Goyah

1119 Words
Dua cangkir teh dalam nampan perak telah dibawakan ke dalam ruangan itu oleh seorang dayang. Dia membungkukkan dirinya dengan sopan pada dua orang terhormat yang juga berada di sana, memindahkan kedua cangkir teh itu lalu mengundurkan diri. Kedua orang nan tengah bercakap itu tampak tegang sejenak –seakan mereka menyimpan segala macam perasaan dalam diam yang pura- pura –dan memang benarlah. Seusai dayang itu pergi meninggalkan mereka berdua saja di ruang tamu itu, segera pula berubah kedua muka itu menjadi gelisah tak berketentuan. Jelas benar ada yang masalah yang telah menjadikan mereka seperti itu. “Kekasihku, percayalah. Aku memang sudah bersangkaan ini akan terjadi, tapi tak sedikit pun ada tersirat dalam pikiranku bahwa Hamid Yusuf akan segera melamar seorang gadis,” kata Permaisuri Aziya. Ia mengatupkan bibirnya pertanda khawatir, sedang kulitnya yang berkerut itu tampak tertarik ke pinggir oleh mata yang mengerut takut oleh sikap lelaki di hadapannnya kini. Sang lelaki, yang usianya tiada berapa beda dengannya, tampak ketus dengan jawaban permaisuri. Ia tiada lain adalah Zafan Nazhim. “Jadi apa yang telah kau sangka selama ini, Aziya?” “Bahwa –perubahan Yusuf yang teramat ingin belajar kembali itu telah mampu membuat Baginda ingin mempercepat penyerahan tahtanya kepada Yusuf. Aku sudah menduga ini akan terjadi, Zafanku. Sebab Baginda sudah berulangkali membahas ini denganku, jadi untuk apa ia mesti menunggu dirinya mangkat dulu sebelum tahta ini ia wariskan pada putra tunggalnya?” “Ya, betul pemikiranmu itu,” tukas Zafan Nazhim dengan tak sabar. “Bila Hamid Yusuf memang jadi mengawini anak Raja Sepinang itu, makin kokohlah keberadaan dia di istana ini. Tak ada yang mesti ia keluhkan sebab beristrikan anak Raja jiran kita –walau ia sendiri hanya anak selir. Takkan ada yang mempertanyakan ia lagi sebagaikan selama ini. Dengan akad yang sekejap mata, tempat duduknya akan terjujung setinggi langit. Itu artinya, semakin sempit pula usaha kita untuk merobohkan kepemimpinan kakakku, sebab ia telah mengokohkan pundak bapaknya pula.” Ia lalu menghela napas panjang- panjang, “Apalagi usahaku meminta Sri Raja Pulau Besar untuk menambahkan pajak ke Seperca tidak berjalan sesuai rencanaku. Aku benar- benar tak mengira tentang tindak laku Sri Raja. Dan para menteri pun setuju pula dengan putusan yang diambil Asyfan. Sudah, tiada lagi celah.” Permaisuri Aziya menelengkan kepalanya sedikit, kini ganti keningnya yang berkerut. “Aku tengah berpikir, Zafan kekasihku, mengapa para menteri menerima saja putusan Asyfan sedemikian rupa? Dan apa maksud penguasa Pulau Besar itu ikut membebankan pajak kepada Sepinang?” Zafan mendecakkan lidahnya kesal. “Dasar dungu! Tidakkah engkau mengerti apa yang terjadi, Aziya?” Bentakan mendadak Zafan itu membuat permaisuri terkejut. Ia mundur dari duduknya perlahan- lahan, namun Zafan cepat menyadari ketakutan wanita itu. “Tidak, tidak. Maafkan kekasaranku, Aziya sayang. Engkau tentu tahu bahwa pikiranku kini sedang kalut. Aku–,” Zafan cepat- cepat mengalihkan pembicaraan, “Pasal mengapa para menteri setuju begitu saja dengan kakakku itu, kurasa engkau bisa membayangkan dari tempat duduk mereka. Menteri itu tiada rugi apapun bila pajak ditambah atau dikurangkan, sebab mereka bukanlah orang yang dibebankan –melainkan para saudagar negeri kitalah yang mendapatkannya. Bila pun ada satu- dua orang yang tidak setuju, mereka akan memilih untuk menutup mulut sebab tidak ada yang sejalan dengan mereka.” Permaisuri Aziya mengangguk. Tangannya masih gemetar oleh rasa takut sebab hardikan tadi padanya, terlihat saat ia meremas jubah sutranya yang cantik itu. “Lalu –lalu, bagaimana menurutmu tentang perbuatan Raja Pulau Besar?” Zafan menggeleng. “Mengenai itu, aku tidak benar- benar paham. Aku berusaha untuk memahami jalan pikiran Raja Pulau Besar, tapi nyatanya tiada semudah mengerti keadaan menteri- menteri kita. Aku tahu benar sifatnya yang licik dan lalim, tapi pikirannya yang selangkah lebih dulu itu belum mampu aku lampaui. Yang jelas, siasatnya tentulah sama lalim dan buruknya dengan perangai dirinya itu.” Zafan lalu meraih tangan permaisuri yang masih menggenggam ujung jubahnya dengan penuh sayang. “Aziyaku, bersabarlah engkau untuk beberapa waktu ini, maukah engkau? Aku tahu betapa besarnya rasa kasihmu padaku, namun aku ini bukan orang yang bijak berkata- kata. Kalau saja aku bisa menunjukkan padamu seberapa besar cintaku yang mengalahkan dunia ini, hanya untukmu.” Perlahan rasa takut permaisuri tua itu menghilang, berganti dengan rasa lega yang mewujud dalam wajahnya. Ia tersenyum haru mendengar ini, lalu berkata, “Percayalah Zafan, tiada aku pernah meragukan dirimu dan janjimu untuk membawaku bersamamu.” “Aku memang orang paling beruntung di dunia ini,” kata Zafan. “Kalau begitu maukah engkau membantuku untuk mencapai cita- cita kita ini? Maukah engkau membantuku menyelesaikan semua ini? Aku tak pernah pula meragukan kecerdasan engkau selama ini, sebagaikan kakakku Asyfan.” “Tentu, kasihku! Tentu,” ungkap Aziya dengan wajah berseri- seri. Ia lepaskan tangannya dari genggaman Zafan, dan kini tangannya itulah yang menggenggam balik pergelangan tangan Zafan. “Aku akan membantumu sedapat- dapatnya, Zafan,” katanya penuh tekad. “Kau tahu? Hamid Yusuf mesti ingin menyelesaikan pelajarannya dengan Tuan Guru sebelum perkawinannya nanti dilangsungkan. Aku bisa menunda perkawinan ini, sementara engkau akan mencari cara agar tahta tidak segera diberikan Asyfan pada Yusuf. Buatlah ia kehilangan kepercayaan pada putranya itu.” Zafan mengangguk. “Baiklah. Aku akan mencari cara agar Asyfan kehilangan rasa percaya pada Yusuf. Atau bisakah kita buat sebaliknya?” “Bisa,” tegas permaisuri itu lagi. “Aku akan menolongmu dalam urusan itu. Tapi sebelum itu berjanjilah engkau padaku.” “Janji –apa? Sayangku?” “Berjanjilah, “kata Aziya seraya memegang tangan Zafan lebih kuat, “Berjanjilah bahwa kau tidak akan meninggalkanku.” Zafan memandangi perempuan di depannya itu lekat- lekat. Ia tiada mampu menangkap apa yang dilukiskan wajahnya. “Ya, ya, tentu saja. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” “Bersumpahlah kalau begitu, atas nama Tuhanmu.” Zafan terdiam sejenak, sebelum buka suara. “Kenapa? Apakah ada bedanya aku mengucapkannya tanpa nama Tuhan atau dengan nama Tuhan, Aziya? Engkau tidak yakin dengan perkataanku? Apa aku selama ini pernah tidak mengunjungimu? Apa aku selama ini pernah tidak mendengarkan segala keluh kesahmu?” “Tidak, aku tidak pernah merasa kurang yakin denganmu. Tapi aku tak pernah bisa menjamin masa depanku, Zafan. Apapun bisa membuat orang buta –sebuta perasaanku padamu.” “Kalau begitu, perasaanku pun lebih buta lagi daripada itu, sebab—“ Dengan sigap Aziya menyambar sebelum Zafan menyelesaikan kalimatnya. “Mengapa Zafan? Engkau takut? Bukankah engkau memang kekasihku?” Adik Asyfan itu kini memandang wanita di depannya itu lebih dalam lagi. Ia tidak menyangka hal seperti itu akan keluar dari mulut Aziya, dan tak pernah pula ia menyadari rasa kasih Aziya memang sedemikian rupa sehingga mampu membuat perempuan itu melakukan hal yang tidak main- main begitu. “Percayalah,” jawab Zafan, “Percayalah pada kata- kataku. Akan kuucapkan sumpahku –tepat di depanmu –agar engkau bisa mengingat- ingat janji ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD