Pagi esok harinya, wajah Putri Syahidah nampak berseri- seri, bersinar bagai mentari pagi itu. Sepanjang pagi ia banyak tersenyum, dan begitu pula saat makan pagi. Tentu saja, hal ini jelas membuat keluarganya ingin tahu.
“Adinda Syahidah. Apa hal yang membuat engkau tampak bahagia sekali sepanjang pagi ini?”
Syahidah yang asyik bermenung- menung sehabis makan tampak terkejut. Nampan- nampan dan piala baru saja dibersihkan oleh pelayan istana dari meja, sementara keluarga itu masih duduk di sana beristirahat. “Oh, Kakanda Yazid! Tak ada apapun, Kak. Aku ini hanya menikmati angin sejuk pagi tadi, sungguh menenangkan hati!” kata Syahidah.
Badruddin memperhatikan Syahidah dengan tajam, sementara Yazid Alam tersenyum. “Benarkah, Syahidah? Kakanda rasa, kemarin pun angin pagi sejuk juga. Apa pula sebab angin hari ini berlain pula dari yang kemarin?”
Syahidah ikut tersenyum simpul. “Entahlah, Kakak Yazid. Semacam ada yang membuat hatiku ringan saja pagi ini.”
Yazid mengangguk- angguk mendengar pernyataan adiknya, sementara Badruddin tampak masih memperhatikan Putri Syahidah, bahkan setelah kakak dan ayahnya beranjak dari meja makan itu.
“Apa Kakak Putri berniat akan ke pasar petang ini?” tanya Badruddin tiba- tiba.
Sontak Syahidah merasa heran dengan pertanyaan itu. “Mengapa, adik Badruddin? Tidak, Kakak tidak pergi ke pasar hari ini.”
Badruddin kemudian menyahut, “Bukan apa- apa, Kakanda Putri. Hanya ingin tahu saja.”
Tiba- tiba seorang pelayan istana tampak berjalan mendekati meja makan itu sambil mendekati Putri Syahidah. Ia membungkuk hormat lalu berkata, “Tuanku Putri, ada Tuanku Alif Samudera bersama Panglima Gafar Ali ingin bertemu dengan Tuanku Putri.”
“Benarkah?” tanya Putri Syahidah. “Baiklah, saya akan segera menyusul ke depan.”
Pelayan itu menunduk sedikit dan pergi, sedangkan Syahidah segera beranjak dari kursinya, meninggalkan Badruddin yang masih asyik berpikir di ruang makan itu.
***
“Anakku!” sambut Panglima Gafar Ali dengan senyuman. Ia memeluk Putri Syahidah dengan tubuhnya yang besar dan tegap itu. Jenggotnya sudah panjang dan tampak memutih di sana- sini. Di samping Gafar Ali, berdiri Alif Samudera, satu- satunya putranya. Keduanya memang sudah akrab benar dengan Syahidah. Panglima Gafar Ali sudah menjadi panglima kerajaan bahkan semenjak masa ayahanda Syamsir Alam Syah memerintah. Kala itu ia masih muda, dan ia acapkali bermain bersama anaknya beserta Syahidah sekali. Syahidah pun sudah merasa sangat dekat dengan beliau, melebihi pula kedekatannya dengan ayah kandungnya. Dapat dimaklumkan, sebagai seorang raja, kerja Syamsir Alam tentu tidak sedikit.
Putri Syahidah membalas pelukan Panglima Gafar Ali lalu sesaat kemudian melepaskannya dengan senyum mengembang. “Pamanda,” sapanya dengan sopan, “Bagaimana kabar Paman?”
“Alhamdulillah, Allah beri kesehatan,” kata Panglima Gafar Ali tersenyum.
Mendengar itu, Syahidah ikut mengucap syukur seraya tersenyum sekilas pada Alif Samudera yang tak henti- hentinya memandangi Syahidah.
