya yang ditakuti itu. Malam sebelumnya ia mengendap- endap ke ruang senjata –tempat para angkatan muda menyimpan senjata mereka selama masa pelatihan –dan mematahkan cukup banyak hiasan pangkal pedang secara acak. Tak ada yang bisa tahu tindak lakunya di malam kebakaran gudang itu bila memang hiasan pedang itulah buktinya. Dan yang paling pasti, kelima orang yang berkeliaran di malam yang sama pun telah ia patahkan pula hiasan pangkal pedang mereka. Tapi Zainal sama sekali belum merasa aman. Pagi tadi, ada pemeriksaan khusus barang- barang yang diawasi oleh salah seorang prajurit yang ia kenal handal. Zainal yakin pula bahwa prajurit itu adalah salah satu kepercayaan Tuanku Yazid. Pemeriksaan itu berdalih alasan bahwa sebelum gelanggang negeri dibuka esok hari, angkatan muda harus memiliki kelengkapan alat yang cukup serta dipastikan tak ada yang membawa benda tajam yang tak diperbolehkan. Ini karena mereka tak hanya turut serta dalam permainan –tapi juga turut menjaga keamanan helat negeri itu. Namun, alasan itu sekedar mengada- ada saja bagi Zainal, karena suatu perasaan ganjil telah lebih dulu merasuki dirinya. Bahwa ia akan segera diadili sebentar lagi. Zainal beranjak dari duduknya, melewati kawannya yang tengah riuh ramai bercakap. “Saya keluar sebentar,” katanya. “Kemana engkau Zainal?” tanya salah satu dari mereka. “Cari angin sekejap.” “Ha, cepatlah engkau balik nanti, sebelum jam malam kita dimulai. Jangan sampai kita dicap membuat masalah di malam sebelum helat negeri.” Zainal mengangguk dalam diam, seraya berlalu dari gerombolan pemuda itu. Ia kelilingi istana sejenak, mulai dari beranda samping, lalu berbelok di jalan kecil depan rumah- rumah kebesaran keluarga, gerbang depan, sampai ke dekat tempat kandang kuda. Zainal tak menyadari bahwa kini ia tengah melangkah menuju dapur istana bila bukan karena suara yang menegurnya di malam itu. “Zainal?” panggil suara gadis. Ia memegang lentera di tangan, memandang pemuda itu dengan wajah mengerut heran. Zainal sempat terkejut, hingga sesak napasnya karena keterkejutan itu. “Engkaukah itu, Nilam?” “Apa yang engkau lakukan di sini? Mengapa terkejut begitu?” “Engkau sendiri tengah mengapa?” “Aku baru saja dari dapur. Nah, engkau sendiri apa yang kau lakukan, berjalan- jalan di malam buta?” Zainal meredakan debar jantungnya yang masih cepat. Ia tampak ragu melihat Nilam di depannya. Ia tahu benar gadis itu tak menyukainya, tapi ia tidak tahu apa yang bisa ia perbuat sekarang. “Apa –apa engkau bisa menolong aku, Nilam? Tolong aku!” bisiknya dalam sepi. Nilam diam sejenak. Gadis itu jelas heran melihat Zainal yang tidak seperti biasa. Romannya yang tampak berlain, seperti ada masalah yang telah membuat pemuda itu berubah drastis  --padahal ia dulunya sombong, suka berlagak dan bersikap kasar. Setitik rasa iba hinggap di hati Nilam. “Ada masalah apa, Zainal? Kau kelihatan seperti orang yang sedang dikejar- kejar oleh sesuatu.” Mata Zainal membelalak, penuh harapan dan permintaan belas kasihan. “Itu… itu…” Tiba- tiba terdengar bunyi dari arah daun- daun pepohonan, di batas pagar istana. Zainal menahan napasnya. Ia cepat- cepat menoleh –begitu pula Nilam –namun mereka hanya mendapati burung kecil yang terbang dari balik dedaunan itu. Nilam mengamati sekali perubahan raut Zainal yang kebingungan. “Ada apa, Zainal?” tanyanya sekali lagi. “Tidak,” sahut pemuda itu seraya menggelengkan kepala. “Tidak apa- apa. Nah, aku pergi dulu,” katanya sembari berbalik ke arah penginapan kadet prajurit dengan tertatih- tatih. Nilam menatap Zainal yang semakin menjauh. Keheranannya masih terus menggelantung di kepalanya, bahkan walau bayang pemuda itu sudah menghilang di balik dinding samping istana. *** Sementara itu, Yazid duduk bersandar pada salah satu kursi di balai bendul –tak jauh dari balai pertemuan. Ia seakan menunggu seseorang, sebab tiada yang ia lakukan selain duduk dan memandang ke arah pintu menuju balai bendul itu, seperti tengah menanti pintu itu akan dibuka. Benarlah, sebab tak lama pintu itu diketuk dari arah luar. Yazid menggumamkan ‘masuk’, dan prajurit kepercayaannya datang. Ia memberi salam dan menabik hormat, lalu menyerahkan sebuah gulungan kertas dari kulit kayu dari dalam sarung pedangnya. “Tuanku, ini adalah hasil penyelidikan saya beserta yang lain.” Yazid menerima uluran perkamen, lalu membukanya. Mata Yazid berpindah- pindah cepat untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia menutup gulungan tadi. “Engkau sangat yakin mengenai jari jempol ini?” “Sangat yakin, Tuanku,” sahut prajurit itu menunduk dalam. “Baiklah,” kata Yazid lagi. “Lepas upacara pembukaan gelanggang, kita akan menyelesaikan masalah ini.” *** Hari semakin larut mendekati tengah malam. Bebunyian tak lagi terdengar selain dari suara jangkrik dari sawah dan ladang dan burung- burung hutan. Lilin- lilin di penginapan calon prajurit sudah dimatikan sebagiannya beberapa waktu lalu, namun beberapa lilin lain baru saja mati., Asapnya pun tak lagi tercium sebab sudah dihembus angin yang kencang. Katil- katil pemuda itu sudah terisi semua. Semua penghuninya berkelumun dalam selimut, meringkuk dalam mimpi, melawan kedinginan yang meniup- niup. Sebuah bunyi halus bertepatan pula dengan deru angin kala itu –bunyi yang mendekati penginapan. Sedemikian halusnya hingga tak ada yang tahu entah itu manusia atau bukan. Tapi bunyi itu makin mendekat, dan jelaslah kedengarannya seperti kain semacam jubah berat yang menyapu lantai. Namun suaranya masih kalah dari siut angin, sehingga tak satupun dari pemuda itu yang terjaga. Dari luar terdengar lagi suara menceklik, seakan ada pasak- pasak besi yang dibuka dengan lambat. Sesaat kemudian, pintu itu pun terbukalah. Tapi sosok yang masuk itu dengan cepat menutup pintu, sebab ia takut kalau- kalau angin kencang membuat salah satu dari mereka ada yang terbangun. Di balik jubahnya, mata orang itu beredar ke arah sudut ruangan, sebab yang ia cari semestinya kini tertidur di pinggir dekat pintu. Ia keluarkan sebuah bilah mengilap tampak sekilas dari balik pinggang jubahnya. Dengan sigap, ia melakukan tugasnya tanpa suara. Tak ada teriakan keras, hanya erangan lemah karena kecekatannya bekerja. Ranting- ranting pepohonan di luar berderak- derak, disertai derak pintu yang dibuka- tutup dengan cepat. Langkah kakinya yang terus menjauh semakin berat sebab ia menyeret sesuatu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD