Tiada sabar rasanya Syahidah hendak kembali ke bangku tempat ia duduk- duduk mencetak sabun bersama Dayang Nilam tadi. Gulungan kertas itu ia genggam dalam tangan seraya berjalan cepat, dan tentulah Nilam yang dari kejauhan mengamat- amatinya –heran dibuatnya.
“Engku, tampak bagi saya Engku Putri bergegas benar,” tanyanya begitu Syahidah sampai di dekatnya. Diamati pulalah oleh Nilam sepulas senyum Syahidah yang sudah sering ia lihat beberapa waktu ini, begitupula dengan perkamen di tangannya. “Sebab surat itukah Engku Putri bersenang hati hari ini?”
Syahidah mengangguk senang, dan dengan keraguan ia membuka gulungan surat itu di samping sahabatnya. Jantungnya berdegup, sebab ia ingat betul suratnya pada Hamid Yusuf dahulu kala. Ada dua lembar yang ia kirimkan. Ia mengucapkan terima kasih untuk songket yang telah Hamid Yusuf berikan di lembar pertama, namun Syahidah malu sekali mengingat isi lembar kedua.
Sebagaimana ia teringat sekali kala itu, bahwa ia meminta nasihat dan pengajaran dari Syaikh El- Beheira. Ia juga menumpahkan segala isi perasaannya tentang Tuanku Hamid Yusuf kepada Syaikh ternama Sepinang itu, sebab rasa yang berdiam di hatinya itu telah banyak mengganggu kekhusyukannya beribadah. Kala itu, Syaikh meminta Syahidah agar memberitahu mengenai pertemuan beliau dengan Hamid Yusuf, agar segera diselesaikan perihal ini antara dua keluarga.
Sungguh, Syahidah merasa malu sekali mengingat apa yang telah ia tulis di lembar suratnya usai perjumpaan dengan Syaikh El- Beheira itu. Ia memang meminta Yusuf meluangkan waktu untuk bertemu dengan Syaikh El- Beheira, namun entah- entah pula ia telah tiada sengaja menyampaikan perasaannya. Adakah tak sengaja ia menuliskan itu di sana?
“Mengapa Engku Putri?” tanya Dayang Nilam menggoda, “Apa hal yang membuat tangan Engku terhenti begitu saja untuk membuka surat itu? Adakah surat itu dikirim oleh pembuluh hati yang Engku rindukan selama ini?”
“Suka sekali engkau ini menggodaku, Nilam,” sahut Syahidah dengan wajah bersemu merah. Namun tiadalah ia dapat menampik perkataan itu, sebab ia langsung membuka ikatan perkamen di tangannya dan membacanya.
Assalamualaikum Tuan Putri,
Saya doakan Tuan Putri senantiasa dalam kesehatan dan lindungan Allah, sebab berkat kasih sayang-Nya kita ditakdirkan bersua, saling bertukar nama, dan Tuan Putri dapat meluangkan masa membaca surat saya.
Bukan main senang hati saya ketika menerima balasan dari Tuan Putri. Meski kala pertama itu saya belum mengetahui bahwa Tuan Putri adalah anak penguasa Sepinang, Raja Syamsir Alam yang terkenal, akan tetapi dengan segala kebaikan hati Tuan Putri mau menerima perkawanan dari saya. Syukur terima kasih saya haturkan. Namun sebagaimana Tuan Putri sudah ingat juga, kita telah saling berkenalan kembali kala itu di tempat kita pertama bertemu.
Saya akan senang sekali bila kita dapat saling berkunjung. Bila Tuan Putri Syahidah berkunjung ke Seperca, dapatlah saya meminta pengawal istana Ayahanda saya untuk mengajak Tuan Putri berkeliling –dan bila Tuan Putri sudi, beserta saya juga. Permintaan Tuan Putri agar saya berceritera tentang Seperca tentu akan saya kabulkan saat itu juga, sebab eloklah kita mendengar cerita sambil melihat rupa sebenarnya daripada berangan- angan saja. Bagaimana pendapat Tuan Putri? Dan sebagaimana yang Tuan Putri tambahkan di bagian belakang surat, Insya Allah saya dapat datang ke sana pekan depan, hari Selasa. Salam saya untuk Syaikh El-Beheira, sampaikan rasa tak sabar saya untuk berjumpa dengan beliau.
Semoga kita dapat berjumpa dalam keadaan yang baik Selasa nanti, Tuan Putri Syahidah. Dan semoga rahmat Tuhan Allah selalu menyertai kita.
Wassalam, Hamid Yusuf
Usai membaca surat itu, kening Syahidah mengerut sebentar, lalu licin lagi. “Bila Selasa pekan depan, tentu gelanggang permainan negeri sudah usai. Bukan begitu, Nilam?”
“Benar sekali, Engku Putri,” sahut Nilam. “Ada apakah gerangan hari Selasa itu?”
Syahidah tiada mampu menjawab, dan oleh karena itu ia angsurkanlah surat itu pada Nilam supaya dibaca langsung oleh dayangnya itu. Beberapa saat berselang hingga Nilam mencapai akhir surat dan paham apa isinya. Ia pun serta- merta berkata, “Amboi, patutlah saya lihat Engku Putri tersenyum manis sekali. Terlebih lagi usai membaca surat tadi, tampak benar air muka Engku Putri sebagaikan orang yang jatuh cinta. Saya seringkali melihat raut begitu pada wanita- wanita lain yang saya kenal.”
Putri Syahidah tertawa kecil. “Pandai benar engkau ini memujiku, Nilam. Apakah engkau hendak membujukku menceritakan perasaanku sekarang?”
“Tentu, bila Engku berkenan. Tidakkah Engku juga sebenarnya ingin bercerita kepada saya?” balas Nilam yang ikut tertawa pula.
“Baiklah, sahabatku. Aku akan bercerita tentang ini padamu nanti. Tapi aku juga hendak menyampaikan dulu pada Syaikh El- Beheira agar beliau dapat mengosongkan waktunya di hari Selasa pekan depan, jadi maukah engkau menunggu sekejap?”
“Apa Engku ingin saya kawankan ke sana?”
“Tidaklah, aku tidak ingin merepotkan engkau, Nilam. Sudah terlalu banyak kerja istana ini yang engkau lakukan. Sudah penat membantu di dapur istana, menjadi dayangku pula. Nah, baik aku minta seorang pengawal mengantarkan aku dengan kereta.”
“Jika memang itu pertimbangan Engku, tentu saya hanya dapat menerima saja. Kalau begitu, saya letakkan dulu sabun- sabun yang sudah Engku cetak ini ke belakang, ya? Biar dapat berangin- angin sedikit di dekat dapur.”
Syahidah mengangguk mengiyakan, sekaligus berterimakasih pada kawannya itu. Keduanya berpisah jalan, dan Nilam membawa petak-petak kayu berisi cairan wangi sabun menuju bagian belakang dapur.
Setitik air mata jatuh di atas salah satu petak.
***
Hari belum tinggi benar, panas matahari juga belum mencapai puncak ubun- ubun. Waktu- waktu begini enak sekali rasanya berjemur, sebab cahaya matahari segar sekali menghangatkan kulit. Waktu yang tepat pula untuk sembahyang Dhuha.
Dapur istana sudah mengepul asapnya, dipenuhi para pekerja yang hilir mudik bekerja menyiapkan makanan untuk siang. Namun tiadalah Nilam masuk ke dapur itu, melainkan menuju halaman belakang dapur yang luas dan kosong –kecuali hanya ada beberapa buah tungku luar yang kadang dipakai.
Dayang itu meletakkan cetakan sabun itu di sebuah batu besar nan diteduhi pohon- pohon. Ia memang berniat mengeringkan sabun buatan Tuan Putri Syahidah di sana, sebab angin sepoi- sepoi berhembus di dekat pohon itu, dan tiadalah sabun itu mencair lagi oleh panas matahari.
Namun masalahnya, air mata di pipi Nilam tiada ikut mengering juga.
Sejujurnya bila hatinya mampu bersuara sebagaimana lidah mengucap kata, tak terkira senangnya untuk Tuan Putri Syahidah karena beliau telah menemukan kecintaannya –orang yang akan mendampingi Putri hingga akhir hayat. Sungguh, ia sangat gembira sampai meluap- luap ketika melihat senyum di wajah Putri Syahidah yang mengembang tadi. Apatah lagi Tuan Putri tak pernah tersenyum begitu lebar semenjak kepergian sang ibu yang telah pergi begitu lama. Susah sekali bagi Engkunya itu menahan kesedihan yang berlipat di dadá semenjak ibunya tiada, tapi sama sekali Syahidah tidak menampakkan itu. Ia begitu tegar, mencapai dewasa sebelum usianya. Dan senyum bahagia yang beliau dulu itu tampak begitu sama dengan senyum tadi.
Namun di balik rasa bahagia untuk temannya itu, ada rasa sedih yang mencucuk jantung Nilam. Tiada dapat ia lukiskan bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama untuk Tuan Hamid Yusuf. Pun, ia tiada dapat menceritakannya pada siapapun –termasuk Engku Putrinya sendiri. Sudah begitu lama rasa itu ia pendam, karena ia tahu diri bahwa ia hanyalah perempuan dayang yang tiada nilainya di mata seorang anak Raja, dan berharap akan bersanding dengan Tuanku Hamid Yusuf pun hanyalah angan- angan bagi Nilam. Dia hanya pelayan, dan jika ia bisa melarang kepalanya, tentu ia sudah hukum dirinya sendiri sebab begitu berani membayangkan hal itu.
Dan begitu ia mengetahui bahwa orang yang disukai Engku Putrinya adalah orang yang sama yang mana selama ini ia mengharapkan cintanya, rasanya lebih menusuk menghujam lagi bagi Nilam. Ia seperti orang yang hilang, putus harapan. Walau ia tahu harapan itu tak pernah ada sejak dulu, namun begitu menghadapi keadaan sebenar bahwa Tuanku Hamid Yusuf memberikan hatinya pada Tuan Putri Syahidah –dan bukan pada dirinya –membuat hatinya begitu sakit. Terlebih pula bahwa Tuanku Hamid Yusuf yang menyetujui pertemuan dengan Syaikh El- Beheira.
Tapi apa dayaku, batin Nilam. Tangisnya tiada mau berhenti, alih- alih air mata Nilam deras mengalir. Tiap- tiap kali ia menyeka pipi, air mata itu jatuh lagi, sebab sudah begitu lama rasa sedih ini ia pendam sendiri. Tiada yang dapat ia perbuat, dan Nilam pun tahu tiada guna baginya bersedih. Ia tidak akan mampu dan dapat menggapai cinta pemuda Seperca itu, yang hanya dapat ia kenang saja kini.
Dan terkenanglah gadis itu pada senyum Hamid Yusuf. Senyum yang menyertai kebaikan hatinya.
Dahulu sekali.