Hasut

1329 Words
Dayang Nilam tampak menunggui Putri Syahidah di taman, sampai beliau habis menyelesaikan kerjanya. Syahidah memang suka sekali membaca, tetapi kadang ia pun senang merangkai bunga, atau belajar menganyam dan menenun sedikit- sedikit. Bermacam- macam kepandaian ia cobai. Hari ini, ia tengah mencoba membuat wewangian bersama pelayan istana yang terkhusus untuk membuat wewangian dan sabun mandi. Lama Dayang Nilam bermenung memandang ke tepi kolam taman, yang berjarak sepelemparan batu dari tempat ia duduk. Sekejap ia mengambil kerikil dekat rumpun- rumpun bunga, lalu mengukir- ukir di atas tanah. Ia menggambar dan menulis macam- macam, dengan tulisan Arab Melayu. “Aku paham,” kata sebuah suara yang tiba- tiba datang dari balik punggung Dayang Nilam. Sontak gadis yang tengah duduk itu terkejut, dan ia menoleh. “Zainal? Apalagi yang hendak kau lakukan di sini?” Zainal ikut duduk dekat Nilam, memandangi ukiran tanahnya. “Aku masih berlatih. Engkau tentu tahu, selama pelatihan pemula ini belum selesai, calon tentara mesti menginap di lingkungan istana selama tiga bulan,” jelas Zainal. “Jadi sampai tiga bulan ini habis, engkau akan terus melihat wajahku dimana- mana.” Kening Nilam berkerut jengkel. “Seharusnya engkau mencari tempat beristirahat lain, agar engkau tak bertemu muka denganku.” “Tapi, Nilam, akulah yang berkehendak bertemu muka dengan engkau,” kata Zainal. “Namun sepertinya engkau mengharapkan pemuda lain?” Nilam menoleh pada Zainal kesal. “Jangan engkau memutarbalikkan kata- kataku, Zainal. Aku hanya tak ingin bertemu denganmu, jangan mengira apa yang belum tampak!” “Tapi aku mengira apa yang sudah tampak, Nilam,” kata Zainal. “Jadi itu namanya? Hamid Yusuf?” tanya Zainal seraya mengarahkan pandangannya pada tulisan Arab Melayu yang diukir Nilam tadi. Secepat mungkin Nilam pun menghapusnya. Muka gadis itu merah padam. Zainal hanya tersenyum, lalu berkata, “Engkau hapuskan pun dari tanah itu, aku sudah mengingat namanya. Sia- sia juga. Nah, mengapa engkau tak mencari dia sekarang, selagi Tuan Putri belum memanggil engkau?” Nilam memandangi pemuda itu dengan ragu sejenak, lalu berkata, “Tak mungkin bagiku, Zainal. Dia pun bahkan tak tahu aku ada.” “Apa maksudmu?” “Tuan Hamid Yusuf ini... menyukai gadis lain. Jauh lebih elok dan pandai dariku.” “Ah,” seru Zainal memberi simpati. Ia memandangi wajah sendu Nilam yang masih mengukir tanah itu sembarang. Sementara itu Nilam sama sekali tidak menyadari kalau pemuda calon prajurit itu tengah melihat padanya dengan mata yang berkilat- kilat licik. “Tentu ini sangat berat buat engkau, Nilamku,” kata Zainal lembut. “Nah, mengapa engkau begitu keras hati menolak lamaranku jika pujaanmu pun juga telah menyukai gadis lain?” Nilam hanya diam menggeleng. “Tak inginkah kau menikah dan berkeluarga nanti?” bujuk Zainal. “Tentu aku mau,” kata Nilam sedih. “Akan tetapi, bagaimana aku hendak menerimamu? Hatiku tak seujung pun mampu lepas dari Tuan Hamid Yusuf, sejak pertama kali aku bertemu dia. Siang malam aku terbayangkan wajah ia.” “Aku paham,” kata Zainal sambil menyatukan jemari kedua tangannya. “Kalau kau rasa kau tak bisa lepas dari dia, engkau tentulah mencoba jalan untuk mengusahakannya. Tak ada cara lain.” Nilam mengerutkan alis. “Apa maksud engkau ini, Zainal?” Zainal membungkukkan badannya ke arah Nilam. “Engkau gadis cerdas, Nilam, meski engkau hanya seorang dayang. Engkau tentu paham maksudku dengan ‘mengusahakan’ pemuda itu. Engkau pikirkanlah cara memisahkan pemuda itu dari gadis yang ia cintai kini.” “Maksudmu?” “Tak mengertikah kau bagaimana isi kepala seorang lelaki? Begitu ia berpisah dengan seorang gadis, lambat laun ia akan mudah melupakan gadis itu dan berpaling pada wanita lain. Sebab, masih banyak lagi wanita yang lebih elok rupanya dan jauh lebih pandai. Macam engkau inilah, Nilam,” sanjung Zainal bertimpal- timpal. Perkataan Zainal itu membuat raut Nilam bersemu merah. “Tapi, aku tak mau memisahkan mereka, Zainal. Aku tak ingin Tuan Hamid Yusuf merasa sedih, sedangkan gadis itu sahabatku, sudah semacam saudaraku sendiri,” kata Nilam seraya menggelengkan kepala cantiknya. “Aku juga tak ingin membuat mereka marah, membenciku karena memisahkan mereka. Aku menyayangi keduanya.” Zainal mendecak- decakkan lidah. “Tak boleh begini, Nilam. Kau harus memilih salah satu. Tak bisa kau peroleh yang ini tanpa melepaskan yang itu.” Nilam memandang Zainal putus asa. “Lalu bagaimana? Apa yang mesti kulakukan? Aku tak bisa melepas keduanya, dan dibenci keduanya.” “Engkau ini, Nilam,” kata Zainal, “Kau tak ingin dibenci keduanya? Ya, siapa pula yang ingin dibenci? Kalau kau memberitahu mereka bagaimana perasaan dan kehendak hatimu, tentulah mereka benci. Tapi lain halnya jika kau menyimpan seorang diri,” kata Zainal. Ia menatap mata putus asa Nilam dengan tajam. “Engkau, bisa memisahkan mereka tanpa mereka harus tahu kalau engkaulah yang memperbuat segalanya.” Nilam menatap balik pemuda itu lekat- lekat, lalu menggeleng tegas. “Tidak, Zainal. Itu tak ada bedanya dengan pengkhianat. Aku akan mengkhianati kepercayaan saudaraku sendiri.” “Nah, tapi dia bukan saudaramu, Nilam! Lain jika kalian bertali darah langsung. Itu hanya anggapan engkau saja seakan gadis itu saudaramu sendiri. Sahabat bukanlah sesiapa pun.” “Pergi, Zainal. Jangan memintaku melakukan hal yang buruk seperti ini.” “Astaga! Kapan pula aku menyuruhmu melakukan hal yang keji dan berdosa? Aku tidak membuatmu agar berlaku semacam itu! Aku hanya menyarankan cara agar engkau bisa mendapatkan Hamid Yusuf ini tanpa ada yang tersakiti.” “Tapi kau sudah menyuruhku menghancurkan kepercayaan sahabatku! Pergi kau, Zainal! Jangan bawakan aku omongan- omongan syaitan ini lagi!” jerit Dayang Nilam berdiri marah. “Pergi kau!” Zainal pun ikut bangkit dari duduknya dan mulai berang. Darah mendidik hingga ubun- ubunnya. “Omongan syaitan, kau katakan?” teriaknya. “Kau mengatakan aku syaitan?” teriaknya lagi sambil mengangkat tangan. “Ya! Pergi kau sekarang juga!” “Kau gadis terkutuk!” kata Zainal kesal sambil melayangkan tangannya. Dayang Nilam menunduk dengan mata berkaca- kaca dan mengangkat lengan untuk melindungi wajah, tepat ketika dari kejauhan terdengar langkah- langkah kaki. Tangan yang tengah melayang itu terhenti. Baik Zainal maupun Nilam sama- sama terkejut, mata mereka membelalak. Sejurus kilat, Zainal segera mengambil langkah seribu meninggalkan taman itu, meninggalkan Dayang Nilam seorang diri. Nilam menghembuskan napas, bersyukur karena terselamatkan dari tamparan pemuda tak tahu adab itu. Langkah kaki  itu makin dekat saja, dan Nilam memperbaiki rautnya yang bersedih tadi. Sesaat berselang, tampaklah Putri Syahidah berjalan ke arah taman dan tersenyum melihat dayangnya di sana. “Lamakah engkau menungguiku, Nilam?” Dayang Nilam tersenyum. “Tak lama pun, Engku. Saya juga senang menunggu Engku di sini. Dapatlah saya beristirahat sejenak sambil menghirup hawa sejuk dan wangi bunga,” kata Dayang Nilam. “Terima kasih,” kata Putri Syahidah senang. “Nah, ini. Aku bawakan untukmu.” Syahidah memberikan sebuah bungkusan kain kecil. “Apa ini, Engku?” tanya Nilam dengan wajah penasaran. “Ini garam mandi yang baru saja kubuat bersama pekerja istana,” kata Syahidah. “Cobalah. Aku sudah mencampurkan aroma bunga kesukaan engkau di dalamnya.” “Engku Putri ini,” kata Nilam dengan wajah penuh syukur. “Terima kasih banyak, Engku. Tapi tak semestinyalah Engku repot- repot pula membuat terkhusus untuk saya. Dengan wangi bunga kesukaan saya pula,” kata Nilam. Senyum mengembang lebar di bibirnya. “Tak apa, Nilam. Tidak sedikit pun aku merasa repot. Tapi bolehkah aku meminta sesuatu darimu?” “Apa itu, Engku?” “Maukah engkau menemankanku ke dermaga hari ini?” Perlahan senyum di wajah Nilam surut ke dalam. Ia menundukkan kepalanya dalam- dalam, sebab ia tak ingin Putri Syahidah melihat wajah kecewanya. “Itu sudah tugas saya, Engku. Tentu saja saya mau menemani Engku kemanapun Engku Putri hendak pergi. Janganlah membuat permintaan seperti itu pada orang rendah semacam saya ini.” Syahidah tergelak. “Aku meminta engkau bukan sebagai dayang, tapi sebagai sahabat, Nilam. Marilah, kita ke sana selagi Ashar belum masuk lagi,” kata Syahidah. Gadis itu sudah memimpin jalan ke arah gerbang, disusul oleh Nilam. Rautnya masih tampak membersitkan rasa pedih, tapi ada senyum sedikit yang membayang. Baginya, Syahidah jauh lebih berharga dari rasa cemburu ini.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD