Tuan Guru

1242 Words
Yusuf, pemuda bertubuh coklat dan kekar itu, tengah duduk- duduk di balai kecil terbuka tak jauh dari istana utama Seperca. Ia terlihat berusaha benar untuk menyatukan pikirannya memahami kertas- kertas kulit kayu yang ada di atas meja, tapi sulit sekali untuk Hamid Yusuf memokokkan pikirannya pada satu tempat. Ia baca lagi kalimat- kalimat Arab- Melayu yang terurai di kertas itu, tersimpan dalam tinta hitam yang memudar. Namun tetap saja ia tak mampu. Ia lebih memilih berlatih beladiri sebagaikan silat, belajar berperang atau berkuda daripada belajar dari bacaan- bacaan. Pelajarannya yang butuh banyak gerak tak dapat disambil bermenung, sedangkan tatkala ia membaca sebagai sekarang, asyik terlamun saja kepalanya, berkisar entah kemana. Terlebih pula bila angin sepoi- sepoi bertiup menghembus ubun- ubun, selepas Zuhur saat matahari mulai merendah. Di balai yang semacam dangau itu, Yusuf dapat saja terbuai memejamkan mata sebab mengantuk. Bunyi tapak- tapak yang ringan dan kecil membangunkan Yusuf dari lamunnya yang kesekian puluh kali. Ia menoleh, melihat seorang anak bujang kecil berlari- lari ke arahnya. Anak itu bersarung, sedang di tangannya ia kepit kitab dan sebatang lidi. Anak itu tiada keraguan mendekati Hamid Yusuf yang duduk di balai- balai, memberi salam penghormatan semampu dia, lalu berkata. “Tuan, ada surat yang mesti Tuan Guru sampaikaan kepada Tuan.” “Tentang apakah itu?” tanya Hamid Yusuf ingin tahu. Memang benar, sebab ia duduk dihembus- hembus angin siang itu bersama kertas belajar tak lain adalah menunggu Tuan Guru datang untuk melanjutkan pelajarannya. Beliau sudah berjanji tentang mengajarkan dari buku serta menjelaskan pada Yusuf titik lemah latihan pedangnya tadi. Tapi beliau tak kunjung tiba. Si anak, yang sesak napas sehabis berlari, meletakkan kitabnya di tempat yang diduduki Yusuf, tapi cepat- cepat Yusuf melarang. “Hai, anak muda. Tak baik engkau kembangkan Qur’an di tikar dudukku. Baiknya engkau tinggikan letaknya sedikit, sebab itu kitab suci. Ha, taruhlah di mejaku ini, masih banyak lagi tempat yang kosong di atas meja.” “Tak mengapa, Tuanku. Ini pun bukan kitab Qur’an. Hanya saja kitab belajar huruf Arab.” “Engkau belajar mengaji?” “Ya, Tuanku. Diajarkan oleh Tuan Guru. Tapi masih banyak lagilah yang saya masih belum dapat, karena saya dan teman masih mengeja huruf- per- huruf Arab dan menyambungkannya.” Hamid Yusuf tersenyum seraya menepuk bahu anak lelaki itu. “Tiada mengapa. Kalau engkau tekun, tentu nanti bisa, Insya Allah. Nah, taruhlah kitabmu di atas meja. Meski ini bukan Qur’an pun, kitab ini asal engkau peroleh ilmu juga. Baik kita tinggikan tempat ia sedikit, sebagaikan orang- orang yang berilmu punya tempat lebih tinggi diperbandingkan dengan yang tiada punya.” Anak itu mengangguk, dan tanpa rasa takut ia melangkah naik ke balai untuk meletakkan kitabnya. Ia buka halaman yang berisi secarik kertas terlipat, diikat tali yang terbuat dari serabut. Ia serahkan kertas yang masih rapi itu pada Yusuf. “Ini, Tuanku, surat yang dititipkan Tuan Guru kepada saya. Beliau berkata agar saya menyampaikannya kepada Tuan.” Yusuf mengangguk, lalu mengamat- amati kertas yang sudah berada di tangannya itu. Sementara si anak tampak ingin segera pergi, walau Yusuf segera cepat menyadari. “Hai, bujang! Tunggulah di sini sebentar sementara aku membacanya. Ada yang ingin kutanyakan kepada engkau.” Si anak lelaki itu surut langkahnya, berbalik ke balai- balai lagi. Yusuf menyuruhnya duduk kembali, dan dengan semangat ia membaca surat yang ia terima. Bismillah ar Rahman ar Rahiim, Anandaku Hamid Yusuf, Maafkan saya tidak dapat mengajari engkau untuk sementara waktu. Saya merasa tiba- tiba kurang sehat, dan tabib berkata bahwa perlu beberapa hari sampai satu minggu hingga saya dapat pulih kembali. Mohon maafkan ketidakmampuan saya, doakanlah sakit ini dapat menjadi penggugur dosa. Saya harap, anakku Hamid Yusuf dapat belajar sendiri dari buku- buku yang telah saya berikan kepada ananda kemarin. Untuk latihan perang dan berkuda, ananda bisa mintakan tolong kepada panglima kerajaan Seperca untuk meluangkan waktunya barang sebentar untuk mengajari ananda. Saya akan tuliskan surat permintaan kepadanya untuk dapat meluangkan waktunya untuk engkau. Semoga engkau selalu dalam lindungan Allah. Hamid Yusuf menutup kembali surat itu ke dalam lipatannya. Ia perhatikan anak lelaki itu, yang asyik mengikuti anyaman- anyaman tikar di balai dengan jari telunjuknya. Meski perhatiannya terpokok pada si bocah, pikirannya berputar cepat. Mengapa tiba- tiba sekali Tuan Guru mengalami sakit? Bukankah saat pelajaran sebelum Zuhur tadi, beliau sehat walafiat? “Bujang,” panggil Yusuf, yang segera disambut anak itu dengan tolehan dan duduk yang lebih disopankan. “Apa engkau mengaji di rumah Tuan Guru?” “Ya, Tuan. Sebenarnya saya dan kawan- kawan mengaji nanti selepas Ashar hingga Maghrib, lalu bersambung lagi ba’da Isya.” “Engkau tadi pergi ke rumah beliau?” “Benar, Tuan. Saya tadi mengambil kitab saya ini yang tertinggal di rumah beliau, tapi saat saya hendak bertemu Tuan Guru, hanya Ibu yang dapat saya temui.” Yusuf mengangguk. Ia paham bahwa ‘Ibu’ yang dimaksud anak itu tak lain adalah istri Tuan Guru. “Lalu?” “Ibu bilang, Tuan Guru tengah sakit dan perlu banya berehat. Saya sampaikan kalau kitab saya tertinggal, lalu Ibu pun mengambilkan.” “Adakah engkau tanya kepada Ibu tentang sakit Tuan Guru? Parahkah?” Anak itu menggeleng. “Saya tidak tahu, Tuanku. Saya tidak bertanya. Tapi air muka Ibu tampak risau bagi saya.” Kening Hamid Yusuf mengerinyut. Ia tatap awan yang menggelayut di kejauhan, sembari bertanya- tanya dalam hati tentang apa yang terjadi. Tak berapa lama, ia berterimakasih pada si bocah itu sembari tersenyum. “Nah, untuk ungkapan rasa terimakasihku,” sambung Yusuf, “Engkau bawalah ini.” Yusuf merobek secarik kertas dari kulit kayu yang kosong, mencelupkan batang penanya dan menuliskan beberapa kata. Si anak lelaki itu menatap kerja Hamid Yusuf dengan bingung, sebab ia belum pandai membaca lagi. Usai menulis, Hamid Yusuf menyerahkan kertas itu kepadanya. “Ambillah, bujang. Kau pergi ke dapur istana, di bangunan yang ada asap mengepul dari tungkunya. Nah! Serahkan kertas ini pada salah satu dari pekerja di sana. Katakanlah, kalau engkau membawa pesan ini atas perintah Tuanku Hamid Yusuf.” “Tapi… tapi ini apa Tuanku?” tanya anak itu ragu- ragu. “Apakah ini perintah bahwa saya tak boleh kemari lagi? Yusuf tertawa. “Tidak, tidak. Kau membawa pesan dari Tuan Guru, bukan? Kenapa pula aku memerintahkan orang di dapur untuk melarangmu kemari? Lagipula, engkau ini datang membawa pesan Tuan Guru. Kalau pun untuk bermain, engkau akan kuizinkan pula. Katakan saja pada pengawal depan gerbang kalau kau ingin menemui aku.” Anak itu menggeleng dengan sopan. “Tidak berani, Tuanku. Saya takut. Dan kertas ini, apa isinya, Tuanku?” “Itu perintah untuk orang dapur agar memberimu sedikit hadiah dariku.” “Benarkah?” tanya anak itu lagi. “Tapi maukah menerimanya, Tuanku? Maukah mereka percaya pada saya?” Hamid Yusuf bergumam sendiri, lalu meminta kembali kertas itu. Ia memanaskan lilin yang ada di dekat kotak tintanya, lalu menerakan segel cap istana pada robekan kertas tadi. “Ini kertasnya kuberikan padamu,” kata Yusuf, “Mereka pasti akan mempercayaimu sebab sudah ada segel kerajaannya. Ayo, segeralah ke dapur sebelum habis.” Anak itu masih bingung memikirkan apa yang habis di dapur, sedangkan Yusuf tertawa senang melihat tingkah laku si anak bujang. Ia tetap memasuki tempat terjerang tungku- tungku istana, dan saat waktu berselang, keluarlah ia lagi dengan tambahan daun jati kering berisi yang ia pegang di tangan. Daun jati itu membungkus penganan seperti kue dan manisan khas kerajaan, yang tampak begitu besar sehingga jelaslah bahwa Yusuf telah menyuruh pekerja dapur agar memberi anak itu penganan sebanyak mungkin. Senyum mengukir di bibirnya tatkala melihat Yusuf lagi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD