Putusan

1412 Words
“Mengapa, Yazid?” tanya Baginda. “Adakah ternampak oleh engkau orang yang bersikap lain semalam?” Yazid menggelengkan kepalanya. “Bukan hamba, Ayahanda, melainkan orang lain pula. Akan tetapi, aku tiada pula ingin menuduh orang itu yang belum nyata kebenarannya. Nama dia belum tercemar di kalangan manapun di negeri ini, dan boleh jadi ia tiada punya sangkut pautnya dengan kebakaran tadi malam.” “Aku mengerti,” sahut Raja Syamsir Alam Syah. “Aku akan membentuk kelompok penyelidik masalah ini segera, mengenai siapa saja yang berada di sekitar gudang negeri semalam. Kita mesti cepat.” “Betul,” ujar Panglima Gafar mengutarakan persetujuannya, “Dan ada satu lagi yang penting untuk kau lakukan segera, Yazid. Saya  yakin engkau pun setuju dengan perkataanku, Syamsir.” Panglima menoleh pada raja sekaligus kawannya itu dengan wajah tegas dan penuh tekadnya. “Apa itu, Gafar?” “Sampai sekarang kita belum mengetahui apa musabab gudang negeri terbakar. Namun, kita bisa mencegah apa tindakan buruk yang mungkin akan orang ini lakukan nanti. Salah satunya, mempercepat perakitan kapal perang kita, Syamsir.” Yazid membenarkan pendapat itu dalam hati, walau tiada ia tunjukkan wajah kecurigaannya terhadap adindanya, Badruddin. Apabila firasat Syahidah mengenai ini benar, maka memang mempercepat pembinaan kapal adalah keputusan yang tepat. Yazid pun belum lupa lagi bagaimana kerasnya hati Badruddin ingin menggantikan keberadaan Yazid sebagai kepala pembinaan kapal. “Baiklah,” kata Baginda Syamsir. “Yazid, secepatnya engkau temui Tuan Samir Sajid dan Opu Daeng Majo. Engkau kumpulkan pula para pekerja, biarkan kedua Tuan ahli ini memberitahu apa- apa saja yang dapat mereka lakukan mulai esok hari. Sampaikan pula pada para pengangkut barang agar mulai membawa sebagian kayu dari gudang ke tepi bandar –atau ke tempat yang sesuai menurut Tuan Samir dan Opu Daeng untuk membina kapal baru negeri kita.” Yazid menundukkan kepala, memberi salam hormat sebelum ia pergi mengundurkan diri dari ruang pertemuan itu. *** Selain kebakaran, sudah tentu masalah surat dari Sri Raja Pulau Besar juga telah mengganggu ketenangan istana Sepinang, walau tiada ini menggaduh kedamaian rakyat negerinya. Perembukan Baginda Syamsir dan Asyfan Nazhim yang mengurangkan pungutan bagi barang yang dikirim dari negeri Sepinang ke Seperca tentu disambut baik oleh menteri istana Sepinang, walau kabar ini belum diketahui para saudagar lagi. Kabar ini masih hangat rupanya, dan sebab karena belum ada saudagar yang sampai ke Seperca untuk membawa barangnya dengan pencalang, tiada perubahan dalam rungut mereka saat membawa muatan seperti biasa. Para saudagar masih membongkar muatan di dermaga Sepinang, dan di Seperca pula, kabar ini baru dititahkan Raja Asyfan dari mulutnya di balai pertemuan. Namun berbeda keadaan dengan Sepinang, para anggota penting kerajaan Seperca justru sudah mendengarkan pengumuman ini, langsung dari Baginda Asyfan Nazhim. Sontak ini mengejutkan semua menteri dan pejabat negeri sana. Tuanku Zafan Nazhim tiada kurang rasa terkejut sekaligus bencinya, yang bila tidak ia sembunyikan raut itu cepat- cepat, pastilah seisi balai akan tahu bahwa ada yang tidak benar pada gelagat Zafan. Terlebih semua menteri benar- benar menyimak Baginda tanpa menolehkan perhatian pada Zafan yang mencibir marah itu sedikitpun. “Bagaimana mungkin, Baginda?” tanya Tuanku Aminuddin Said. Dia adalah menteri yang mengurus peredaran barang di Seperca, serta memungut pajak dan cukai untuk barang- barang yang masuk di negeri itu. Dia pula adalah ayah dari Saud, salah satu kawan erat Yusuf. “Ampunkan saya apabila perkataan saya ini lancang, Baginda, sebab tiadalah saya bermaksud apapun melainkan demi kebaikan negeri ini,” kata Tuanku Aminuddin lagi seraya menangkupkan tangannya. “Sampaikanlah isi hatimu, Aminuddin,” kata Baginda Asyfan dengan bijaksana. “Saya paham kalau pengurangan pajak ini ada di wilayah kerja engkau sebagai Menteri, jadi utarakanlah keberatanmu.” “Begini, Baginda. Saya mengerti bila Baginda menganggap kita dan Sepinang semacam saudara beda negara, sebab kita memang satu kulit- satu bangsa Melayu juga. Lagipula, kita pun tiada dapat sekehendak hati melupakan sejarah bersama ; tatkala memberontak dahulu dari Pulau Besar. Negeri kita dan Seperca telah bahu- membahu sebagaikan terikat tali darah menanggung suka duka saat melawan Pulau Besar.” “Akan tetapi, Baginda, apakah pengurangan pajak barang masuk ini akan baik bagi negeri kita, Seperca? Memang kita perlu menolong negeri Sepinang yang mendapat pajak lebih besar dari Pulau Besar, namun bagaimana pula dengan kesejahteraan Seperca bila kita mengurangkan pungutan? Pendapatan kita akan menurun drastis, Baginda.” Usai Menteri Aminuddin bicara, terdengar gumaman- gumaman rendah menyetujui perkataan menteri itu. Namun, Baginda menanggapinya dengan wajah penuh senyum. “Tiada yang kurang pada pendapatmu, Aminuddin. Tapi pengurangan pemasukan kita tidak akan terjadi dalam masa yang lama. Saya pun sudah mempertimbangkan hal ini masak- masak. Pengurangan pajak akan merugikan kita untuk sementara waktu karena pemasukan akan lebih sedikit, akan tetapi ketika para saudagar Sepinang mengetahui bahwa biaya mereka berdagang ke sini lebih ringan, maka akan berbondong- bondonglah saudagar Sepinang datang ke sini. Negeri kita akan lebih ramai kegiatan jual- belinya, dan pemasukan kita akan kembali seperti semula. Hal ini tiada akan kita dapatkan bila mempertahankan pajak yang semula.” “Tapi, Baginda,” tanya Tuan Aminuddin lagi dengan wajah resah, “Bagaimana nanti keadaan perhubungan kita dengan Sri Raja Pulau Besar? Bagaimana apabila nanti beliau mengetahui ini dan marah?” Terdengar lagi bisik- bisik antara para menteri membahas itu. Mereka tampak gelisah dan tegang. Melihat itu, Baginda mendehem dengan suara tegas, membuat semua gumaman bingung di balai itu teredam sendiri. Jelas sekali baginda akan menyampaikan hal penting dalam pengumumannya hari itu. “Aku mengerti dengan kegelisahan kalian semua dengan keputusan yang telah saya ambil bersama Baginda Syamsir Alam Syah kemarin. Mungkin kalian akan merasa Sepinang sajalah yang diuntungkan dalam keputusan ini, sedangkan negeri kita merugi. Namun, ini sama sekali tiada yang seperti kalian bayangkan. Dan sesudah penjelasan ini, kalian wajib menerima keputusan tadi sebagai titahku yang harus dipatuhi,” kata Baginda memulai penjelasan panjangnya, dengan suara mengguntur. “Sri Diraja Pulau Besar memang telah mewajibkan pajak atas negeri kita dan Sepinang, yang mana besaran pajak tanggungan Sepinang jauh lebih besar daripada kita. Negeri kita akan mengurangkan pula biaya masuk saudagar beserta barang dari Sepinang disebabkan hal ini, dimana pengurangan ini sebanyak selisih pajak yang telah dibebankan antara Sepinang dan Seperca.” “Kalian tentu tahu, kita telah lama lepas dari Pulau Besar. Walau Pulau Besar belum lagi bangkit dari kekalahan akibat pemberontakan kita di masa lalu, namun tiada kita benar- benar tahu bagaimana keadaan angkatan Perang Pulau Besar. Apalagi negeri- negeri jiran adalah sekutu Pulau Besar; mangkir dari permintaan pajak mereka sama artinya dengan melawan kerajaan itu, dan dengan demikian mereka akan menyatakan perangnya kembali. Itu juga artinya menghancurkan kebebasan yang telah kita dapatkan selama berpuluh- puluh tahun ini.” “Namun demikian, Pulau Besar sama sekali tiada memiliki kewenangan untuk murka atas perkongsian kita dengan Sepinang. Permintaan pajak yang mereka kirimkan tidak menerakan mengenai hal tersebut –begitupula pada surat yang mereka kirim ke Sepinang. Jadi dalam hal ini kita tidak melakukan kesalahan apapun karena tidak melanggar satu maupun seluruh permintaan mereka. Bila memang Sri Raja murka suatu saat nanti saat mendapati hal ini, maka satu- satunya jalan adalah mempersiapkan diri kita menghadapi perang.” Semua menteri dan pejabat negeri menahan napas mendengar pernyataan ini, tapi tiadalah Baginda Asyfan terpengaruh melainkan terus melanjutkan perkataannya. “Dalam waktu yang singkat, kita bisa mendapat sekutu perang dari Sepinang. Jiran besar mungkin lebih berpihak pada Pulau Besar seperti biasa, namun bila kita menjelaskan keadaan kita, ada kemungkinan kita bisa mendapat sekutu lebih banyak. Coba kalian pikirkan, apa yang akan terjadi jika kita menerima keputusan ini tanpa ada kongsi dengan Sepinang? Pertama, kita belum tentu mendapat sekutu terdekat kita. Pulau Besar mungkin tidak menyatakan kemarahannya pada negeri Seperca, tapi bukan berarti mereka tidak ingin mendapatkan kembali kekuasaan mereka di kedua pulau yang telah lepas ini. Lambat- laun, mereka akan melakukan serangan pada kita apapun yang terjadi, percayalah. Dan kedua, kebencian yang mungkin muncul di negeri Sepinang terhadap kita. Bagindanya mungkin saja bisa menerima, akan tetapi hasut dan benci mudah timbul, sebagaikan riak di laut paling tenang sekalipun. Bila Pulau Besar berniat memerangi Seperca, maka salah satu cara yang paling baik adalah mengambil kawan dekat kita selama ini –yaitu Sepinang. Ada yang tahu apa maksud semua ini?” Salah satu menteri tampak gugup, dan berkata dengan tubuh gemetar, “Bahwa tujuan utama Pulau Besar adalah mengadu domba kita dengan Sepinang? Apakah demikian, Baginda?” “Ada benarnya. Tapi itu bukanlah tujuan utama dan paling akhir, sebab apa untungnya bagi mereka untuk mengadu kita semacam ini? Tujuan paling akhir mereka adalah –bila dugaanku tepat –untuk mendapatkan kekuasaan mereka kembali atas Seperca dan Sepinang, tanpa melakukan banyak usaha.”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD