Kebakaran yang nyaris melahap isi gudang negeri tak pelak lagi telah menggemparkan Sepinang dan menjadi buah bibir di antara orang- orang. Memang, kerugian yang didapat tak besar benar, sebab api semalam dapat cepat dipadamkan. Namun jarang sekali terjadi yang semacam itu di Sepinang, lebih- lebih pula penjagaan gudang negeri yang kuat, yang bolehlah bisa disamakan dengan pengawalan istana Baginda Syamsir. Bila dikatakan itu tak sengaja, tentu tak berkesusaian pula, sebab hari- hari ini musim penghujan. Api tiada mudah tersulut dalam udara lembab di siang hari, bagaimana pulakah bisa api tiba- tiba menyala dalam gudang itu di tengah malam buta? Bermacam- macam pendapat orang tentang apa yang terjadi di gudang negeri semalam, namun sama sepemikiranlah semua orang –bahwa ada seseorang yang sengaja menyalakan api dan membuat gudang negeri terbakar kala itu.
Bila telah berbagai macam dugaan beredar di kalang masyarakat, tentu ini pun tak ubahnya pula yang terjadi pada Syahidah. Gadis perawan kesayangan Baginda itu duduk- duduk di bangku panjang di taman, tempat ia biasa mencetak- cetak sabun dan wewangian. Ia lihat jua wewangian yang tengah ia buat dengan pandang kosong, tapi pokok pikirannya masih terpaut pada adiknya, Badruddin juga. Badruddin yang semalam keluar dari istana dengan mengendap- endap membawa sekepal logam emas, dan jelas tak ingin diketahui orang lain. Entah kapan adiknya itu pulang, tiada Syahidah tahu. Namun sang ayah –Baginda Syamsir – dan begitu pun sang kakak, tidak mempertanyakan sesiapapun tentang ketiadaan adiknya kala makan malam, sebab beliau pun sudah tersibukkan dengan pejabat negeri dan cakap mereka di jamuan tentang gelanggang negeri yang segera diadakan. Pagi tadi pun, tak seorang pun dari mereka berdua yang menanyai Badruddin perihal kemanakah ia semalam. Itu artinya, memang mereka tiada memperhatikan benar keberadaan Badruddin saat jamuan. Dan Badruddin sendiri sepagian ini tampak tidak tenang gerak- geriknya, seakan ada sesuatu yang membuat hatinya rusuh lagi kesal.
Pikiran buruk mulai merasuki kepala Syahidah : apa mungkin Badruddin ada kaitannya dengan kebakaran semalam?
“Engku Putri,” panggil Dayang Nilam tiba- tiba, membuat Putri Syahidah terkejut. “Pagi benar Engku Putri membuat sabun dan garam mandi! Alpakah saya, bahwa Engku Putri biasa di ruang baca sehabis makan –atau memang Engku merasa bosan di sana?”
Syahidah melihat ke arah kawannya dengan pandang resah, sebab semua itu menyusahkan hatinya benar. Serta- merta, bercerita jugalah Syahidah pada Nilam mengenai apa yang terjadi semalam dan dugaannya.
Tentu Dayang Nilam sangat terkejut mendengarnya.
“Astaga, Engku Putri! Benarkah Engku Putri berpikir … menurut saya, lebih elok Engku Putri mempertimbangkannya masak- masak dulu. Bisa saja Tuanku Badruddin memang ada urusan semalam, dan urusan itu sangat penting sehingga ia tiada ingin mengganggu semua orang. Sebab kita tahu ada gelanggang dalam waktu sepekan. Nah, bagaimana menurut Engku?”
Syahidah menggeleng pelan. Ia tahu betul bagaimana tingkah polah Badruddin, dan masih lekat di ingatannya kala Badruddin meminta persetujuan darinya agar bisa menggantikan jabatan Yazid untuk membina pembangunan kapal. Adiknya itu sudah rasanya berlain dari yang ia dulu kenal. Badruddin kelihatan sangat bernafsu untuk segera menjadi bagian pemerintahan Sepinang –semua orang yang bekerja pada Raja dia anggap tidak becus.
“Aku… aku tidak begitu yakin, Nilam,” kata Syahidah ragu- ragu. “Aku tidak terlalu mengerti akan sifat- sifat adikku, bahkan aku sendiri tak bisa membaca sorot matanya kini.”
“Engku,” kata Nilam lembut sembari mengurut- urut Putri Syahidah, “Tidak baik berburuk sangka pada orang, Engku. Apatah lagi orang itu adalah saudara sedarah Engku Putri sendiri. Bila memang Tuanku Badruddin mengatakan ia ada urusan semalam, bolehlah kita mempercayainya sampai nanti ada hal- hal yang jelas menunjukkan bahwa Tuanku Badruddin ada terlibat. Tapi, Engku Putriku yang baik hati, terlalu memikirkan sesuatu bisa jadi punca bagi Engku menduga yang buruk- buruk –sebab terlebih memikirkan sesuatu itu disebabkan syaitan jugalah.”
Penjelasan Dayang Nilam sepertinya mampu diresapi Syahidah. “Engkau benar sekali, Nilam. Aku telah berpikir berlebihan hingga menduga yang buruk- buruk pada saudaraku sendiri. Entah apa yang kulakukan ini,” keluhnya seraya melayangkan pandangan ke ujung jauh lapangan, tempat calon angkatan prajurit muda dilatih. Tiba- tiba ia melihat kakaknya –Tuanku Yazid Alam –berjalan menuju lapangan itu, lengkap dengan persenjataan untuk berlatih.
Memang, tidak elok baginya memiliki dugaan tentang Badruddin, tapi apakah salah jika ia ingin memastikan? Boleh hilang risau hatinya, biar ia buang jauh- jauh segala syak wasangkanya.
Putri Syahidah tidak membuang kesempatan. Ia beranjak dari duduk, dan berkata pada dayangnya, “Engkau tunggu di sini, Nilam.”
Dayang Nilam hendak mengucapkan sesuatu, tapi Tuanku Putri Syahidah sudah menjauh darinya. Beliau berjalan cepat menghampiri Yazid yang menekur- nekur memastikan kelengkapan alat yang ia bawa.
“Kakanda Yazid,” sapa Syahidah terengah- engah, tatkala Yazid hampir mendekati lapangan.
Terkejut juga Yazid dibuatnya. “Syahidah? Apa yang engkau perbuat dekat sini?” tanyanya. “Kembalilah ke dekat istana, dekat sini hanya lapangan berlatih prajurit. Tak baik Putri Raja berada di tempat ini.”
“Maafkan aku, Kakanda,” kata Putri Syahidah menundukkan kepalanya dalam- dalam. Pipinya memerah sebab rasa bersalah dan malu. Ia sendiri memang sangat menjaga dirinya agar tidak terlalu berbaur sembarangan –terutama ke tempat para lelaki banyak berkumpul –namun apa yang bisa ia perbuat bila pikirannya ini menyengsarakannya?
“Segeralah kembali, adinda Syahidah. Atau ada yang hendak engkau perbincangkan denganku?” tanya Yazid Alam yang seperti menangkap kegelisahan adiknya.
“Benar sekali, Tuan Kakanda,” sahut Putri Syahidah. “Aku ingin menemui Kakanda sebelum Kakanda mulai melatih, karena ada yang ingin adik tanyakan.”
“Apakah gerangan itu?”
“Apa… apa Kakanda melihat adinda Badruddin semalam, saat jamuan makan?”
Yazid Alam tampak terdiam sejenak sebelum memberi jawaban. “Entahlah, Syahidah. Kakak tidak memperhatikan benar sesiapa saja yang ada di jamuan. Semua sibuk membincangkan pasal gelanggang, termasuk Kakanda sendiri. Mengapa, ada apa dengan Badruddin?”
Dengan terbata- bata, Syahidah menceritakan sekali lagi tentang apa yang dilihatnya telah Badruddin lakukan semalam. Yazid mendengarkan tuturan adiknya itu dengan mengangguk- angguk.
“Jika itu merisaukan engkau, Syahidah, Kakanda akan ikut membantumu mencari tahu apa yang adik Badruddin lakukan semalam. Rasa ingin tahu Kakak pun sama besarnya. Tapi ini bukanlah semacam mengulur benang layang- layang yang boleh engkau terka warna ujungnya sebab ia sudah pasti sama dengan pangkalnya. Kita tidak dapat mengatakan kalau Badruddin terlibat dengan kebakaran gudang hanya karena ia juga menghilang semalam, karena boleh jadi semua itu kebetulan belaka. Engkau paham maksudku, Syahidah?”
“Aku mengerti, Kakak,” sahut Syahidah.
“Nah, sekarang kembalilah. Jangan merusuhkan hatimu pasal kebakaran malam tadi. Biar ini jadi tanggung jawab Kakanda. Baiklah, Kakanda hendak melatih prajurit dulu,” kata Yazid Alam dengan tergesa- gesa. Setengah berlari ia menuju lapangan, dimana prajurit muda tampak sudah berbaris rapi.
Terasa lapang sedikit dadá Syahidah mendengar jawaban Abangnya yang ia hormati itu. Ia hendak berbalik tatkala seorang pengawal luar gerbang datang memberi salam dan memberi hormat padanya.
“Tepat sekali masa saya bertemu dengan Tuanku Putri Syahidah,” ujarnya dengan hormat, “Sebab saya baru saja menerima sebuah surat yang ditujukan kepada Tuan Putri. Sudilah Tuan Putri berkenan menerimanya langsung dari saya, dan ampuni saya bila terasa lancang.” Pengawal itu berlutut memberikan surat itu dengan tundukan kepala.
“Tidak mengapa. Terimakasih atas bantuanmu.”
Pengawal itu menunjukkan salam hormatnya lagi, lalu pergi meninggalkan Syahidah yang berdebr- debar memperhatikan segulungan kertas di tangannya.
Betapa tidak? Tahu benar gadis itu dari rupa dan cara gulungan kertas itu diikat, bahwa itu dari Hamid Yusuf!