Begitu ia dan Nilam sampai di istana, Putri Syahidah pun bergegas menuju kamarnya dan membuka bungkusan dari Hamid Yusuf dengan hati- hati. Begitu bungkusan itu terbuka, tampak wajah Syahidah bukan main senangnya melihat kain tenunan yang paling cantik dan elok yang pernah ia lihat. Ia mengangkat salah satu yang berwarna merah tua, dan ketika itu jatuhlah selembar kertas di pangkuan Syahidah.
Ia amati kertas itu sejenak, lalu ia buka lipatannya. Selembar surat.
Assalamualaikum, Puan.
Saya doakan Puan dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Maafkan saya yang lancang ini, yang telah begitu berani mengirimi Puan surat. Akan tetapi, teringin hati saya ingin mengenal Puan lebih jauh, jika Puan berkenan menerima saya sebagai sahabat Puan.
Saya bernama Hamid Yusuf, pemuda dari Seperca. Saya senang pergi menjelajah tempat baru. Saya sudah acap ke Sepinang, ke negeri Puan. Saya sering melabuh kapal di dermaga negeri Puan ini tiap petang, tapi baru kali ini saya berjumpa dengan Puan.
Adakah masa kita dapat berjumpa lagi, Puan?
Semoga rahmat Tuhan Allah selalu bersama Puan.
Wassalam, Hamid Yusuf
Isi surat itu memang sesingkat itu saja, tapi mampu membuat hati Syahidah berbunga- bunga. Dengan cermat ia lipat kembali surat itu seperti lipatannya semula dan ia simpan di dekat lembar kertas pelajarannya. Kain tenun nan elok itu Syahidah simpan ke peti pakaiannya yang indah berukir halus.
Setelah selesai, Syahidah pun keluar dari kamarnya dengan muka berseri. Ia hendak bersiap untuk turun sembahyang Magrib tatkala dia bertemu adiknya, Badruddin, di lorong.
“Kakanda Putri,” sapa Badruddin seraya melambatkan jalannya. Ia tengok raut Syahidah yang tampak lebih girang dari biasa. “Kakanda Putri hendak kemana?”
Syahidah ikut berhenti. “Mempersiapkan air wudhu, adikku. Engkau hendak pergi kemana ini? Sebentar lagi waktu Maghrib masuk.”
“Ya, Kakak, ada yang hendak saya urus barang sebentar,” sahutnya dengan sopan. Alisnya naik sedikit sambil terus memperhatikan muka Syahidah. “Ada apa ini? Adik lihat Kakak Putri terlihat senang, lebih dari biasa. Adakah sesuatu yang terjadi?”
Syahidah tersenyum simpul, seraya menjawab, “Tidak, adik. Aku hanya senang bisa bersantai selepas kita belajar tadi.”
Tuanku Badruddin menatap kakaknya lurus- lurus. “Sesorean ini aku tak melihat Kakak. Kemana saja Kakak tadi?”
“Oh, itu. Aku pergi melihat- lihat negeri bersama Nilam. Mengapa?”
Tuanku Badruddin diam sejenak sebelum menjawab, “Karena ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Kakanda Putri. Bisakah kita memperbincangkannya sekarang? Adinda yakin waktu Maghrib belum akan masuk lagi.”
Putri Syahidah mengangguk dan menatap adiknya itu lekat- lekat. “Perihal apakah itu, Badruddin?”
Badruddin mempersiapkan kata- kata di kepalanya. “Aku ingin meminta tolong pada Kakanda Putri agar berkenan membantuku berbicara dengan ayah.”
“Pasal apakah itu?”
“Pembagian tugas kerajaan, Kakanda Putri,” sahut Badruddin. “Aku bermaksud meminta pada Baginda Ayah untuk memberikan tugas Kakanda Yazid bagian perkapalan dan pembinaan prajurit itu kepadaku. Aku sudah mengajukan pendapatku ini kepada Baginda Ayah beberapa hari lalu, tapi beliau menolakku mentah- mentah,” kata Badruddin lagi dengan muka masam. “Bisakah Kakak Putri membantuku membincangkan ini dengan Baginda Ayah? Baginda pasti mendengarkan apa- apa yang Kakanda Putri usulkan, seperti dulu- dulu. Aku meminta Kakak untuk mengusulkan ini pada beliau.”
Putri Syahidah mendengarkan penjelasan adiknya ini baik- baik, sebelum mulai membuka suara. “Dengarkan aku, Badruddin. Ayahanda tidaklah selalu mendengar usulku. Namun jikalau ia rasa perkataanku ada benarnya, barulah beliau pertimbangkan. Jadi tak benar tentang perkataan semua usulku diterima. Dan tentang permintaan engkau itu,” alis Putri Syahidah berkerut sedikit, “Jika Ayahanda telah menolak permintaan engkau secara langsung, maka tak akan ada ubahnya jika aku yang meminta. Dan menurut Kakak, Kakanda Yazid sudah cocok menjalani tugas perkapalan dan pembinaan prajurit itu.”
“Mengapa?” tanya Badruddin dengan muka yang mulai gusar. “Apakah menurut Kakanda Putri, aku tidak sesuai dengan tugas itu dibandingkan Kakanda Yazid? Aku pun hanya meminta sedikit bagian tugasnya saja! Kakanda Yazid masih punya tugas di pemerintahan. Ia mengawasi keamanan negeri dan perbatasan.”
Syahidah tersenyum lembut pada adiknya. “Bukannya engkau tidak cocok, adikku. Menurut Kakak, pekerjaan yang engkau pintakan itu membutuhkan kecakapan dan pengalaman. Tentu saja engkau punya kecakapan, namun kau masih perlu belajar banyak dalam pengalaman. Begitu engkau sudah mulai menguasai kegiatan perdagangan negeri ini dan kesejahteraan penduduk, tentu Ayahanda akan memindahkanmu ke bagian itu sedikit- sedikit.”
Muka Badruddin terlihat kecewa mendengar pernyataan kakaknya itu.
“Yakinlah, adikku. Ayahanda tentu lebih tahu keputusan yang terbaik. Mari, kita bersiap –siap untuk Maghrib.”
Tuanku Badruddin memberi anggukan hormat pada Tuanku Putri Syahidah tatkala kakaknya itu pergi meninggalkannya di lorong istana. Wajahnya masih saja merengut. Tampaknya, ia tak bisa mengandalkan dukungan dari Kakak Putrinya. Ia mesti berusaha sendiri.
***
Malam kelam sudah menyelimuti negeri Sepinang. Suara- suara jangkrik dan serangga malam lain terdengar keras mengalun, menunggui para prajurit pelatihan baru angkatan tahun ini yang baru menyelesaikan latihan malam bersama Yazid Alam dan Panglima Gafar Ali. Mereka kembali ke tempat peristirahatan mereka. Sebagian duduk dulu beristirahat, dan yang lainnya pergi membersihkan diri.
Salah satu prajurit baru tampak bergerak memisah dari kawan- kawannya, berbelok menuju kawasan dapur istana. Di luar dapur itu, tampak seorang gadis bermenung- menung, menatap bintang yang berserak di langit hitam.
Gadis itu adalah Dayang Nilam. Tugasnya untuk hari itu sudah selesai. Keluarga Raja Syamsir Alam Syah baru saja selesai makan malam beberapa saat yang lalu, dan kini Putri Syahidah tentu sedang beristirahat. Tak ada yang akan dikerjakan Nilam lagi, dan waktu yang panjang di malam inilah ia habiskan untuk merenung. Pikirannya melayang pada kejadian sore itu, tatkala Hamid Yusuf mendatangi Putri Syahidah untuk memberikan beliau hadiah.
Ya, Hamid Yusuf.
Ia memang sudah tahu Hamid Yusuf adalah putra yang dilahirkan selir Raja Asyfan Nazhim dari Seperca. Sudah acapkali sebelum ini ia berpapasan dengan Hamid Yusuf, tatkala Yusuf dan teman- temannya bermain ke sini. Nilam sangat ingat, perjumpaan pertamanya itu tatkala ia tak sengaja bertemu Hamid Yusuf di pasar negeri yang sesak, beberapa bulan lalu saat dirinya ditolong pula kala itu. Mengingat ini, Nilam tersenyum di malam cerah itu, tanpa menyadari sosok pemuda calon prajurit pemula itu tengah mendekatinya.
“Nilam,” sapa pemuda prajurit itu.
Dayang Nilam menengadah. “Oh, engkau rupanya, Zainal! Engkau mengejutkan aku saja,” sahut Dayang Nilam. Ia berdiri dari duduknya seraya berkata, “Ada apa engkau mendatangiku malam begini?”
Zainal tersenyum. “Tidak ada. Aku hanya ingin berjumpa dengan engkau saja, sekaligus hendak bertanya tentang keputusan engkau tentang lamaranku,” katanya.
Wajah Dayang Nilam tampak tidak enak. “Aku minta maaf, Zainal. Aku tidak bisa menerima lamaranmu.”
“Mengapa?” tanya Zainal berang. “Apakah engkau sudah dilamar orang lain?”
Dayang Nilam menggeleng. “Bukan itu.”
“Lalu? Atau... engkau sudah menyukai orang lain, Nilam?”
Nilam hanya menunduk. “Maafkan aku, Zainal.”
Pemuda itu mendengus kesal. “Seharusnya aku sudah menduga akan macam ini! Kau sepertinya tahu benar kalau aku ini menyukaimu, Nilam! Dan aku semestinya tak perlu mengembang- ngempiskan hidung hanya karena bapak emak engkau mendukungku,” katanya kasar. “Siapa pemuda perayu itu?”
Dayang Nilam tersulut begitu mendengar Hamid Yusuf disebut sebagai ‘pemuda perayu’ oleh Zainal. “Pergi engkau, Zainal! Aku tidak suka tutur katamu itu!”
Amarah Zainal ikut naik. “Kenapa pula engkau mempermasalahkan tutur kataku??”
“Ya, itu menjadi masalah bagiku! Bagaimana mungkin aku akan menikahi orang yang suka berkata dan berbuat kasar semacam engkau?”
Wajah Zainal melembut. “Tentu aku akan mengubah perilakuku demi engkau, Nilam. Asalkan engkau menerimaku.”
“Kuminta engkau, pergi!” kata Nilam memalingkan pandangannya dari Zainal. Suaranya lebih tinggi dari yang tadi.
Zainal hanya menyipitkan matanya, lalu meludah di dekat kaki Nilam. “Engkau kejarlah pemuda pujaanmu itu, Nilam! Tapi tahukah ia kalau kau mencintainya?” ejek Zainal. Mendengar itu, wajah Nilam seketika murung. Ia pun terdiam beberapa saat.
Sebenarnya Zainal hanya mencoba- coba bertanya. Namun tatkala ia melihat perubahan raut Nilam, ia merasa puas. “Tampaknya tidak, bukan begitu?” tambahnya seraya berbalik pergi, penuh kemenangan.
Meninggalkan Dayang Nilam dalam kekalutan. Kepalanya terasa pening, dan beberapa kali ia menggeleng.
“Astaghfirullah, astaghfirullah,” gumam Nilam pelan.