Perahu kecil itu menepi tepat beberapa saat beberapa perahu besar sampai di dermaga. Perjalanan dari Seperca ke Sepinang bukanlah sebentar, dan dalam kurun yang panjang itu tak henti- hentinya Hamid Yusuf merasa gelisah. Ia cemas kalau- kalau pemberiannya tak diterima, atau jika gadis yang ia lihat kemarin tak muncul lagi. Tentu, sia- sialah perjalanannya bersama Zaid.
Begitu perahunya merapat, pembantu istana yang Hamid Yusuf bawa sibuk mengurusi perahu, menjajarkannya di dekat perahu- perahu lain. Zaid telah melangkah terlebih dahulu, disusul oleh Yusuf di belakang. Namun sejurus kemudian, tangan Yusuf menahan kawannya itu melanjutkan langkah.
Zaid pun menoleh heran pada karibnya itu. “Ada apa gerangan, Yusuf?”
Yusuf terdiam saja, sementara matanya terus mengarah, mengawasi ke satu titik. Zaid ikut memalingkan pandangannya ke arah pandang Yusuf. Sekitar enam- tujuh depa dari mereka, berdiri gadis berpakaian kehormatan, yang hanya mungkin dikenakan keluarga raja- raja. Mata Yusuf tak salah lagi melihat rambut yang ditutupi selendang indah berbenang emas itu, begitu pula dengan wajah yang begitu sibuk memperhatikan kesibukan kapal besar.
“Dia, Zaid,” bisik Hamid Yusuf pada kawannya. “Dialah yang hendak aku temui hari ini.”
Zaid balas menoleh pada Yusuf, dan sejurus pun ia memandang kembali pada Putri Syahidah lekat- lekat. “Kurasa dia putri Baginda, kawan. Sudahkah engkau mengetahui ini sebelumnya?”
Wajah Hamid Yusuf terlihat susah. “Belum, Zaid. Aku tak menyangka sama sekali kalau dia bagian dari kerajaan. Kukira dia hanya gadis rakyat,” kata Yusuf mengungkapkan isi hatinya. “Tapi ada kiranya sudah kuduga kemarin itu, bahwa dia bukan gadis yang sembarangan.”
“Lantas kenapa? Apakah engkau menjadi ragu?” tanya Zaid. “Engkau pun juga anak Baginda Asyfan Nazhim yang bukan main kuasanya. Sudah berpatut engkau berbincang dengan putri itu, tak ada janggalnya sama sekali. Apa yang membuat engkau mundur macam ini?”
Hamid Yusuf diam sejenak. Zaid menghembus napas, dan melanjutkan perkataannya, “Sebenarnya, menurutku, kalaupun engkau bukan anak raja sekalipun, tak apa untuk berbincang sekadar berbincang selintas lalu saja dengan beliau ini. Tak ada salah. Rasa dan persahabatan tak perlu mengenal status dan peringkat orang,” kata Zaid tenang. “Meskipun memang di zaman ini agak sulit mengubahnya.”
Hamid Yusuf menggeleng. “Aku ini memang anak Asyfan Nazhim yang berkuasa, Zaid. Tapi aku ini hanya putra selir. Ayahanda memang membanggakanku acapkali, dan di lingkungan istana pun aku tak sebenar- benar dianggap, bahkan oleh Ibu Permaisuri dan Pamanda. Aku pun tak mempermasalahkan itu, Zaid. Tak pernah aku peduli anggapan orang. Tapi aku memikirkan anggapan orang pada putri itu nanti, bila ia berkenalan denganku.”
Zaid tersenyum pada kawannya. “Jadi, kau sekarang ingin mundur? Kalau kau memang benar yakin, aku temankan kau pulang sekarang,” kata Zaid mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Yusuf. “Keputusan ada pada engkau, kawan. Tapi tak ada yang salah dengan perkenalan. Adakah engkau menulis dengan sopan di surat yang kau selipkan tadi?” tanya Zaid.
Hamid Yusuf mengangguk. “Ya, aku hanya menulis salam perkenalan untuknya,” kata Yusuf sambil menepuk sedikit bungkusan berisi kain tenun dan sehelai surat itu.
“Nah, ayolah,” kata Zaid menguatkan, “Kalau Putri menolak, kita pulang. Tapi tak ada salahnya engkau mencoba dulu berbicara dengan beliau.”
Hamid Yusuf diam sejenak, lalu mengangguk. Mereka berdua bergerak mendekati Putri Syahidah yang masih terpukau menyaksikan kapal besar, ditemani dayangnya, Dayang Nilam.
“Assalamu’alaikum, Tuan Putri,” sapa Hamid Yusuf.
***
Putri Syahidah menjawab salam sebelum ia menoleh, karena matanya belum terasa bisa lepas dari pemandangan dermaga. Tatkala ia menoleh, ia mendapati pemuda kemarin bersama seorang kawannya sedang berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu tersenyum. Ia dan Dayang Nilam benar- benar terkejut.
Kini putri Syahidah benar- benar dapat melihat dengan jelas rupa pemuda itu. Rambutnya lurus, hitam, dan tebal. Bulu matanya panjang dari bulu mata biasa. Tapi menilik dari kulitnya yang sawo matang dan badan yang tegap, jelaslah bahwa ia sering melatih dirinya. Kala tersenyum, gigi putih berderetnya tampak, dihiasi lesung pipi di sisi wajahnya. Begitu melihat pemuda itu, wajah Putri Syahidah langsung bersemu merah walau matahari belum menyengat sangat kala itu. Ia menekurkan kepala.
Jika Putri Syahidah terkejut dengan kedatangan pemuda itu, tak pula berbeda dengan sang pemuda yang dapat melihat kembali Syahidah. Hamid Yusuf kembali melihat mata yang bulat itu menatapnya kembali, dan kulit wajahnya yang kuning tampak perlahan memerah, membuat jantung Hamid Yusuf berdesir. Ia sama sekali tidak berbeda dengan gadis yang kemarin, meski ia telah bertukar pakaian. Tak dapat rasanya Yusuf mengendalikan jantung yang berdetak kencang itu. Ia lalu menatap ke arah bungkusan yang ia bawa sembari memberi hormat.
“Terlebih dahulu, terimalah maaf saya Tuan Putri. Tak menyangka sedikitpun saya bahwa kemarin itu bahwa Puan ini Tuan Putri,” kata Yusuf dengan sopan. “Maafkanlah jika kemarin petang saya ada salah kata kepada Tuan Putri.”
Putri Syahidah masih menekur. Ia menganggukkan kepalanya sedikit dan menjawab dengan tegas, “Tak apa, Tuan. Saya pun memang tak memberitahu Tuan kemarin. Tak perlu Tuan merasa bersalah, sebab saya memang berpakaian biasa kemarin. Rakyat saya pun tak mengenali diri saya, apatah lagi Tuan yang sesekali ke sini. Saya memaklumkan.”
Hamid Yusuf memandang Putri Syahidah sekilas pada saat yang bersamaan Syahidah menatapnya. Keduanya sama- sama tersenyum, lalu menunduk lagi. Zaid, menyentuh sedikit bungkusan di tangan Hamid Yusuf, menyadarkan kawannya bahwa ada yang harus ia berikan segera.
Menyadari isyarat dari Zaid, Yusuf pun berkata, “Sebagai maaf saya, mohon Tuan Putri terima sedikit hadiah dari saya ini.” Hamid Yusuf menyodorkan bungkusan itu pada Syahidah dengan kedua tangannya, penuh hormat. “Jika boleh, saya ingin berkenalan dengan Tuan Putri. Itu jika Tuan Putri berkenan.”
Syahidah menerima hadiah itu sambil mengucapkan terima kasihnya. “Tentu saja boleh, Tuan. Tak ada salahnya saling mengenal. Saya Putri Syahidah, ananda dari Baginda Syamsir Alam Syah,” katanya sambil menunduk pada Yusuf dan Zaid. “Ini Dayang saya, Nilam namanya.”
Dayang Nilam membungkukkan badannya pada kedua pemuda itu. Putri Syahidah pun melanjutkan, “Meski saya ini anak Baginda, saya harap Tuan berdua tidak sungkan berbicara dengan saya bila kita bertemu lagi esok lusa.”
“Baik, Tuan Putri,” sahut Hamid Yusuf. “Saya bernama Hamid Yusuf, ananda dari Baginda Asyfan Nazhim dari Seperca. Ini kawan karib saya, Zaid. Saya pun mengharapkan hal yang sama pula dari Tuan Putri. Saya harap Tuan Putri mau membalas sapaan saya, meski itu Tuan Putri hanya mengangguk sedikitpun, tak apa.”
“Baik, Tuan,” kata Syahidah. “Akan saya ingat- ingat Tuan bila kita ada waktu bertemu lagi.”
Hamid Yusuf berencana untuk pergi kala itu, tapi ada yang ingin sekali ia katakan pada Syahidah. Ia ragu sejenak, dan dengan terbata- bata ia bertanya, “Tu.. Tuan, Putri?”
Syahidah menengadahkan wajahnya pada Hamid Yusuf, menatap pemuda itu lurus- lurus.
“Bila Tuan Putri berkenan, dapatkah saya berjumpa lagi dengan Tuan Putri? Saya... sangat berharap bisa melihat Tuan Putri lagi esok petang, di dermaga ini,” katanya pelan. Wajahnya memerah malu, rasanya ia sudah lancang sekali meminta permintaan semacam itu.
Syahidah berdiam, menatap bungkusan yang ada dalam tangannya. “Maaf, Tuanku. Saya pun tak tahu entah akan ke dermaga esok atau tidak. Tapi bila saya dapat, tentu saya akan ke sini lagi. Tentu kita bisa bertemu jika Tuan juga ada di dermaga ini tiap petang.”
Hamid Yusuf. “Baik, Tuan Putri. Saya mengerti. Kalau begitu, saya pamit kembali,” katanya sambil membungkuk dan memberi salam. Syahidah dan Nilam membalas salam itu. Mereka memandangi Hamid Yusuf dan Zaid, mengawasi kedua pemuda tadi kembali ke perahu kecil mereka.
Angin terasa sejuk di hati Putri Syahidah.