Perasaan

1538 Words
Putri Syahidah kita belum balik lagi ke istana. Ia masih di tengah jalan, ditemani oleh Dayang Nilam. Putri tak lagi tergesa- gesa, sebab tak pantas bagi ia seorang putri raja berjalan tergopoh- gopoh bagai tak tentu arah. Namun hatinyalah yang masih tak tentu arah, alam dunia ini masih belum ada di kepalanya lagi. Ia berjalan tapi sepasang kaki itu langsung saja membawa badannya menuju jalan ke istana, jalan nan sudah ia hafal, tapi pikirannya berkisar- kisar di tempat lain. “Maaf, Engku Putri,” kata Dayang Nilam tiba- tiba, sebab sepanjang jalan ini tiada satu pun dari mereka yang bersuara. “Ampunkan saya berkata seperti ini, tapi maukah Engku Putri memelankan sedikit langkah Engku? Tak terkejar oleh saya, dan lagi pun Engku tak seperti...,” napas Dayang Nilam terengah- engah di belakang, mengejar Putri Syahidah dengan langkah- langkah pendek, sebab ia mengenakan bawahan kain sarung batikan yang mengebat langkahnya. Putri Syahidah terjaga dari kisaran pikirannya, lalu berhenti dan berbalik pada Nilam. “Maaf, Nilam! Aku tak tersadar dengan langkahku yang begitu cepat. Begitu saja aku lupa kalau kau juga ikut bersamaku.” Dayang Nilam tersenyum manis pada sahabat sekaligus engkunya itu. “Tak apa, Engku. Tak perlu pula Engku meminta maaf pada saya.” Syahidah tersenyum. “Nah, tadi perkataan engkau terputus. Apa yang hendak engkau sampaikan padaku tadi?” “Yang manakah, Engku?” “Sesaat kau mengatakan aku berjalan terlalu cepat.” Dayang Nilam ingat. “Itu... ampunkan saya, Engku. Saya tidak terniat sekalipun mencampuri urusan Engku Putri. Tapi, Engku sepanjang jalanan ini benar- benar tak terlihat seperti Engku yang saya kenal.” “Sungguhkah?” “Ya,” sahut Dayang Nilam. “Engku seperti orang yang hendak berlari kala ada musibah atau semacamnya. Wajah Engku Putri terus saja menatap tanah, tanpa peduli orang sekitar. Engku macam sedang bermenung di tengah jalan, tapi tentu jalan yang Engku tempuh.” Putri Syahidah tersenyum, memegang keningnya yang berpeluh. “Adalah agaknya pertemuan dengan Tuanku Hamid Yusuf membuat Engku... banyak pikiran? Memusingkan Engku? Ataukah... ada masalah yang Engku Putri pikirkan?” Senyum Putri Syahidah makin merekah mendengar kecemasan sahabatnya itu. “Tidak, Nilam. Jangan engkau cemas, sebab aku ini baik- baik saja. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan.” Dayang Nilam mengangguk, lalu keduanya meneruskan ke istana, yang tak jauh lagi dari tempat mereka. Tapi, begitu keduanya sampai pada tembok pembatas yang bersisian dengan dapur istana, terdengar keramaian, semacam gumam- gumam riuh rendah yang tak jelas. Putri Syahidah yang bermaksud melangkah lurus menuju gerbang depan, berputar ke samping, pada Nilam. “Ribut- ribut apa itu, Nilam?” Dayang Nilam sama herannya, menggeleng tak mengerti. “Saya juga tidak tahu, Engku.” “Apa ada terjadi sesuatu subuh tadi?” Dayang Nilam kembali menggeleng. “Seingatan saya tidak ada, Engku. Engku ingat, tadi pagi saya ada buatkan deram- deram terkhusus untuk Engku?” “Ya, tentu! Deram- deram terlezat yang pernah kumakan,” kata Syahidah dengan teramat riang. Dayang Nilam tersenyum tersipu mendengar itu, lalu ia melanjutkan ucapannya, “Jikalau memang ada kejadian, tentu saya langsung tahu saat itu juga dan menyampaikannya pada Engku.” Bersamaan dengan patah kata terakhir Nilam, terdengar pula tangis wanita menggerung di dekat dapur. Tangis itu diselingi bantahan keras, tapi tak meredam suara wanita yang tengah bersedih itu. Mendengar ribut yang semakin tak berujung, Syahidah memandang Nilam dengan tegas dan keduanya bergegas menuju sisi samping istana, menuju dapur. Syahidah dan Nilam cepat sampai di sana, menyaksikan wanita tua kepala dapur istana yang berteriak pada gadis juru masak istana yang masih terisak. Gadis yang dimarahi itu terduduk kotor di tanah dengan laranya, sementara wanita tua itu berkedut- kedut pelipisnya marah. Syahidah pun maju selangkah, menatap tajam pengawas dapur. “Ada apa ini, Encik?” tanya Putri Syahidah. Wanita tua pengawas dapur itu membungkukkan badannya rendah- rendah, lalu berkata, “Ampunkan, kami, Tuan Putri. Kami telah mengganggu Tuan Putri. Kami tidak bermaksud membuat Tuanku kesal.” “Terangkan padaku permasalahaannya.” Wanita kepala dapur melirik sekilas pada gadis juru masak dengan mata menyipit, lalu berkata pelan. “Begini, Tuanku. Gadis ini,” katanya sembari menunjuk si gadis, “Ia salah satu tukang masak di sini, dan saya sebagai kepala dapur bertugas mengawasi para pemasak istana, Tuanku. Saya harus memastikan semua pekerjaan mereka selesai dengan baik, dan semua makanan tersedia bagi Tuanku dan Baginda sekeluarga.” Putri Syahidah mengangguk, dan wanita tua itu bagai dapat angin segar dorongan dari Syahidah. “Tapi, Tuanku, gadis ini hendak mangkir dari tugasnya, memberi saya dalih bahwa ia harus mengunjungi keluarganya sekarang juga. Bagaimana ini, Tuanku? Bukankah ia tidak bertanggung jawab dengan tugasnya?” Gadis tadi telah berhenti dari isaknya dan menepuk- nepuk kainnya yang kotor. Ia membungkuk dalam- dalam pada Syahidah, lebih dalam dari bungkukan wanita pengawas dapur. “Bukan begitu, Tuan Putri. Saya bukannya berdalih hendak mangkir, tapi memanglah saya perlu mengunjungi keluarga saya sekarang. Saya hendak menyampaikan alasan saya, tapi...” “Pentingkah bagimu alasan pribadi daripada kepentingan istana?” potong wanita pengawas dapur. Syahidah mengangkat tangannya, dan isyarat itu cukuplah mengheningkan kedua orang yang tengah berseteru itu. “Saya sangat menghormati Encik sebagai kepala dapur. Tapi, beri gadis ini waktu untuk bicara dulu, Encik,” kata Syahidah. Gadis itu pun bicaralah. “Saya meninggalkan seorang ibu saya yang sudah tua. Setiap selesai tugas dapur, saya sempatkan pulang ke rumah, untuk memasakkan beliau sesuatu. Tapi hari ini saya belum sempat balik ke rumah,” jelas gadis itu terbata- bata. Napasnya naik- turun, tercekik- cekik di tenggorokan. “Agaknya beliau mencari sendiri sayur dan lauk untuk makan pagi ini. Saya sudah bersegera hendak kembali sekarang, tapi tetangga saya datang menyampaikan pada penjaga gerbang istana, bahwa ibu saya..., ibu saya,...” katanya terputus- putus, “T-telah meninggal.” Terdengar gumaman sedih di sekitar mereka. Syahidah yang khusyuk sekali mendengar ceritera gadis itu, terkejut. “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Mengapa?” Gadis itu kembali menangis. “S-saya, tidak tahu, Tuan Putri. Tetangga saya berkata, mungkin beliau keracunan makanan, sebab sembarang mencari di hutan.” Wanita kepala dapur memandangi gadis itu lagi dengan sengit. “Mengapa engkau tak memberitahu sejak awal? Kau hanya berkata ingin mengunjungi keluarga, tapi tak berkata apapun perihal ibumu.” “Sudah,” kata Syahidah memutuskan. Ia menoleh pada gadis itu. “Pergilah sekarang, kembali ke rumahmu. Kembalilah dua- tiga hari lagi, saat sedihmu sudah reda dan kau sanggup bekerja lagi. Aku turut berduka untuk kepergian beliau. Semoga Tuhan Allah beri beliau tempat terbaik.” Gadis itu mengaminkan dan berterima kasih pada Syahidah. Dengan wajah putus asa, kepala dapur mendekati Syahidah. “Tapi, Tuanku, bagaimana dengan pekerjaannya?” tanyanya sambil menggeleng- geleng. Saya tentu tidak melarang siapapun yang ingin pulang sebab musibah menimpa sanak saudaranya, tapi saya mesti bertanggung jawab untuk dapur istana. Dan ketiadaan gadis ini tentu merepotkan seluruh tungku.” Syahidah mengangguk membenarkan. Ia tak menyadari Nilam sudah mendekat padanya, berbisik, “Engku, bagaimana bila saya saja yang menggantikan gadis ini sementara waktu?” Tuan Putri Syahidah menoleh. “Tak apakah bagimu, Nilam? Kerjaan kau sendiri sudah berat. Aku tak ingin engkau terlalu letih. Apa tidak sebaiknya kita cari tambahan pegawai sementara?” “Tak apa, Engku, tak apa,” sahut Nilam tenang. “Saya sudah terbiasa dengan kerja dapur sebelum saya menjadi dayang Engku. Saya bisa membagi waktu saya, dan biarlah gadis ini menenangkan hatinya dulu. Saya siap, Engku, melanjutkan pekerjaannya saat ini juga.” Wajah kepala dapur tampak cerah, namun wajah Syahidah masih menimbang- nimbang. “Baiklah, jika kau berkehendak. Tapi kerjakan saja sedapat engkau, Nilam. Jangan engkau paksakan.” “Baik, Engku.” “Kalau begitu masalah ini selesai?” tanya Syahidah pada pengawas dapur. Wanita tua itu mengangguk. “Terimakasih saya haturkan, Tuanku.” Syahidah pun meninggalkan kerumunan di halaman dapur, begitu pula wanita- wanita pelayan dan juru masak lain yang satu- persatu kembali pada kerja mereka masing- masing. Wanita kepala itu mendengus gusar pada gadis yang masih menghapus jejak air mata itu. “Kau telah membuatku susah, gadis muda!” katanya parau sambil berbalik ke dapur, meninggalkan si gadis dan Nilam berdua di halaman. “Saya turut bersedih dengan apa yang terjadi dengan ibumu,” kata Dayang Nilam. Gadis itu mengangguk berterima kasih. “Apa sebab beliau bisa meninggal seperti itu? Maksud saya..., benarkah kata tetanggamu itu, perihal beliau yang keracunan?” Gadis itu berpikir selamun dua. “Saya rasa begitu, Encik. Sebab beliau kadang pergi ke hutan mencari ubi. Dari apa yang tetangga saya sampaikan, memang ada ia dapati ubi di periuk. Beliau sudah tua dan pandangan beliau sudah kabur, tak pandai lagi membedakan ubi liar beracun atau ubi yang patut dimakan. Dan semestinya saya sempatkan juga pulang barang sebentar, daripada membiarkan beliau bepergian ke hutan. Salah- salah, tak hanya tumbuhan beracun yang terambil, binatang buas pun bisa menerkam.” Dayang Nilam menghela napas. “Benar katamu itu. Saya benar- benar bersedih dengan kepergian beliau,” kata Nilam lagi. Wajahnya menunjukkan rasa pedih. “Namun kematian tak dapat ditolak, jangka hidup manusia sudah terukur. Bukan begitu ?” Gadis itu menyunggingkan senyum tipis. “Ya. Encik memang benar. Tak ada yang bisa saya perbuat.” Dayang Nilam menyentuh bahu gadis itu dengan lembut. “Saya akan bantu pekerjaanmu selama engkau menghabiskan waktu di rumah. Selebihnya, bersabarlah. Hanya itu saja yang dapat engkau perbuat. Sabarlah, sebab ini ketentuan-Nya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD