Balasan

1295 Words
Inilah gurindam pasal yang keempat; Hati kerajaan di dalam tubuh, Jikalau zalim segala anggota pun roboh. Apabila dengki sudah bertanah, Datanglah daripadanya beberapa anak panah. Mengumpat dan memuji hendaklah pikir. Di situlah banyak orang yang tergelincir. (Gurindam Dua Belas – Raja Ali Haji )   Siang belum lagi memanaskan air laut, mencium cahaya kilau air asin atau menguapkannya. Selepas Zuhur memang angin banyak berhembus, namun sinar matahari belum kuat sebagaimana menjelang Ashar. Orang- orang pula masih bersemangat melanjutkan kerja usai sembahyang, termasuk pula Syahidah. Ia berjalan dengan hati- hati ke tepi dermaga, ditemani Nilam. Ia dapat melihat dari sudut mata, dua orang yang sudah beberapa kali ia jumpai tampak menunggu mereka datang. Mungkinkah sebab Yusuf dan Zaid juga telah mengetahui rupa mereka dari kejauhan? Tak diragukan lagi bahwa Syahidah tahu benar bagaimana rasa hatinya kini. Begitu pula dengan Hamid Yusuf. Yusuf dan Zaid mengucap salam dan dibalas kedua gadis itu. Tatkala keduanya bertemu muka dan beradu pandang, Syahidah menunduk malu. Cepat- cepat ia mengeluarkan sesuatu dari saku jubahnya yang berenda emas. “Ini, Tuan,” kata Putri Syahidah, masih tertunduk. “Maaf sekali, saya tak bisa berbincang berlama- lama dengan Tuan,” katanya tergesa- gesa, sesak napasnya seakan banyak saja yang hendak ia sampaikan. Atau seakan Syahidah sudah menghafal kata- katanya di luar kepala, agar tak tersandung bicara disebabkan hatinya yang meledak- ledak itu. “Bukannya saya tidak suka bertemu Tuan, tetapi saya hanya saja lebih suka menyampaikan apa yang saya inginkan dalam tulisan. Berkenankah, Tuan?” Hamid Yusuf juga menunduk, teringat perkataan kawannya dulu, Zaid, padanya. “Tentu, Tuan Putri. Tak perlulah Tuan Putri merasa sungkan, sebab tidak mengapa bagi saya.” Ia mengulurkan tangannya yang sawo matang kekar itu, mengambil lipatan perkamen cantik dari Syahidah. “Saya ambil, ya?” Putri Syahidah mengangguk mengiyakan. “Itu sajalah tujuan saya menemui Tuan lagi. Kalau begitu, saya hendak kembali dulu. Assalamu’alaykum.” Putri Syahidah beserta Dayang Nilam mengangguk sedikit lalu berbalik arah. Hamid Yusuf dan Zaid menjawab salam itu serentak, sementara Yusuf menambahkan, “Salam selamat untuk Tuan Putri.” Syahidah tidak menoleh dan tidak pula membalas perkataan Yusuf padanya. Ia teruskan juga jalannya kembali ke istana bersama Nilam, meski ia tak dapat mengusir senyum yang menyungging di bibirnya. Jika sebagai itulah Syahidah, tak ada pula ubahnya dengan Yusuf yang memperhatikan kedua gadis itu menjauh dengan anggun, berjalan dengan salam penghormatan rakyat yang mereka lewati. Zaid pula, menepuk- nepuk bahunya. “Kau sudah dapatkan yang engkau inginkan, bukan, putra mahkota?” Hamid Yusuf membalas kata- kata kawannya itu hanya dengan wajah cerah. *** Meski Syahidah dan Nilam sudah berjalan cepat saat kembali ke area istana, tapi tak lebih cepat daripada Tuanku Badruddin, adiknya yang berlari untuk kembali ke sana. Wajahnya merengut sepanjang jalan, dan orang yang lewat bisa tahu ada awan hitam menggantung di atas kepalanya. Awan kemarahan. Badruddin segera menuju balai- balai, tempat Baginda Syamsir Alam Syah biasa berada   untuk istirahat. Badruddin bergerak cepat mendekati ayahnya dan membungkuk hormat secepat kilat. “Kau kelihatan gelisah sekali, Badruddin,” tanya baginda yang heran, seraya memilin- milin misainya. “Ihwal apakah yang membuat engkau tampak tergesa- gesa begitu?” Badruddin menatap ayahnya dengan sopan, meski sekilas membayang wajah bangga dan berangnya bercampur aduk. “Baginda Ayah, saya ingin menceritakan sesuatu tentang Kakanda Putri Syahidah.” Syamsir Alam Syah pun berkerut keningnya, tak mengerti ujung pangkal pembicaraan anak bungsunya itu. “Hal apakah itu?” Badruddin menghirup napas dalam- dalam. “Sebelumnya saya ingin Baginda Ayah jangan menyalahkan saya dulu, sebab semua yang saya lihat dan saksikan bermula dari dermaga.” “Dermaga?” ulang Syamsir Alam. “Ada apa engkau bepergian ke dermaga? Kukira kau semestinya ke gudang persediaan makanan hari ini.” “Itulah sebabnya saya meminta Baginda Ayah untuk tidak menyerang saya mengenai itu dulu, sebab saya hanya ingin menemui Kakanda Yazid untuk satu dua hal di sana,” sahut Badruddin berkilah. “Perlu Baginda Ayah tahu, pembongkaran kapal hari ini lebih terlambat dari kemarin, bahkan Kakanda Yazid beserta pengawas pun belum berada di sana lagi.” Baginda raja menatap anak bungsunya itu lekat- lekat. Badruddin lalu melanjutkan, “Tapi, sebagaimana saya beritahu Baginda Ayah tadi, saya ingin memberitahu tentang Kakanda Putri. Sebab, tadi di dermaga saya baru melihat beliau menemui dua orang pemuda.” “Pemuda?” “Ya,” kata Badruddin membusungkan d**a. “Saya tidak mengerti apa yang ada di pikiran Kakanda Putri. Bagaimana bisa beliau menemui dua pemuda dan bahkan berbincang dengan mereka begitu? Ini pula yang membuat heran dengan penilaian Baginda Ayah yang teracap kali condong kepada pendapat Kakanda Putri.” “Maksudmu?” tanya Syamsir Alam. Wajahnya terlihat agak berbahaya, dan ini membuat Badruddin lebih berhati- hati dalam memilih kata- katanya. “Maafkan saya, Baginda Ayah. Saya tidak bermaksud meragukan pemerintahan ataupun  keputusan Baginda Ayah. Hanya saja, saya rasa penilaian Baginda Ayah hanya seringkali berkesesuaian dengan Kakanda Putri, seakan Kakak Putri paham benar dengan apa yang benar dan salah. Tapi setelah apa yang saya lihat di dermaga tadi, wajarkah jika Kakak Putri disebut paham dengan aturan dan kebenaran jika beliau sendiri merasa pantas untuk bertemu dengan dua pemuda dengan berahasia?  Tanpa mempedulikan omongan belakang orang dan kedudukan beliau dalam kerajaan? Saya juga jadi kurang yakin dengan penilaian Kakanda Putri terhadap Kakanda Yazid kemarin dulu. ” Syamsir Alam tampak merenung sejenak. Setelah terdiam panjang, ia tiba- tiba bertanya, “Kurasa, Syahidah tak akan pernah bepergian sendiri, Badruddin. Kalaupun perlu, ia akan membawa dayangnya.” Badruddin memutar bola matanya. “Ya, memang, Baginda Ayah. Kakanda Putri memang pergi bersama dayangnya tadi.” Mendengar itu, baginda raja tertawa terbahak- bahak. “Kalau begitu, apa yang engkau cemaskan? Syahidah menemui dua pemuda dengan dayangnya, artinya ia tahu adab dan sopan, bukan? Aku sudah menduga. Lagipula, mereka bertemu di siang hari, bukan berahasia, diam- diam di tengah malam picik.” “Tetapi Baginda Ayah, tetap saja Kakak Putri berani bertemu dengan mereka! Bukankah ini cukup menunjukkan bagaimana Kakak Putri...” “Tidak, Badruddin,” tegas baginda raja memotong perkataan anaknya. “Satu kali pertemuan yang engkau saksikan sama sekali tidak cukup membuktikan apapun tentang Syahidah.  Aku lebih tahu tentang putriku, dan juga tentang putraku. Itu artinya, termasuk engkau. Masalah penilaianku pada pendapat anak- anakku, kau tak perlu mempertanyakannya. Aku hanya memilih pendapat yang baik dan berguna, bukannya condong pada satu di antara kalian. Lebih baik, engkau singkirkan jauh- jauh pikiran itu.” Mendengar penjelasan ayahnya, Tuanku Badruddin tidak bisa berkata- kata. “Dan mengenai pertemuannya itu,” lanjut Syamsir Alam lagi sambil kembali tertawa, “Bukankah itu bagus? Aku baru saja membahas jodoh Syahidah pagi tadi bersama Panglima Gafar  Ali. Kebetulan sekali.” Wajah raja tersenyum cerah, membuat Badruddin heran. “Benarkah itu, Baginda Ayah?” “Ya,” sahutnya. “Aku terniat mencarikan pemuda untuknya, tapi bukankah baik jika Syahidah bisa menemukan pemudanya sendiri? Tuhan Allah baru saja menjawab doaku, segala puji bagi-Nya. Nah, bagaimanakah rupa pemuda itu?” “Ya... dia kelihatan berasal dari keluarga baik- baik. Dan terpandang. Sebab elok sekali kelihatan penampilan dan perangainya,” kata Badruddin enggan.” “Mujur sekali!” seru Baginda Syamsir Alam Syah. “Mungkinkah dia anak menteri- menteri kita juga? Atau kalaupun ia bukan pemuda yang asalnya bukan berkisar- kisar dari sini pun, aku tak masalah. Asal ia berkesesuaian perangai dan kedudukan dengan putriku. Nah, apalagi? Sepertinya aku harus segera memperbincangkan tentang ini pada anggota kerajaan. Kau, Badruddin, bisa kembali lagi pada pekerjaanmu. Dan kusarankan kau memusatkan perhatianmu pada urusan kesejahteraan negeri kita. Jangan mengusik- usik kerja Yazid lagi, sebab kau belum sampai masa untuk mencapai pekerjaannya itu. Ingat kata- kataku.” Badruddin diam semenit dua menit, lalu dengan wajah kaku ia mengangguk hormat. Badruddin kembali berbalik, kecewa dengan permintaannya yang tertolak. Tak adakah sedikit titik terang, semacam satu orang saja yang menyadari bakatnya untuk memiliki posisi yang sama dengan Yazid Alam?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD