Tuanku Yazid Alam bergegas menuju tanah kosong dekat istana, tempat ia melatih para angkatan prajurit muda. Perkataan adindanya Syahidah itu juga cukup membuat ia terpikir : Apakah gerangan yang terjadi saat kebakaran? Apalagi Syahidah seakan menampakkan keraguannya dengan Badruddin. Yazid Alam tahu benar adik lelakinya itu keras kepala sebagai batu dan semaunya, tapi bagaimanapun banyak jugalah menurut Yazid yang telah dirahasiakan Badruddin darinya. Ayahandanya dan Panglima Gafar Ali sudah ada di ruang pertemuan istana membincangkan perkara ini, dan tiadalah Yazid sabar ingin menyusul beliau berdua ke sana. Pelatihan prajurit yang ia komandokan takkan berlama- lama, sebab ia bisa menyerahkan pada Alif Samudera, anak Panglima Gafar Ali. Sehabis itu ia akan segera ke ruang pertemuan. Lagipula, ada hal yang ingin ia sampaikan pada Ayahanda Syamsir Alam Syah.
Di halaman luas istana, para calon prajurit sudah berbaris rapi –Alif pun sudah hadir pula. Yazid meneriakkan salam hormatnya, yang dibalas dengan salam suara tinggi pula. Yazid segera membagi mereka dalam kumpulan- kumpulan kecil, dan menunjuk ketua tiap kelompok.
“Kenakan pakaian perang kalian beserta pedang!” perintah Yazid dengan suaranya yang dalam. “Setelah itu bawalah satu dari beban yang biasa kalian gunakan saat berlatih. Tuanku Alif Samudera akan membawa kalian ke sungai dekat sini. Pagi ini kalian harus berlatih kelincahan kala berada di air hingga beberapa hari esoknya lagi, sebab ini sama sekali tidak mudah. Kalian tentu tahu, musuh bisa setiap saat menyerang kalian baik di darat ataupun tidak. Jadi di akhir pekan nanti, saya akan mendapati kalian semua mampu melakukan perlawanan dengan pedang tatkala berada di air. Paham?”
“Paham, Tuanku!” sahut para lelaki muda itu serempak.
“Saya akan menyerahkan pelatihan kalian untuk kali ini pada Tuanku Alif Samudera,” kata Yazid lagi seraya menunjuk pemuda seumuran Syahidah yang berada di sisinya. “Ketiadaan saya hari ini memimpin kalian tiada berarti pula kalian bisa seenak hati bermain- main saat berlatih! Alif Samudera adalah pemimpin besar kalian hari ini, jadi dia berhak mengeluarkan orang- orang yang ia rasa tak layak dan tidak menunjukkan tekad kuatnya. Bila kalian memang tak ingin menjadi prajurit, kalian bisa mundur saat ini juga, sebelum saya pergi.”
Semuanya hening, tidak bersuara. Tidak ada satu pun di antara angkatan muda itu yang ingin mengundurkan diri dan menganggap latihan mereka main- main.
“Bagus sekali!” puji Yazid. Sekarang, mulailah kenakan pakaian perang kalian. Ketika Tuanku Alif memberi aba- aba, kalian akan mengikuti beliau ke sungai.”
Seluruh calon prajurit itu dengan sigap berbalik arah dan mengenakan pakaian besi yang mereka tinggalkan di tempat istirahat di belakang. Yazid tetap tegak berdiri di tempatnya, sementara Alif berputar- putar mengelilingi mereka memastikan kelengkapan.
“Tuanku Alif,” panggil Zainal dalam suara rendahnya –di antara bunyi pakaian logam besi yang berbenturan.
Alif Samudera menoleh. “Ada apa, Zainal?”
“Bolehkah saya tahu mengapa Panglima Gafar Ali tidak hadir hari ini?”
Alif menggelengkan kepala. “Itu bukan urusanmu sama sekali, Zainal. Baik kau segera menuju sungai bila selesai bersiap- siap.”
“Tapi, Tuanku Yazid Alam pun tak dapat pula melatih hari ini,” katanya dengan nada mengejek. “Jumlah kami cukup banyak Tuanku, dan biasanya Tuanku tidak sendiri. Ada Panglima Gafar beserta Tuanku Yazid. Dapatkah nanti Tuanku mengajari kami cara bertahan di air? Maksud saya –tentulah ilmu beliau berdua ini jauh lebih baik kami dapatkan pula, dan baiknya kita tidak membuang waktu sekarang dengan kepandaian biasa sebagaikan ini.”
Wajah Alif Samudera memerah. Ia tiada dapat berkata- kata, sebab ia paham benar bahwa Zainal baru saja meragukan kemampuannya melatih. Memang, ia berada setingkat di bawah Yazid, dan ilmunya pun belum sampai.
Zainal meludah tak jauh dari Alif Samudera tanpa kata lagi –bahkan kawan sesama calon prajurit tahu bahwa ia benar- benar menghina Alif.
Namun Yazid Alam memiliki mata dan telinga yang tajam hingga mampu mendengar perkataan ini di antara kehebohan pakaian besi dan pedang.
“Zainal!” teriaknya keras. “Adakah engkau ingin berlatih hari ini atau tidak? Bila engkau meragukan Tuanku Alif, artinya engkau juga meragukan kemampuanku dan Panglima Gafar. Dan pengalaman prajurit berperang di air bukanlah kepandaian biasa!”
Anehnya, meski suara Yazid begitu menggelegar, wajahnya sama sekali tiada menunjukkan kemarahan. Ia terlihat tenang sekali. Hal sebagaikan itu malah membuat seluruh calon prajurit itu terdiam, rasa takut dan gugup menyelimuti mereka. Serta- merta Yazid mendekati Zainal, mengambil pedangnya lalu berkata, “Jika kau merasa benar dan paling hebat di sini, cobalah ambil kembali pedangku darimu! Bila kau bisa, engkau akan kuangkat menjadi kawan Alif untuk melatih calon prajurit lain. Bila kau tidak bisa –dan aku yakin benar kau sama sekali tidak bisa –keluarlah hari ini juga, kembali ke rumah Emak kau!”
Wajah penuh cemooh Zainal tadi berganti dengan rupa memucat. Ia memang tidak terlalu suka Alif dan meremehkan kemampuannya, namun semua kesombongannya itu mampu luntur di hadapan Yazid –berganti dengan rasa takut.
“Ampunkan saya, Tuanku Yazid. Saya tidak bermaksud merendahkan. Saya hanya—“
“—bertanya?” sambung Yazid. “Engkau hanya bertanya, bukankah itu yang hendak engkau katakan?”
Zainal berlutut di tanah, bersujud- sujud memohon maaf. “Ampunkan saya, Tuanku Yazid. Saya tidak akan mengulangi kelancangan ini lagi.”
“Memang engkau tidak akan mengulangi kelancanganmu, tapi benih kelancangan masih ada dalam dirimu,” kata Yazid. Rupanya terlihat seperti Raja Syamsir yang berang, namun dengan ketenangan yang bengis. “Cucilah hati dan mulutmu yang kotor, sebelum engkau meluruskan lagi niatmu untuk menjadi calon prajurit istana, Zainal!”
***
Setelah usai menancapkan kata- kata penuh ketegasannya pada Zainal, Yazid kembali melanjutkan latihan hari itu. Ia awasi juga untuk sementara waktu, sebelum benar- benar menyerahkannya pada Alif. Ia tahu Alif memang agak lemah wataknya, tidak suka debat- mendebat dan berbantahan sebagaimana si pemula Zainal itu perbuat padanya. Tapi Alif adalah salah satu prajurit istana paling cakap yang ia kenal, apalagi ia bukan anak sembarang orang.
Selepas memberi kuasanya pada Alif, Yazid menuju ke ruang pertemuan tempat Ayahanda Baginda dan Panglima Gafar berada. Ia menyalam hormat sekaligus mohon ikut serta dalam pertemuan itu, dan tampaknya Yazid belum tertinggal jauh benar.
“Saya belum ada pikiran, Syamsir, tentang siapa yang mungkin melakukan itu semua,” ujar Panglima Gafar. “Apa pelakunya orang luar Sepinang yang ingin mengawasi kita dan melenyapkan hasil bumi negeri kita di gudang itu?”
“Bisa saja, Gafar,” sahut Baginda. “Ada terlalu banyak kejadian akhir- akhir ini. Kita pun disibukkan oleh hari besar gelanggang negeri yang akan mendekat pula, dan kita menjalin banyak hubungan dagang pula dengan negeri lain. Di tengah sibuk- sibuk ini bisa saja orang menyelusup masuk sebagai saudagar.”
“Kita tidak boleh lupa pula dengan surat dari Sri Diraja Pulau Besar, Ayahanda,” tambah Yazid. “Bila penguasa Pulau Besar itu ingin mengadu domba kita dengan Sepinang dan ia merasa buah usahanya itu hanya kegagalan belaka, mungkin dia mengubah niatnya agar memulai penghancuran negeri kita perlahan. Melalui kelaparan, misalnya.”
“Ya, kau benar sekali, Yazid. Dan kita telah tersilap tidak mengawasi benar siapa saja yang keluar masuk negeri ini.”
Panglima menambahkan, “Akan tetapi untung saja yang terbakar baru beberapa karung hasil pertanian. Bila sudah banyak yang dilahap api, entah apa jadinya negeri kita. Sebagian hasil upeti dari rakyat pun kita simpan di sana sebagai persediaan musim kering.”
“Syukur Alhamdulillah, Gafar. Sepertinya langkah yang bisa kita ambil sekarang adalah menambah penjagaan di jalur keluar- masuk dagang Sepinang,” ujar Raja sembari mengelus misainya. “Kita juga perlu menambah pengawalan di gudang, sebab kita pun tiada dapat membuat gudang cadangan lain untuk bakal persediaan. Akan butuh waktu lama.”
Yazid dan Panglima Gafar mengangguk membenarkan, akan tetapi sang Panglima yang berambut memutih itu tampak memiliki satu hal lain dalam kepalanya.
“Tapi bila memang pelakunya orang luar, Syamsir, tidakkah menurutmu pembakaran itu ada pula hubungannya dengan perakitan kapal yang akan kita lakukan?”
Berkerut kening Baginda. “Mengapa?”
Panglima Gafar menghirup napas dalam- dalam. “Jika memang Sepinang dan Seperca ingin diadu domba oleh Sri Raja Pulau Besar, ada mungkin juga dia telah melakukan adu domba negeri kita dengan negeri- negeri kecil lainnya. Para saudagar yang sering berkunjung ke sini pasti ada mengetahui kalau Sepinang akan merakit kapal perang besar, sebab dulu kita pernah meliburkan hari Pasar setengah hari ketika melakukan pengangkutan bahan. Orang pelaku fitnah ini dapat memutarbalikkan cerita, dengan mengatakan bahwa kita membuat kapal itu untuk menyerang negeri- negeri lain. Kau ingat tentunya, Syamsir? Kayu bahan kapal semua kita letakkan di gudang negeri.”
“Benar. Kau benar sekali, Gafar. Kita tidak tahu yang mana kawan atau lawan kita saat ini. Tapi perhelatan gelanggang negeri ini pun tiada bisa kita abaikan pula. Selesai acara helat negeri, kita akan memokokkan perhatian pada perakitan kapal dan mengawasi tindak- tanduk orang- orang yang masuk ke sini. Adakah orang- orang yang engkau curigai, Gafar? Dan Yazid, anakku?”
Sang Panglima berpikir sejenak, namun Yazid tiba- tiba teringat perkataan Syahidah adik perempuannya, serta kegelisahannya mengenai Badruddin. Badruddin tidak hadir saat jamuan semalam, dan di tengah malam buta ia mengendap- endap membawa sekepal logam emas. Anehnya pula, mendadak semua itu membawanya pada percakapannya dulu sekali dengan Badruddin, tatkala adiknya itu meminta agar pembinaan kapal diurus olehnya.
“Ayahanda,” panggil Yazid, “Hamba ingin bertanya, apakah kita bisa mengetahui siapa saja orang- orang yang berperilaku lain dari biasanya yang ada di istana dan sekitaran istana? Dan juga di dekat gudang, dapatkah kita melakukan itu, Ayahanda?”