Cakap Panjang

1640 Words
Usai percakapannya dengan putra raja, Tuanku Abdul Jalil tidaklah membuang masanya untuk menyelesaikan masa’alah itu secepat mungkin. Beliau adalah pemuka dan pemangku adat, dan selayaknyalah beliau mengumpulkan semua kepala para pemuka adat untuk merembukkan silang selisih perbuatan yang melanggar. Tapi Tuanku Abdul Jalil adalah seorang tua yang bijaksana. Tahulah ia bahwa ini adalah perkara tak mudah yang melibatkan ananda putri kesayangan Baginda Raja Syamsir Alam Syah, pengadunya pun putra kecilnya –dan tiada yang hendak ia temui selain Syaikh El- Beheira. Tuanku kepala adat yang sudah tua itu kini duduk berhadap- hadapan dengan Syaikh Persia itu, di rumah sang syaikh. Jangggut dan rambut keduanya yang berpacu- pacu memutih menunjukkan bahwa umur mereka memang ada beriring- iringan jua. “Maaf saya haturkan kepada Engku Syaikh sebab datang tiada tahu malu waktu dan tergesa- gesa macam ini,” ujar Tuanku Abdul Jalil seraya menangkupkan tangan. “Janganlah Syaikh menolak kedatangan saya, sebab apa yang hendak saya sampaikan adalah penting dan mendesak kiranya. Saya pun tak bisa memutuskannya tanpa bantuan dari Engku Syaikh.” Engku Syaikh membungkuk sedikit menahan sopan- santun yang melanjut- lanjut dari tetua adat itu. “Tidak, sahabatku Tuan Abdul Jalil. Tuanku janganlah bersyakwasangka tentang kekesalanku perihal kedatanganmu sebab saya tidak merasa ada terganggu sedikit juga. Jika memang penting dan mendesak, maka tentu tepat kita membicarakannya sekarang ini. Dan jangan pula terlalu bersungkan Tuan soal datang kemari. Nah, katakanlah. Apa yang telah membawa Tuan kesini?” Tuanku Abdul Jalil tersenyum sedikit sebelum memulai. “Perihal Tuanku Putri Syahidah, Syeikh. Ananda putri kesayangan Baginda. Saya tak tahu hendak memulai darimana, tapi saya mendapat pengaduan dari Tuanku Badruddin, bahwa Tuanku Putri hari- hari ini sering berjumpa dengan pemuda- pemuda dari negeri lain yang tiada ia beritahu sesiapapun dari keluarga Raja. Mereka berbincang, bergelak tawa di depan rakyat, khalayak keramaian.” Syaikh mendengarkan dengan sabar sambil mengangguk- anggukkan kepalanya sedikit. “Ini tampak berlain menurut saya, Syaikh. Misal saja pada keluarga panglima Gafar Ali. Tuanku Putri pun acap jugalah berjumpa dengan anak panglima, tapi itu bersama panglima Gafar, dalam pertemuan istana, dan sepemgetahuan keluarga,” ujar Tuanku Abdul Jalil. “Bagaimana pendapat Syaikh? Sebab menurut saya perihal ini mesti kita beritahu pada Baginda, agar Tuanku Putri menyadari salah buat yang ia kerjakan. Saya paham, Tuanku Putri tengah muda lagi, bergejolak hatinya walau selama ini Tuanku Putri yang saya kenal adalah putri yang rendah hati lagi menjaga marwah diri. Tapi janganlah kita biarkan beliau sampai lupa dengan adat mengakar kita sebagai Melayu, Syaikh, terlebih sebagai muslim.” “Tentu, saya tak kurang dari sepakat untuk pendapat Tuanku Abdul Jalil.” “Jadi, apa pendapat Syaikh? Apa mesti kita langsung berjumpa Tuan Putri dan menegurnya agar mengakui kesalahannya? Atau perlukah kita berjumpa Baginda Raja?” Syaikh El- Beheira menghirup napasnya satu- dua kali. “Saya pun hendak memohon maaf terlebih juga pada Tuanku Abdul Jalil, sebab ada satu langkah yang tengah saya tempuh berkait dengan masalah ini.” “Apa itu?” “Saya sudah bertemu dengan Putri Syahidah dan berbincang pula dengannya tentang ini Ahad lalu.” Tuanku Abdul Jalil tampak terkejut. Ia segera menegakkan punggung, tapi tidak bertanya apapun melainkan membiarkan syaikh melanjutkan perkataannya. “Benar, Tuan. Putri Syahidah telah membincangkan pada saya tentang ia yang menjumpai pemuda seberang ini. Saya meminta Putri Syahidah agar membawanya datang kepada saya, Tuan, sebab Putri Syahidah memang ada rasa padanya. Saya yakin kalau Putri juga sudah mengatakan ini pada pemuda itu, sebab saya tahu benar Putri bukan gadis yang mangkir janjinya. Sebaliknyalah saya juga berjanji kepada Putri, agar membantu menyampaikan ini pula kepada baginda raja. Baginda memang punya banyak hal negara yang perlu beliau urus- kerjakan, dan saya rasa pun ada pula baiknya saya yang mewakili Putri untuk mengatakan ini pada baginda.” Tuanku Abdul Jalil mengangguk pasti. “Kalau begitu, terang bagi saya masalah ini. Saya tiada lagi perlu mencemaskan pengaduan dari Tuanku Badruddin, dan kita bisa menyegerakan musyawarah dengan raja. Adakah Syaikh bertanya pada Tuanku Putri mengatakan kapan ia dapat datang dan bila pula pemuda ini kembali ke Sepinang?” “Insya Allah. Secepatnya, Insya Allah, Putri akan memberitahu. Bila terasa ada hambatan, saya akan menanyai pemuda ini langsung. Tapi saya hendak meminta kedatangan Tuan Abdul Jalil pula bersama saya, tak kurang dari itu. Karena sebagaimana yang Tuan katakan tadi : Tuan tiada dapat memutuskan sesuatu tanpa saya, dan saya pun tiada pula dapat menyelesaikan semuanya jika bukan dengan bantuan Tuan.” Mendengar itu, Tuan Abdul Jalil lagi- lagi mengembangkan senyum bijaknya. ”Saya tentu tak pungkiri kata- kata Syaikh, tapi saya pun manusia yang bisa khilaf juga. Kita berjalan sama langkah, berdiri sama tinggi, duduk pun sama rendah. Silang selisih negeri, kita selesaikan bersama, Syaikh. Baiklah, jika dapat tolonglah kabari saya segera apabila Putri sudah bertemu Syaikh lagi.”  *** Tatkala Syaikh dan Tuanku Abdul Jalil telah duduk berhadap- hadapan merembukkan pasal adat dan agama, Raja Syamsir Alam Syah dan Asyfan Nazhim pun kini juga telah berhadap muka di balai bendul istana Seperca. Baginda Syamsir datang bersama Yazid yang mencemaskan kesehatan ayahandanya, kalau- kalau buruk tersua di tengah perjalanan. Perjalanan mereka tak diketahui seisi istana kecuali beberapa pengawal khusus dan keluarga saja. Baginda Syamsir sendiri beserta putra tertuanya itu berjubah dan berpakaian seragam prajurit, dan diam- diam berlayar menggunakan kapal kerakah tua yang dipinjam dari salah satu pedagang. Baginda Asyfan segera menyambut keduanya dan membawa ke balai musyawarah istana. Setelah menyuguhkan segala hidangan penganan dan minuman khas Seperca –khusus untuk Raja Syamsir dan Yazid –Asyfan Nazhim mulai berkata- kata. “Aku rasa, apa hal yang hendak engkau bawa adalah sama dengan hal yang aku gelisahkan kini, Syamsir.” Baginda Syamsir menatap kawan lamanya sekaligus Raja Seperca itu dengan raut pemahaman. Ia mengeluarkan seikat perkamen bertera cap lilin Kerajaan Pulau Besar. “Inikah yang engkau gelisahkan Asyfan?” Baginda Asyfan mengangguk, dan menempatkan pula perkamen yang sama persisnya di meja. Ia menggeser perkamen itu sedikit agak ke Baginda Syamsir, lalu mengangguk –memberi isyarat agar kawannya itu mengambil miliknya. Tanpa banyak bicara, keduanya sudah saling bertukar baca surat satu sama lain untuk sesaat. “Tampaknya Sri Raja Pulau Besar membebani Sepinang dengan pajak lebih besar dari Seperca,” kata Baginda Asyfan Nazhim tenang. “Adakah engkau memiliki sangkaan, kawanku, tentang apa asal- mula pajak ini?” “Sama sekali tidak ada, Asyfan. Tapi menurut Yazid, ada maksud tersembunyi di balik semua ini,” jawabnya sambil menoleh pada sang putra tertua. “Katakanlah Yazid, pendapatmu itu,” pinta Baginda Asyfan. Tuanku Yazid Alam mengangguk. “Baginda Asyfan penguasa Seperca yang saya hormati, ada dugaan saya kalau Sri Raja Pulau Besar ingin mengadu domba Sepinang dan Seperca dengan keberadaan pajak ini. Dia ingin melemahkan kedua pulau yang telah bebas merdeka ini, agar kembali jatuh ke tangannya.” Yazid menghirup napas dalam- dalam, lalu mengangkat tangannya. “Ada dua kemungkinan yang ia harapkan terjadi, Baginda Asyfan. Pertama,” kata Yazid sambil mengangkat telunjuk, “—adalah bila kita tidak saling memberitahu pertambahan pajak. Ambillah misal negeri kami –Sepinang—mengambil perintah ini begitu saja tanpa mencari tahu tentang pembebanan pajak yang sama pada Seperca. Tentu kami merasa iri karena merasa diperlakukan tidak adil, sebab sumbangan yang kami berikan lebih besar. Begitu pula bila Seperca tidak mengetahui surat yang sama yang juga sampai di Sepinang. Ini jelas menimbulkan permusuhan antara kedua negeri kita.” “Benar, Nak, bagus sekali ketajaman pemikiranmu itu,” puji Baginda Asyfan. “Dan kemungkinan apa yang kedua?” “Kedua, bila kita bertukar berita semacam sekarang dan mendapati bahwa negeri kami mendapat titak tambahan pajak lebih besar, niat Sri Raja untuk mengadu domba tetap akan terlaksana. Sebab, kami mendapat beban yang lebih besar. Permulaan adu domba yang ia inginkan adalah karena kedengkian antara kita.” Baginda Syamsir yang tampak masih agak pucat wajahnya akibat sakit tadi, batuk- batuk sejenak. “Engkau tak apa, Syamsir?” Raja Sepinang menggeleng sembari mengangkat tangan. “Tidak apa, Asyfan kawanku. Aku hanya tengah berpikir bahwa Sri Raja sedang berusaha mengambil kedua pulau ini, sebab kekuatannya yang mulai terkumpul. Hendak menyerang pun ia merasa sulit, sebab ia tidak ingin ada tersiar kabar ke kerajaan jiran bahwa ia menyerang pulau kekuasaannya sendiri. Bukankah mereka masih menyangka kita masih bagian dari Pulau Besar? Menyimpan kekacauan dalam selimut tak lagi semudah dulu di masa Ayahanda kita berdua.” “Benar, benar sekali. Aku juga telah membahas ini dengan anakku, Hamid Yusuf pagi tadi. Satu- satunya hal yang harus kita lakukan adalah bersatu padu, menahan serangan fitnah dari Pulau Besar. Kita harus berkongsi menyelesaikan urusan dagang dan pajak kita agar semuanya merasa adil.” Asyfan Nazhim mengambil surat milik kawannya yang berada di meja dan membaca lagi besaran pajak yang dikenakan untuk Sepinang. “Bagaimana menurutmu, kawan, apabila kelebihan pajak yang negeri engkau terima ini kami sandingkan dengan pembebasan upah masuk kapal dari negerimu?” Baginda Syamsir mengangguk. “Aku paham maksudmu, Asyfan. Kita sudah cukup lama berhubungan baik dalam hal jual- beli, dan kita sama- sama mengenakan upah masuk setiap kapal dagang dari negeri lain. Apa ini artinya, engkau akan mengurangi upah masuk kapal dagang yang berasal dari Sepinang?” “Benar, dan besaran pengurangannya adalah sebanyak kelebihan pajak yang dibebankan pada Sepinang.” “Sangat adil,” kata Baginda Syamsir. “Bagaimana menurutmu, Yazid?” Yazid menekurkan kepala sebab rasa malunya dilibatkan dalam keputusan ayahnya dan Raja Seperca. “Saya mengikut saja apa yang telah diputuskan, Ayahanda.” Baginda Syamsir menggeleng. “Tidak, Nak. Kau harus menerangkan pendapatmu pula, karena engkaulah penerusku nanti. Apa menurutmu ini sudah adil? Jika belum, tunjukkan sanggahanmu. Jika cukup, tunjukkan ketegasanmu. Anggaplah engkau adalah raja ketiga dalam perembukan kedua negeri ini,” jelas baginda itu, disokong anggukan Asyfan kawannya. Yazid Alam mengangkat kepala. Matanya menyiratkan kekukuhan hati yang jarang yang ia perlihatkan. “Saya setuju dengan Ayahanda dan Baginda Asyfan Nazhim. Bila Ayahanda menganggap saya adalah raja ketiga di sini, saya sudah memutuskan masalah ini telah diselesaikan dengan adil.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD