Dalam Doa

1204 Words
Di ruang duduk istana, Tuanku Putri Syahidah tampak asyik menyulam. Memanglah, sebagaimana ibunya juga, Syahidah kerap menggunakan ruang duduk itu untuk melakukan hal- hal selain membaca. Biasanya dia ditemankan oleh dayang sekaligus sahabatnya, Dayang Nilam. Tapi saat ini, Dayang Nilam ikut membantu di dapur istana, menyiapkan makan malam. Kadang memang Syahidah memberi izin pada Nilam untuk sesekali membantu di dapur, terlebih pula bila menjelang acara- acara besar. Menteri, pejabat negeri, serta para pengada acara akan sering hilir- mudik istana mengurus keperluannya, dan tak jarang pula ikut makan bersama. Setahu Syahidah, Seperca memang akan melakukan helat raya : yaitu gelanggang negeri. Macam- macam permainan negeri yang akan digelar dan hampir semua pemuda Sepinang ikut serta. Sibuk- sibuk di istana tak sedikit pun mengganggu  Syahidah nan tengah menelisik kain dengan jarum. Jari- jarinya yang panjang dan lembut bertingkah di antara warna- warni benang dan lincah memegang kain, membentuk sulaman bunga. Agaknya Syahidah agak terlalu tenang kali ini, entah dia sudah berlamun- lamun panjang lagi. Putri Syamsir Alam ini memang terkenal dengan tabiatnya yang tenang dan pendiam, dan tentulah dia tak akan bercakap apapun bila tak ada kawannya –Nilam –sebagai biasa. Tapi berlain pula ketenangannya sekarang, semacam ada suatu kesusahan yang ia pikirkan. Bila Dayang Nilam ada bersamanya, sudah jelas benar gadis itu akan mencemoohkan dia perkara merenung- renungkan Hamid Yusuf. Tapi isi kepala Syahidah sekarang sama sekali tidak tersangkut pemuda itu. Ia sedang bersusah hati memikirkan keadaan Ayahandanya, serta ketegangan di istana. Syahidah memang tidak bertanya apapun sejak pagi tadi, tapi jelaslah ada ketegangan pada raut muka sang ayah, begitu pula dengan Kakak Yazid dan Panglima Gafar. Syahidah mengira- ngira ini hanyalah masalah pemerintahan juga, namun kegelisahan mereka yang tak biasa tiada mampu mengecoh Syahidah. Ada yang lebih pelik. “Aduh!” Syahidah berseru kecil tatkala jarum runcing menembus ujung telunjuknya. Memang tak baik, terlalu banyak mengisar-ngisarkan pikiran pada hal lain saat menyulam. Telunjuknya mulai berdarah. Sedapat mungkin, Syahidah membereskan semua sulaman dan kainnya yang sudah jadi, sementara benang- benang ia kumpulkan dalam kotak kayu. Ia bermaksud mencari dedaunan dan membalut lukanya sedikit, agar darahnya cepat berhenti. Syahidah berbelok ke arah ruang pelayan, hendak minta dicarikan daun bandotan, kalau- kalau tanaman itu ada yang tumbuh liar di sekitar. Ruang pelayan berdekatan dengan pintu keluar, dan ketika ia akan memasuki ruang itu, Syahidah berjumpa dengan adiknya, Badruddin. “Adindaku Badruddin?” panggil Syahidah terheran- heran, “Apa gerangan yang membuat engkau pulang selarut ini? Kemana sajakah engkau seharian ini?” Tuanku Badruddin tidak langsung menjawab, melainkan menyunggingkan sepulas senyum. “Tiada mengapa Kakak Putri. Aku hanya ada urusan sedikit keluar.” “Sudahkah engkau sembahyang Magrib?” Badruddin tidak menjawab. Ia hanya berkata, “Aku masuk dulu, Kakanda Putri. Baiknya aku bebersih dulu sebelum makan malam tiba, sebab malam ini tampaknya Baginda Ayah menjamu banyak orang. Persiapan gelanggang negeri, rupanya?” Syahidah mengangguk dan baru saja hendak membuka mulut lagi melontarkan pertanyaan, namun adiknya sudah memberinya salam hormat dan pergi. Dalam hati, ada rasa tidak senang dalam diri Syahidah, bahwa ada sesuatu yang tengah disibukkan oleh Badruddin tanpa sepengetahuan siapapun. Gadis itu tidak membuang masanya membalut luka –dibantu pelayan istana. Sehabis masalahnya selesai, Syahidah mengendap- endap kembali ke dekat pintu keluar tadi, mencari tempat tersuruk untuk bersembunyi. Bagian belakang istana itu memang agak remang- remang hampir gelaplah, sehingga Syahidah hanya perlu menahan napas dan suaranya saja supaya tidak ada yang tahu. Tapi kegelisahan di hatinya tetap membuat Syahidah mencari tempat sembunyi yang aman, dekat kendi- kendi persediaan yang besar. Dan benarlah perdugaannya. Setelah sekian lama menunggu –tepat sebelum makan malam mulai –ia melihat lagi sosok adiknya keluar menuju pintu tadi. Keremangan di sana tiada membuat Syahidah tidak awas dengan kantung besar di pinggang Badruddin. Tak pelak lagi ada sekepal uang emas di kantung pinggangnya itu, sebab ada bunyi bergemerincingan yang berusaha ditahan Badruddin dengan menahan kantung itu dalam tangannya. *** Usai jamuan makan, perasaan Syahidah masih saja tak menentu. Dayang Nilam telah selesai dengan pekerjaan di dapurnya, dan berniat mengawankan Engku Putrinya itu. Tapi Engku Putrinya itu menolak. “Apa sebab, Engku Putri?” tanya Dayang Nilam cemas. “Marahkah Engku Putri kepada saya karena terlalu lama membantu di dapur, dan bukan membantu Engku?” Syahidah tersenyum lembut. “Jangan engkau risau, Nilam. Setitik pun aku tidak merasa kesal atau marah padamu. Hanya saja, perasaanku sangat tak tenang sekarang, dan aku ingin menghabiskan waktu sendiri dulu.” Dayang Nilam mengamati tabiat Syahidah, dan dengan hormat ia mengundurkan diri dari kamar Putri. Sementara itu Putri Syahidah masih dengan rusuh hati memikirkan gelagat adiknya tadi. Adakah ia merencanakan hal buruk? Syahidah mengambil tasbih dan membasahi lidahnya dengan mengingat Tuhan Allah. Entah berapa kali ia mengucap gumaman zikir, tiada ia hitung. Waktu sudah begitu larut melebihi tengah malam, bahkan pula mungkin sudah masuk dini hari ketika ia berhenti zikir. Suasana istana sudah sangat sepi, digantikan suara- suara rendah kumbang dan serangga malam lain. Sesaat kemudian, Syahidah mengambil air wudhu dan sembahyang dua rakaat selepas Isya, agar ketenteraman dianugerahkan jua pada hatinya. “Ya Allah, lapangkan hati hamba dari kesusahan ini. Ya Allah, jauhkanlah negeri ini dari masalah- masalah yang ditimbulkan orang- orang munafik. Berilah Ayahanda dan seisi istana ini kesabaran dan petunjuk kebenaran, dimana tiada kami berdaya untuk mengetahui mana yang bisa dipercaya, mana yang tidak,” ulang- ulang Syahidah dalam doanya. Putri Syahidah mengangkat tangannya sejajar dagu, dengan memicingkan mata penuh pengharapan. Angin malam yang berat menghembus masuk ke sela- sela dinding dan jendela, meniupi kamar Syahidah hingga gadis itu menggigil. Akan tetapi Syahidah mencium bau sesuatu dalam angin itu. Asap? Mata Syahidah cepat membuka matanya, dan keluar dari kamar dengan masih memakai telekung sembahyang. Di luar kamar gelap lagi sunyi, dan Syahidah meraba- raba jalan menuju pintu keluar belakang. Ia menemukannya cukup cepat dalam kegelapan itu, dan berjumpa dengan malam yang kelam kala membuka pintu. Tanpa rasa takut, Syahidah berjalan cepat –mencari tahu asal muasal bau asap yang semakin pekat. Ia memutar sejenak di halaman, mendapati nyala jingga kemerahan dari kejauhan. Mata gadis itu membelalak mendapati apa yang terjadi. Gudang negeri –tempat kayu- kayu bahan perakitan kapal disimpan –telah terbakar. Tiada Syahidah ingat bagaimana ia tergopoh- gopoh kembali ke istana sembari meneriakkan “Tolong!” yang lantang. Ia membangunkan kepala pelayan, kepala dapur, serta anggota keluarganya. Baginda Syamsir belum sehat benar untuk menangani ini, namun Yazid segera memberi komando para prajurit dan angkatan muda agar bersiaga di dekat gudang dengan membawa air. Sebagian lainnya ia suruhkan untuk membentuk barisan hingga ke tepi sungai, agar pemadaman lekas dilakukan. Api yang menyala memang sudah sebagaikan garang jika dilihat, akan tetapi belum menyentuh kayu kapal –baru persediaan bahan lain yang terbakar. Karung- karung kain, kapas, kayu negeri, dan setumpuk barang dari rotan sajalah yang dilahap api. Yazid mengarahkan bawahannya dengan cekatan,  sehingga dalam sekejap api dapat dikurangkan nyalanya. Rakyat yang ikut terbangun ikut menolong, tapi tidak ada yang bisa berbuat dengan barang yang telah hangus dan sisa api yang masih membakar. Namun Tuhan Allah Maha Adil. Angin berat yang dirasakan Syahidah tadi tiada lain adalah angin pertanda mendung akan datang. Satu- satu, titik air turun dari langit, menurunkan rahmat berupa hujan yang menyirami bumi Sepinang. Semua orang di situ –termasuk Syahidah –tertegun dengan hujan yang tiba- tiba datang, sekaligus bersyukur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD