Mengadu

1470 Words
Panglima negeri Seperca sampai tepat di kala Baginda Syamsir Alam Syah usai pula berbincang dengan putra tertuanya. Baik baginda maupun Yazid tengah beristirahat dari capai mereka di selasar tatkala pengawal istana mendatangi keduanya. Ia menabik dalam- dalam, sedang baginda berkerut keningnya. Ia kesal. “Terlebih dulu hamba mohon ampun, Baginda Raja dan Tuanku Yazid Alam, sebab hamba telah mengganggu masa rehat Baginda dan Tuanku. Akan tetapi mesti jugalah hamba mendatangi Baginda beserta Tuan, karena ada panglima dari Negeri Seperca yang hendak menyampaikan hal penting.” “Apa maunya?” bentak Baginda Syamsir. Walau tubuhnya masih panas dingin karena sakit yang belum hilang, tapi kekuatannya tiada melemah. “Ampun, Baginda. Beliau, panglima ini, menyampaikan perkataan sebagai utusan langsung dari Raja Seperca.” Baginda terdiam sejenak, berpikir. Yazid menoleh pada ayahnya seraya berkata, “Wahai Ayahanda, tiadakah menurut Ayahanda kedatangan panglima ini berhubungan dengan ihwal yang kita perbincangkan tadi jua? Mungkinkah mereka pun mendapat masa’alah yang sama?” “Aku merasa begitu pula, Yazid,” tegas Baginda Syamsir tanpa basa- basi. “Suruhlah panglima itu kemari menghadapku!” Pengawal itupun membungkuklah –penuh rasa hormat –lalu ia berbalik. Sejurus kemudian, ia kembali bersama panglima Seperca yang berbadan kokoh dan tegap, hampir serupa dengan Panglima Gafar Ali. Hanya, ia tampak lebih muda. Ia bersegera memberi hormat. “Salam hormat saya haturkan kepada Baginda Raja Pulau Sepinang, Raja Syamsir Alam Syah beserta putra, Tuanku Yazid Alam. Dan salam hormat yang terlebih saya haturkan pula atas Baginda saya, Raja Asyfan Nazhim, kepada Baginda Syamsir dan Tuanku Yazid.” Baginda mengangguk cepat, dan panglima melanjutkan, “Kedatangan saya kemari tiada lain adalah menyampaikan sebuah surat dari Baginda Asyfan. Beliau sangat mengharapkan kedatangan Baginda untuk bersedia datang ke negeri kami, Seperca, tersebab hal ini adalah ia amat penting dan mendesak. Baginda Asyfan juga menitahkan pada saya, apabila Baginda Syamsir tiada dapat ke sana, sudilah kiranya Baginda Syamsir mengutus saya kembali untuk menyampaikan masa kosong Baginda, asalkan perembukan ini segera dilakukan.” Dengan hati- hati dan sopan, panglima memberikan surat kepada Baginda Sepinang, Syamsir. Beliau menggores tera cap kerajaan Seperca dengan pisau suratnya hingga perkamen itupun terbukalah. Dalam hening, mata baginda bergerak membaca tulisan panjang Asyfan Nazhim yang penuh hingga ujung kertas, ditunggui oleh Yazid dan sang panglima. “Baiklah,” kata Baginda Syamsir tiba- tiba, “Engkau tolong sampaikan kepada Raja Asyfan Nazhim, bahwa saya bersedia untuk datang sore ini juga ke Seperca. Ba’da Ashar, kapal saya akan berlayar ke sana.” “Baik, Baginda. Pesan Baginda saya terima,” sahut panglima itu sambil menekurkan kepala. “Apa ada lagi yang bisa sampaikan, Baginda?” “Untuk saat sekarang, cukuplah itu saja,” kata Baginda Syamsir. “Kalau begitu, saya mohon izin kembali ke negeri Seperca, Baginda yang mulia, untuk menyampaikan pesan ini secepat saya dapat.” Usai ia mengucapkan terimakasihnya sekali lagi dan memberi penghormatan, panglima itupun pergi dari selasar. Baginda Syamsir pun memilin misainya, seraya menggigil sedikit. “Tak apakah, Ayahanda?” tanya Yazid penuh kecemasan. “Bila Ayahanda rasa masih agak kurang sehat, baik kiranya Ayahanda beristirahat dulu, supaya nanti dapat jua datang ke Seperca. Atau Ayahanda dapat percayakan urusan ini pada saya, bila ini memang teramat mendesak.” Sesaat baginda tersenyum pada anaknya itu. “Tiada mengapa, Anandaku. Masalahnya, ini tak hanya mendesak, akan tetapi juga sangat penting sehingga kedatanganku tak bisa diwakilkan.” Ia tarik napasnya dalam- dalam, sebelum melanjutkan, “Ini benar seperti dugaan engkau, Yazid, bahwa Seperca juga telah menerima surat nan serupa.” *** Tuanku Badruddin melangkah cepat- cepat sebagai tak tentu arah di jalan berumput- rumput itu, tapi sebenarnya tahulah ia arah mana yang hendak ia tuju. Ia memintas jalan yang lebih pendek, supaya ia bisa memberitahukan perkara ini secepat mungkin. Peluhnya bercucuran, tapi tiada mengapa baginya, sebab senyum Badruddin mengembang ketika ia sudah kembali ke jalan yang bagus dan diratakan. Senyum itu lebih pula lebar saat rumah gedang yang ia tuju tampak persis di pelupuk matanya. Rumah itu sangatlah asri dan terawat. Kayu- kayu tunggaknya kukuh dan mengkilap, dan ukiran- ukiran dindingnya rapat serta rumit. Rumah itu besar dan berdiri sendiri di halaman yang lapang, sehingga teranglah bagi siapapun bahwa pemiliknya adalah orang berada jua. Di kiri- kanan tersusun bunga- bunga cantik dan elok beragam warna, seakan memghimbau orang- orang yang lalu untuk memetik. Tapi tak sedikitpun terbetik di hati Badruddin untuk memperhatikan kembang elok rupa itu, malah ia percepat langkahnya menuju pintu dan segera mengetuknya. Tak lama, pintu dibukakan wanita paruh baya yang menyambut Badruddin dengan hormat. “Wahai, Tuanku Badruddin putra Baginda! Apa hal yang membawa Tuan datang ke sini?” Badruddin mengangguk sedikit. “Makcik, dapatkah saya berjumpa dengan Tuanku Abdul Jalil barang sebentar? Ada hal yang patut saya perbincangkan dengan beliau.” “Tentu, Tuanku,” sahut wanita paruh baya itu seraya mempersilakan Badruddin duduk. Beliau menawarkan minuman dan beberapa penganan, dan selang tak berapa lama, masuklah Tuanku Abdul Jalil dari dalam rumahnya. “Tuanku Badruddin,”  sapanya dengan salam penghormatan, yang dibalas Badruddin dengan cara serupa. “Apa hal yang membawa Tuanku ke sini? Istri saya berkata, bahwa Tuan ingin menyampaikan suatu hal.” “Memang, Tuanku,” sahut Badruddin. “Saya, sebagai putra baginda, sangat menghormati kedudukan Tuanku Abdul Jalil sebagai pemuka adat negeri kita. Semua perkara adat dan silang- selisihnya dengan agama, hanya Tuanku saja yang berkuasa memutuskan, bersama dengan Syaikh El- Beheira. Tiada hal yang lepas dari pengawasan mata Tuanku barang sekecil lalatpun. Tuanku Abdul Jalil jua sudah dikenal lama dengan sikap adil, sebab Tuanku tiadalah mencong ke rakyat atau ke istana. Bila ada hal yang tidak berkenan di hati Tuanku dan berselisih pula dengan paham kita, Tuanku akan segera menindaknya. Tiada peduli mereka orang istana atau rakyat jelata.” Tuanku Abdul Jalil tampak tenang mendengar sanjung pujian itu, tapi kumisnya yang memutih bergerak- gerak menandakan ia tersenyum bangga jua dengan perkataan Badruddin mengenai dirinya itu. “Tuanku Badruddin telah berlebih menyanjung saya. Tapi tidaklah saya menyangkal, bahwa keteraturan negeri ini memang bermula dari kepatuhan akan adat dan agama. Dan bila keduanya rusak, hancurlah negeri Sepinang kita.” “Saya sangat sependapat dengan Tuanku,” kata Badruddin dengan wajah semangat. “Tapi Tuanku, apa hal yang dapat saya lakukan jika memang istana sendiri yang telah berlalai- lalai menjaga marwah negeri kita?” katanya sambil menggeleng- geleng sedih. “Apatah yang dapat saya perbuat, jika saya tahu Baginda Ayah saya telah melanggar adat dan agama, sementara saya hanya putra beliau, Tuanku?” Kini Tuanku Abdul Jalil berubah serius. “Perkara apakah itu, Tuanku, yang telah dilanggar Baginda?” tanyanya. “Bila ini bukan hal main- main, saya bisa membantu Tuanku Badruddin untuk menyampaikan hal ini pada baginda. Saya, sebagai kepala kerapatan adat juga memiliki wewenang penuh pula untuk menegur, tak peduli ia raja atau bukan.” Badruddin kembali menggeleng- geleng sedih. “Ini bukanlah perkara yang dilanggar Baginda, akan tetapi oleh Kakak saya, Kakak Putri Syahidah. Tatkala saya sampaikan hal ini kepada Baginda Ayah, beliau tidak menegur Kakak Putri, melainkan mendukungnya. Apa daya yang bisa saya perbuat?” “Tentang apakah itu, Tuanku Badruddin? Sebab sejauh pengetahuan saya, Tuan Putri Syahidah adalah putri baginda yang elok budi, elok perangai. Tiada mungkin baginya untuk melanggar hal- hal yang berhubungan dengan adat. Sulit bagi saya memercayainya.” Badruddin mengangguk. “Benar, begitupun bagi saya, Tuanku. Akan tetapi, beberapa hari, bahkan berminggu- minggu ini saya melihat Kakak Putri saya telah menemui pemuda- pemuda pelancong dari negeri seberang tanpa rasa malu. Ia tersenyum- senyum, tiada peduli apa perkataan orang sekeliling. Bila rakyat sering melihat ini, apa yang akan mereka katakan, Tuanku? Tentu mereka akan berkata : bagaimana bisa kami dapat mematuhi adat dan agama bila putri raja sendiri berleha- leha melanggarnya di depan mata kami? Tiadakah Tuanku juga berpikir sama?” Tuanku Abdul Jalil mengangguk- angguk mendengar perkataan itu. “Akan tetapi, Tuan Badruddin, bilakah dan bersama siapa Tuan Putri bertemu pemuda- pemuda itu? Jika beliau bertemu sesekali dan ada hal penting rupanya yang mereka bicarakan, saya tiada dapat menegur. Lagipula, bukankah Tuan Putri selalu bersama dayangnya?” “Memang, Tuan. Akan tetapi, sering saya lihat ada masa si dayang itu meninggalkan Kakak Putri sendirian bersama pemuda itu. Dan ini tidak terjadi sekali, melainkan berkali- kali. Jadi apa yang bisa saya perbuat, Tuanku? Kala saya menyampaikan hal ini pada Baginda Ayah, beliau tidak sedikitpun mendengarkan perkataan saya.” “Tuanku Abdul Jalil yang saya hormati, percayalah, saya tiada menginginkan apapun selain kebaikan bagi negeri ini. Hal yang sama juga saya inginkan untuk keluarga saya. Jangan sampai isi istana morat- marit tak berketentuan hanya karena dimulai barang kecil seperti ini. Api kecil dapat melahap barang- barang besar jua. Begitu yang saya tahu, Tuanku.” Tuanku Abdul Jalil berpikir memandangi ukiran kursi yang ia duduki. “Baiklah, Tuanku Badruddin. Saya akan segera menyampaikan masalah ini kepada Baginda Raja, dan meminta kedatangan Tuan Putri pula agar ia bisa mengakui kesalahannya pula.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD