Tuanku Putri Syahidah menghentikan gerak batang pena alangnya, lalu memperhatikan gerak lembut sang dayang. Syahidah resah benar tatkala ia memperhatikan dayangnya yang tak sebagaimana biasa itu. Nilam memang mengawankannya mulai dari pagi semacam biasa, dan ia juga ada di ruang duduk kala matahari sepenggalah naik sekarang. Ia tetap tersenyum, tapi Syahidah bisa menerka ada sesuatu yang dipendam Nilam jauh dalam dirinya, namun ia samarkan juga dengan gelak yang ia lebar- lebarkan.
Syahidah meletakkan batang penanya dengan hati- hati, menyusunnya dalam sebuah kotak kayu bersama tempat tinta. Sedang Dayang Nilam meletakkan baki berisi secangkir perak minuman hangat. Begitu ia melihat Syahidah telah menyusun- nyusun tempat pena, terhenran- heranlah Nilam.
“Engku Putri… sudah selesai menulis pelajaran dari Syaikh El- Beheira?”
“Belum, Nilam.”
“Lalu mengapa Engku berhenti menulis? Maafkan saya sebab bertanyakan ini Engku, akan tetapi saya ingin tahu apakah Engku Putri baik- baik saja.”
Syahidah menutup kotak alat tulisnya, lalu mengembangkan senyum yang menenangkan. “Tiada mengapa, Nilam. Aku sehat wal'afiat, alhamdulillah.”
“Apakah ada yang akan Engku Putri kerjakan sesudah ini?”
“Tidak, tiada yang benar- benar penting, kurasa.”
“Lalu –mengapa?”
Sebelum Nilam menyudahi kalimatnya, Syahidah sudah menggenggam erat pergelangan tangan dayangnya itu. “Engkau ingin tahu kenapa aku menghentikan kerjaku? Itu sebab karena engkau, Nilam.”
Wajah Dayang Nilam tiba- tiba memucat takut. “Apa salah saya, Engku? Apa saya melakukan sesuatu yang membuat Engku Putri tak enak hingga tak ingin menulis lagi?”
Syahidah tertawa kecil. “Tiada salah yang telah engkau lakukan pada diriku, Nilam! Tapi aku paham benar ada sesuatu yang salah pada dirimu sehingga kau lebih memilih berdiam diri semacam ini.”
“Semacam ini bagaimanakah maksud Engku?”
“Nilam, aku sudah mengenalmu sejak kecil lagi,” bisik Syahidah. “Aku tahu benar sifat kau, dan meski engkau berusaha untuk tetap riang di depanku sejak pagi ini, aku bisa melihat keriangan itu yang sebenarnya dalam hatimu, Nilam. Ada apa, sebenarnya? Adakah yang menyusahkan hatimu?”
Dayang Nilam tertunduk. Ia mempermainkan ujung baki yang ia bawa tadi, tanpa mengucap sepatah katapun.
“Aku juga melihatmu petang kemarin sebagaikan habis menangis. Apa yang sedang engkau sedihkan?” tanya Syahidah lagi sembari mengurut- ngurut pergelangan tangan dayangnya yang ia pegang erat sejak tadi. “Kita sudah berkawan erat semenjak kecil, jadi engkau tidak usah sungkan untuk menceritakannya padaku. Jangan anggap aku Engkumu, sebagaimana aku tak pernah menganggapmu dayangku.”
Nilam menggeleng dengan ragu. “Tidak ada, Engku. Benar- benar tidak ada. Saya hanya… sedikit terkenang dengan emak- bapak saya.”
“Benarkah hanya itu?” tanya Syahidah dengan pandang selidik. “Apa tidak ada yang lain?”
“Benar, Engku. Saya tidak ingin merepotkan Engku dengan kesusahan saya sebab terkenang akan masa lampau, bahkan saya pun tak ingat lagi bagaimana bentuk rupa wajah orangtua saya, sebab mereka telah meninggalkan dunia fana ini sejak saya kecil lagi.”
Syahidah mengangguk. “Bila ada rasa sesak air mata yang engkau tahan dan ingin engkau lepaskan karena apapun itu, jangan engkau tangisi sendiri, Nilam. Ada aku tempat engkau bercerita. Kita memang kadang terkenang masa lampau, dan itu tiada mengapa. Aku pun pernah terkenang dengan Ibunda, meski kala beliau meninggal dulu aku pun masih kecil, tapi ada jugalah rasa kehilangan yang tak mampu diperikan. Aku pun tahu engkau gadis yang kuat, tapi ada masanya juga tiap kesusahan mesti dibagi dengan orang lain.”
Nilam tersenyum datar. “Saya tidak ingin menyusahkan Engku pula dengan masalah saya.”
“Aku tak pernah merasa disusahkan.”
“Tapi saya lihat, Engku pun punya masalah yang perlu dipikirkan. Ada masanya pula saya dapati Engku berdiam diri akhir- akhir ini, dan saya tak ingin Engku merasa gelisah,” tambahnya seraya menyorongkan cangkir perak yang ia bawa tadi. “Saya bawakan Engku teh jahe hari ini, supaya pikiran Engku tenang.”
Syahidah terperangah melihat cangkir dengan isi yang masih mengepul itu. “Tak dapat aku mengatakan apapun selain terimakasih dariku, Nilam! Aku memang memikirkan beberapa perkara beberapa waktu ini, tapi tidaklah itu menjadi penyebab engkau tak dapat bercerita tentang apapun padaku.”
Raut Nilam tak dapat ditebak dan dilukiskan, namun kemurungan jelas menggantung dalam dirinya. “Minumlah Engku, supaya senang hati saya. Dan saya berjanji akan membuatkan Engku minuman ini saban hari agar ringan beban hati Engku.”
“Tentu, akan kuminum. Tapi mulai besok, buatlah untuk dirimu juga, sehingga kita bisa minum bersama- sama. Kau mau?”
Nilam menyuarakan persetujuannya meski kepalanya masih menunduk. Sembari Syahidah mengangkat cangkir peraknya, ia perhatikan juga wajah Nilam yang tampak masih sendu seakan belum keluar benar rasa yang ia pendam.
“Wah, nikmat sekali!” puji Syahidah seraya melayangkan pandangan ekor matanya pada Nilam. “Benarkah engkau tak ada hal lain yang dipikirkan selain teringat kedua orangtuamu, Nilam? Sebab tampak bagiku, engkau memikirkan hal lain pula.”
Sekali ini, Nilam mengangkat wajahnya. Ada ketegasan dan tekad dalam matanya, meski hatinya masih masygul juga. “Sungguh, Engku. Tiada lagi yang ada dalam kepala saya sekarang selain perkara itu. Nah, mengapa tidak Engku saja yang bercerita tentang hal yang menggelisahkan Engku sekarang?”
Pertanyaan Nilam itu memunculkan begitu banyak perkara yang berkisar- kisar kini dalam benak Syahidah. Pembicaraannya dengan Syaikh El- Beheira dulu, rancang pertemuannya dengan sang syaikh dan Hamid Yusuf pekan depan, gelanggang yang akan dimulai minggu ini, kebakaran di gudang negeri, gelagat adiknya Badruddin yang begitu lain di malam kebakaran terjadi, dan aduannya pada sang kakak, Yazid.
“Hanya sedikit resah mengenai gelanggang nanti, Nilam,” dengan hati- hati. Ia tidak ingin membuat Nilam tambah banyak pikiran.
“Mengapa, Engku? Sebab apakah gelanggang membuat Engku resah? Bukankah gelanggang akan sangat ramai dan menyenangkan? Seluruh penjuru negeri kita berkumpul untuk melakukan pertandingan.”
Syahidah menggerakkan kepalanya sedikit, tanda berpikir. “Benar sekali. Engkau ikut menontonnya bersamaku, Nilam?”
“Bila Engku menginginkan saya ikut.”
“Nah, itulah! Itulah yang kuresahkan apakah engkau mau kuajak menonton gelanggang ini atau tidak. Aku tahu engkau akan agak sibuk di hari- hari besar begitu, dan engkau akan diberi tugas cukup banyak oleh istana.”
“Itu bisa saya atur, Engku,” ujar Nilam. “Engku tak perlu risau. Tapi saya rasa, Engku juga agaknya memikirkan kejadian yang baru menimpa negeri kita? Kebakaran gudang?”
Syahidah menghela napas panjang. “Kau benar- benar sudah mengetahui isi hatiku, Nilam. Aku memang memikirkan itu pula,” jawab Syahidah seraya mengangkat lagi cangkirnya. Ia menikmati teh China yang wangi nan perlahan. Rasa jahe nan pekat menjalar di kerongkongan, menenangkan kegelisahannya. “Ada beberapa dugaanku tentang kebakaran ini, Nilam. Terutama mengenai apa sebab gudang itu dibakar.”
Nilam mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Aku punya dugaan tentang musabab itu, meski aku tidak mengatakan pada siapapun. Aku tidak ingin membuat Ayahanda dan Kakanda Yazid risau tak berketentuan tentang hal yang belum pasti. Tetapi aku juga menduga- duga pelaku yang telah menyalakan apinya, dan aku yakin benar itu.”
“Bagaimana mungkin, Engku? Janganlah Engku memberi kira pada Tuanku Badruddin lagi?"
“Aku melihat beberapa hal yang agak berlain sore itu, Nilam. Tak dapat aku sebutkan siapa orangnya padamu, sebab aku pun takut pula sembarangan menuduh. Tiada aku memiliki bukti, sebab aku hanya bertumpu pada firasat dan tabiat yang kuperhatikan.”
“Sudahkah Engku menyampaikan ini pada Tuanku Yazid Alam?”
“Sudah,” sahut Syahidah menaikkan bibirnya, yang menunjukkan ia tak begitu yakin dengan apa yang ia katakan. “Kakanda sepertinya akan segera mengusut benang masalah itu dan siapa pelakunya. Semoga dia bukan orang yang telah kukira.”