“Sudah jarang Paman bertemu dengan engkau, Anakku. Inilah baru kesempatan kita dapat berbincang lagi setelah berbulan- bulan,” lanjut Panglima Gafar Ali. “Engkau tentu sibuk sekali.”
Syahidah menggeleng. “Bukan aku yang sibuk, Paman. Pamanda-lah yang banyak pekerjaan sekarang, apalagi Pamanda yang melatih para prajurit muda angkatan tahun ini?” tanya Syahidah.
“Engkau benar, Nak,” kata Panglima Gafar Ali. “Umurku sebenarnya sudah berlebih untuk mengerjakan hal- hal sebagai ini, tapi Baginda masih mempercayakannya padaku.”
“Pamanda memang masih kuat, bagaimanapun juga. Dan jauh lebih berpengalaman dalam melatih,” puji Syahidah.
“Tidak, tidak, Nak. Jangan terlalu banyak melempar pasir ke mukaku. Baiklah, Paman ada hal yang mesti dibincangkan dengan Baginda. Berbincang- bincanglah engkau berdua, ya?” kata Panglima Gafar Ali sembari meninggalkan kedua muda- mudi itu. Syahidah dan Alif Samudera mengiyakan, mata mereka mengawasi Panglima Gafar Ali yang sudah menghilang di balik pintu istana.
Alif Samudera lalu berbalik memandangi Syahidah. “Tak engkau tanyakan pulakah bagaimana kabarku, Syahidah?”
Syahidah tergelak mendengar perkataan kawannya ini. “Tentu, akan kutanyai. Jadi, bagaimana kabarmu, Alif?”
“Aku baik- baik saja. Segala puji bagi Tuhan sarwa alam,” sahutnya. “Sibukkah engkau pagi ini, Syahidah?”
“Tidak. Mengapa?”
“Aku hanya ingin mengajak engkau berjalan- jalan sekeliling wilayah istana ini, jika engkau berkenan.”
“Tentu aku berkenan. Mari.”
Keduanya lalu berjalan ke arah samping, menuju taman- taman istana yang luas. Mereka berjalan pelan begitu melewati para pengaman yang berkawal di sudut- sudut istana, melewati bebungaan segar nan harum semerbaknya dibawa angin.
“Masihkah engkau suka membaca, Syahidah?”
Syahidah tersenyum. “Ya, masih. Aku senang sekali membaca, namun apa daya tak banyak yang dapat k****a selain silsilah kerajaan dan kisah raja masa lampau,” kata Syahidah.
“Oh, ya? Maukah kau jika kubawakan bacaan bagus? Aku punya beberapa kisah dan syair- syair.”
“Sungguh? Terima kasih, Alif,” ungkap Syahidah tulus. Wajahnya perlahan bersemu merah begitu diterpa cahaya pagi.
“Ya, sama- sama,” jawab Alif Samudera. Wajah Syahidah membuatnya menunduk senang. Perlahan ia berkata, “Tampak bagiku, kau berlain benar pagi ini. Adakah yang membuat engkau senang?”
Mata Syahidah mengawasi kupu- kupu yang sedang hinggap di bunga. “Kakakku pun, Kakanda Yazid juga bercakap begitu. Aku pun tak paham benar apa yang membuatku merasa senang.”
Alif Samudera mengangguk.
“Oh, Alif! Sudah lama aku ingin menanyakan perihal ini. Bagaimana dengan pelatihanmu sendiri?”
Pelatihan yang dimaksud Syahidah adalah pelatihan prajurit. Di negeri Seperca, para prajurit istana terus dilatih dan selalu pula dibuka angkatan baru bagi yang berminat. Alif Samudera bukanlah orang baru lagi, namun ia sudah beberapa tahun ini menjadi bagian prajurit istana. Beberapa waktu lalu, dia sudah melatih sendiri anggota baru, disamping beberapa prajurit berpengalaman lain beserta Yazid Alam dan Panglima Gafar Ali.
“Aku sudah naik tingkat,” kata Alif. “Aku sudah memimpin satu pasukan sekarang, dua tingkat di bawah ayah.”
“Bagus sekali, Alif! Aku sangat kagum dengan usahamu!” puji Syahidah. “Engkau memang benar- benar pekerja keras.”
“Aku memang bertekun untuk bisa mencapai satu tingkat di bawah ayah, Syahidah,” katanya jujur. “Aku sudah mengazamkan, bahwa bila aku bisa mencapainya, aku ingin –sekali lagi –menyampaikan maksud hatiku padamu.”
Syahidah berhenti memandangi kupu- kupu yang tengah asyik di antara mawar- mawar. “Apakah itu, tentang ... yang pernah kau sampaikan padaku dulu?”
Alif Samudera yang sedari tadi menunduk, lalu mengangkat kepalanya. Ia menatap Syahidah lekat- lekat. “Maukah engkau kembali mempertimbangkanku jika kelak aku memintamu kembali untuk menjadi istriku?”
Syahidah sama sekali tidak menyangka percakapan ini akan kembali datang padanya.
Alif Samudera kemudian melanjutkan, “Aku tahu persis, bahwa aku memang jauh darimu. Baik itu pengetahuan atau kecakapan. Pun, aku ini hanya pemuda yang ceroboh. Tak adalah yang kumiliki dan bisa kuandalkan selain kemampuanku berperang dan berperang. Aku mengerti jika engkau berkali- kali menolakku dulu kalau engkau menjadikan itu sebagai alasan. Tapi,” kata Alif Samudera lagi, “Aku ingin engkau mempertimbangkanku kali ini, karena aku akan berusaha banyak belajar untuk meningkatkan kebijaksanaanku. Aku akan belajar kepemerintahan, jika engkau inginkan.”
Putri Syahidah memandang kawan masa kecilnya itu dengan wajah lembut. Ia sangat sayang pada kawannya ini, tapi Syahidah tak pernah mempunyai rasa suka untuk pemuda itu.
“Sebelumnya aku hendak meminta maaf padamu, Alif, “kata Syahidah. “Aku bukannya menolak engkau bukan sebab engkau kurang kecakapan atau yang lain. Tapi memang, hati tak pernah bisa dipaksakan. Hatiku tiada berdesir saat bersama engkau. Duh, aku bukannya bermaksud menyinggung perasaanmu, Alif,” kata Syahidah sembari menggeleng. “Aku tak memiliki rasa untukmu, tapi aku sungguh menyayangimu sebagai kawan karibku.”
Alif Samudera mendengarkan perkataan Syahidah dengan putus asa. “Tak mungkinkah rasa itu datang nanti, Syahidah? Banyak kudengar orang- orang yang bertunang, dan kemudian benar- benar saling mencinta kerana rasa hadir kemudian.”
“Aku tak bisa seperti itu, Alif. Sungguh aku meminta maaf padamu,” kata Syahidah lagi.
Pemuda tegap berkulit kuning langsat itu mengangguk paham. “Baik, Syahidah. Jika memang begitu keputusan engkau. Aku tak bisa melakukan apa- apa lagi selain menerimanya,” kata Alif lagi. “Tapi... jikalau aku memang tak dapat menerima permintaanku tadi, bolehkah aku meminta suatu hal lain darimu? Sekarang?”
“Perihal apa itu?”
Alif Samudera tersenyum tenang pada gadis di depannya itu. “Bukan hal memayahkan, janganlah engkau khawatir.”
“Engkau tak pernah memayahkanku selama ini, Alif,” kata Putri Syahidah sembari tergelak sedikit.
Alif memalingkan kepalanya sejenak ke arah pintu istana, lalu kembali memandangi gadis yang ia sukai itu. “Sebentar lagi Ayah akan kembali dari pembicaraannya dengan Baginda. Maukah engkau menemaniku berjalan- jalan di sekitar istana ini, beberapa kali lagi saja?”
“Tentu,” jawab Syahidah. “Tentu dengan senang hati kulakukan.”