Orang yang mendengarkan percakapan antara Yazid dengan seorang prajurit itu segera keluar dari tempat persembunyian. Ia memang terduduk sejenak, sebab tidak menyangka Yazid akan berbuat secepat itu untuk menuntaskan masalah kebakaran; terutama Yazid telah mempercayakan masalah itu pada salah seorang anggota prajurit terlatih dan pandai yang ia juga kenal. Dengan kaki mati rasa karena terlalu lama berjongkok, ia mengendap- endap keluar dari semak- semak, sebab kedua orang tadi telah pergi jauh dari sana, tidak terlihat lagi. Begitu tergopoh- gopoh ia, sampai- sampai beberapa kali kakinya tertarung oleh batu dan jalan nan tak datar. Tapi ia harus, harus secepat mungkin sampai di tempat penginapan dan pelatihan prajurit muda. Tak putus ia berlari sejak hingga mencapai tujuannya, sampai napasnya sesak.
Waktu matahari sepenggalah naik begini, angkatan prajurit muda memang diberi istirahat sebentar, usai berlatih di halaman kosong tak jauh dari istana. Mereka ditempa sedemikian rupa sejak usai subuh, jadi mereka diberi waktu rehat untuk bebersih dan makan.
Orang itu berhenti berlari, menegakkan tubuhnya dan menyingkirkan daun- daun dan sisa tanah yang menempel di bajunya yang bagus itu, sebab ia juga tak mau kehilangan muka di depan orang- orang muda dan hijau ini. Ia berjalan ke arah satu pintu dengan dagu naik dan pongah, lalu mengetuknya.
Tak lama baginya agar ia dapat menemui salah satu prajurit itu –Zainal. Tangannya mengisyaratkan Zainal agar mengikutinya untuk menjauh dari rumah para prajurit agar tidak dicuri dengar, dan Zainal pun patuhlah.
Begitu sudah dirasa aman, orang itu berhenti. Ia berdiri berhadap- hadapan muka dengan Zainal, yang tampak memucat sebab mengira telah berbuat kesalahan. Pemuda prajurit baru itu tiada berpakaian lengkap lagi, entah- entah ia sedang makan ketika orang itu ingin menemuinya.
Ia telan ludahnya penuh rasa takut sembari memberi salam hormat, lalu berkata, “Ada apakah gerangan sebab Tuanku Badruddin ingin menemui saya saat ini? Maaf jika pertanyaan saya terdengar lancang, tapi saya yakin yang ingin Tuanku sampai tentulah sangat penting dan mendesak.”
Orang di hadapan Zainal –yang memang tak lain adalah Badruddin –menggemeletukkan giginya dalam diam. Ia benar- benar kesal dengan kecerobohan yang telah dilakukan prajurit ingusan di mukanya, tapi ia tahan juga amarahnya.
“Aku tak akan berbasa- basi padamu, Zainal, sebab ya, ini adalah hal yang penting dan mendesak. Engkau pasti masih ingat perintahku di malam itu? Malam yang sudah kita sepakati dulu dengan harga sekantung emas?”
“Ingat, Tuanku. Tuan sudah membayar harga mahal pada saya, jadi perintah Tuan pun saya ingat- ingat dalam kepala.”
“Saat engkau pergi ke gudang negeri untuk menyalakan api, apa engkau sungguh yakin tidak bertemu dengan siapapun?”
Zainal menggeleng dengan gemetar. “Tidak Tuanku, saya sudah hafal benar dengan waktu- waktu para penjaga menjauhi gudang jadi saya yakin kalau tidak ada orang yang mengawasi saya.”
“Tapi bagaimana dengan pohon kerimbunan? Tidakkah mungkin menurutmu ada yang memperhatikanmu dari sana?”
“Itu –saya tidak tahu, Tuan Badruddin.”
Badruddin mendecakkan lidahnya kesal. “Ada yang ingin kutanyakan lagi. Apa hiasan di pangkal pedangmu ada yang patah?”
“Ada, Tuanku, tepat dekat dengan bilah pedangnya. Tuan pasti sudah tahu bahwa pedang yang diberikan untuk prajurit muda berlatih bukanlah pedang yang benar- benar bagus, jadi—“
“Ya, aku tak perlu mendengarkan tentang itu! Sekarang dimana patahan hiasan itu kau buang?”
“Tidak saya buang, Tuanku. Saya selalu membawa- bawanya dalam kantung pakaian prajurit saya, dan—“
“Tunjukkan padaku!” pinta Badruddin.
Tanpa ragu, Zainal meraba- raba isi kantung pakaiannya. Tapi ia tidak menemukan yang ia cari. Wajahnya memucat dan bingung.
“Ampun, Tuanku! Sepertinya saya telah menjatuhkannya di suatu tempat.”
Tanpa aba- aba, secara begitu mendadak Zainal merasakan tempelengan keras di kepalanya, hingga ia terdorong ke samping sebab kekuatan si penempeleng itu.
“Pandir benar, engkau! Sekarang kau hanya akan menunggu masa hingga engkau ditangkap karena patahaan hiasan pedang bodoh itu!” teriak Badruddin dengan napas naik- turun.
Zainal terkejut, matanya membelalak. “Ap-apa maksud Tuanku?”
“Kau belum mengerti juga? Mereka telah menemukan sebuah patahan pangkal pedang di sekitar gudang yang sebelumnya tak ada. Mereka juga tahu pasti bahwa itu milik prajurit muda, dan hanya butuh satu kedipan mata untuk menemukanku setelah mereka berhasil menangkapku nanti!”
Napas Zainal berbunyi keras, dan tubuhnya makin gemetar hebat. Ia tak mampu menjawab, namun Badruddin sudah mencengkeram baju depannya dan mendekatkan matanya ke wajah Zainal.
“Ini akibat kecerobohanmu. Bagaimana engkau akan menebusnya, ha??”
“Ampun, ampun Tuanku,” pinta Zainal sambil menangkupkan kedua belah telapak tangannya. Wajahnya memohon pertolongan, tapi otaknya ada berpikir dalam waktu sesempit itu. “Tuanku jangan merasa cemas, sebab banyak prajurit yang memilik pedang dengan hiasan pangkal yang patah. Jadi akan sulit bagi mereka menemukanku dan menemukan Tuan.”
“Betulkah? Tapi kau perlu tahu, Zainal, bahwa mereka sudah mempersempit pencarian menjadi tiga hingga lima orang yang mereka curigai berkeliaran malam itu. Sudah pasti engkau termasuk.”
“Itu—“ ujar Zainal memulai, “Saya akan mencoba mengingat- ingat siapa prajurit muda lain yang berkeliaran saat itu, Tuan. Bila perlu, saya akan patahkan pangkal pedang mereka berlima, agar penyelidik itu tak mampu mengetahui siapa pelaku sebenarnya.”
Perkataan Zainal masuk juga ke akal Badruddin. Ia pun melepaskan cengkeraman tangannya di pakaian Zainal. “Begitu saja? Tak ingatkah engkau hal lain yang bisa memerangkapmu dari penangkapan selain itu?”
“Hal lain sebagaimanakah, Tuan?”
Badruddin melengos kasar. Ia ingat bahwa prajurit kepercayaan Yazid itu telah mengatakan, bahwa ada hal lain yang bisa memberatkan pelaku dan menjadi bukti yang tak terbantahkan. Tapi mereka tidak memperbincangkan hal itu di hadapannya, dan ia pun tak bisa membayangkan apa itu.
“Sudahlah,” ujar Badruddin kesal. “Tapi kau harus ingat- ingat di kepala engkau yang besar ini, Zainal, bahwa ketika keberadaanku tercium sedikit dan mereka tahu aku ada hubungannya denganmu, bersiap- siaplah menunggu hukuman dariku.”
Badruddin berbalik cepat, meninggalkan Zainal dalam perasaan kalut.
***
Permaisuri Aziya berjalan- jalan di sekitar dapur istana yang berasap. Ia berputar- putar memperhatikan tungku yang menyala dan para pelayan yang sibuk memasak, tapi itu hanya sekedar basa- basi saja. Tempat yang ia tuju sebenarnya ialah sebuah sudut dekat tungku air dan gelas- gelas. Di sana tampak seorang pekerja dapur tengah membuat minuman yang ia tuang dalam cangkir mewah.
Permaisuri memberi dehemannya sedikit, membuat pekerja itu sadar bahwa ia diawasi Permaisuri. Ia membungkuk penuh hormat. “Daulat, Ibu Permaisuri, hal apakah yang membawa Ibu Permaisuri kemari? Jika ada kiranya perlu sesuatu, bolehlah patik antarkan ke rumah kebesaran.”
“Tidak ada,” sahut Permaisuri Aziya. “Aku hanya ingin bertanya, apakah minuman yang baru kau buat itu untuk Tuan Guru Hamid Yusuf?”
“Benar sekali, Ibu Permaisuri. Saya akan meletakkan penganan ringan juga sebelum membawanya ke Tuan Guru.”
“Apakah Hamid Yusuf sedang tidak belajar?”
“Baru saja selesai, Ibu Permaisuri. Pelajaran Tuanku Hamid Yusuf akan disambung lepas zuhur nanti.”
Aziya mengangguk- angguk seraya memperhatikan pelayan dapur itu memasukkan penganan khas kerajaan ke dalam wadah- wadah perak dan emas berukir. “Kalau begitu, biar saya antarkan ini kepada Tuan Guru.”
“Jangan, Ibu Permaisuri,” sergah pelayan itu dengan kesopanannya. “Ini adalah pekerjaan saya, maka sayalah yang seharusnya menyelesaikan. Dan apalagi kata seisi istana bila sampai Ibu Permaisuri yang membawanya? Saya akan dikeluarkan dari pekerjaan saya.”
Permaisuri Aziya tersenyum tenang. “Engkau tak usah cemas. Biar aku yang menjawab segala pertanyaan nanti. Aku yang bertanggungjawab pula jika ada yang memarahimu. Lagipula, aku ingin membawa ini sebab ada hal yang ingin kubincangkan dengan Tuan Guru. Aku tidak ingin terganggu di tengah- tengah percakapan nanti.”
“Tapi, Ibu—“
“Nah sekarang pergilah! Jangan engkau berlebih risau. Engkau kerjakan pekerjaan lain, dan ini adalah perintah dariku. Pergilah.”
Sekilas pelayan itu membungkuk sejenak dengan menggumamkan maafnya, lalu berlalu ke bagian dapur yang lain. Semua orang di sana begitu sibuk, sampai- sampai mereka tiada memperhatikan sebuah bungkus kecil yang Permaisuri Aziya keluarkan dari balik selendang.