Tuanku Putri Syahidah memang berganti pakaian. Beliau mengenakan pakaian kehormatan keluarga raja untuk bepergian, disertai pula dengan sehelai selendang panjang nan berat berhiaskan bunga benang emas. Di depan halaman istana, tampaklah Dayang Nilam sudah berdiri menantinya, tak jauh dari kereta kuda. Di atas kereta itu di bagian depan, sudah duduk sang kusir yang memegang pemecut kuda. Tatkala ia melihat Putri Syahidah berjalan menuju kereta, sang kusir serta- merta turun dan memberi hormat pada Tuanku Putri, serta membukakan pintu kereta bagi Syahidah dan Nilam.
Perjalanan mereka berkereta menuju dermaga hanya memakan waktu sebentar. Kuda itu bergerak cukup cepat, dan beberapa saat kemudian tibalah mereka di pinggir dermaga. Syahidah turun bersama Nilam, seraya pula ia berkata, “Tak usahlah engkau menunggu kami berdua. Nanti aku dan dayangku akan pulang dengan berjalan kaki saja.”
“Benarkah tak apa bagi Tuanku?” tanya kusir kereta itu bersungguh- sungguh.
“Ya. Lebih baik engkau kembali saja ke istana. Aku dan dayangku tak akan lama.”
“Baik Tuanku Putri,” sahut kusir itu sembari menabik memberi penghormatan dari atas kereta, lalu memecut kudanya berbalik. Ia memacu kuda itu hingga kuda berlari kencang kembali ke arah negeri.
“Nah, Nilam. Mari kita tengok tempat mana yang cocok kiranya untuk duduk- duduk melepas penat,” kata Putri Syahidah. Mereka meniti jalan di dekat laut itu dengan hati- hati, dan berjalan berdua menuju tempat yang sepi dan teduh di siang itu namun tetap memberi keleluasaan untuk memandang.
Keduanya akhirnya mendapat tempat yang cukup bagus, tak jauh dari kesibukan kapal- kapal yang berangkat dan berlabuh. Putri Syahidah mengembangkan kertas kulit kayunya, lalu mengeluarkan dari dalam kantong bawaannya beberapa batang pena dari batang alang yang sudah diruncingkan, beserta sekotak tinta. Tinta yang Syahidah gunakan berupa campuran arang yang dihaluskan dipadu getah tumbuhan. Ia membuka kotak kayu itu hati- hati, lalu mencelupkan batang pena itu dan mulai menulis.
Dayang Nilam duduk di samping Tuanku Putri, memandang laut lepas yang bergelombang, berhempas beraturan. Lama sudah ia bermenung, kemudian Nilam menolehkan pandangannya pada Syahidah. “Apa itu yang Engku tulis, kalau saya boleh mengetahuinya?”
“Tentu saja, Nilam. Ini,” kata Syahidah sambil meneruskan tulisannya, “Seperti yang sudah aku sampaikan pada engkau tadi, adalah pengajaran Syaikh padaku pagi ini, menjelang Zuhur. Engkau tentu sudah bisa membaca Arab- Melayu? Kau boleh membaca tulisanku,” kata Syahidah. Ia menunjuk pada lembar- lembar yang telah ia tulisi.
Dayang Nilam mengangguk tersenyum. “Saya sangat berterima kasih pada Engku Putri yang sedia mengajari saya baca tulis masa kita kecil dulu,” katanya. “Kalau tidak, apalah guna saya ini. Kalau begitu, saya lihat beberapa, ya, Engku?”
“Silakan, Nilam. Semoga kau bisa juga mendapat sedikit ilmu setelah membaca tulisanku. Syaikh El- Beheira memang dalam dan menyeluruh pengetahuan agamanya. Pun, ia hebat pula mengajar.”
Syaikh yang dimaksud Putri Syahidah adalah seorang alim asal Persia. Dulu di masa ayahnya kakek Syahidah, sudah cukup banyak pedagang Arab, Gujarat, dan Persia yang berdagang di Sepinang dan menjadikan Sepinang sebagai titik lintas dagang sebelum mereka masuk ke Pulau Besar. Masa itu, kebanyakan penduduk masih mempercayai ruh yang diyakini ada pada benda- benda mati. Keberadaan pedagang dari negeri Arab itu mempengaruhi cara bertutur dan menulis penduduk Sepinang, dan perlahan satu demi satu mereka masuk Islam. Barulah sekitar beberapa waktu setelahnya, kakek Syahidah –yaitu ayah dari Baginda Syamsir Alam Syah sendiri – memerintah dan masuk memeluk agama Islam. Ia memerintahkan agar semua penduduk juga menerima agama yang sama, untuk mempercayai satu Tuhan. Dalam jangka waktu yang berdekatan, pulau tetangga mereka –Seperca—juga mengakui Islam sebagai kepercayaan utama mereka.
Diterimanya Islam masa itu membuat perdagangan antara penduduk Sepinang dan negeri Arab makin erat. Beberapa alim berpengetahuan datang ke Sepinang atas permintaan ayah Baginda Syamsir Alam Syah, untuk mengajarkan keluarga kerajaan beserta penduduk biasa tentang akhlak dan tata- cara beribadah. Kebiasaan itu berlanjut hingga sekarang, dan Syaikh El- Beheira merupakan anak dari salah satu syaikh yang pertama kali diundang untuk tinggal dan mengajar di Sepinang. Di keluarga kerajaan, Syaikh terkhusus memberi pengajaran pada Baginda Syamsir Alam Syah beserta ketiga anaknya. Syaikh kini sudah cukup tua, tapi tetap memiliki daya ingat yang kuat.
Nilam dengan hati- hati mengambil salah satu lembar kulit kayu yang telah mengering tintanya, lalu mulai membaca dengan lantang, ditingkahi debur ombak yang keras. “Perihal Mengenal Allah dan Rasul- Nya. Mengenal Tuhan kita dan Rasul tak hanya sekedar tahu dan meyakini, tapi juga mengimani- Nya dengan ilmu. Kita diwajibkan menuntut ilmu agar tahu Diin kita, Islam. Dengan memiliki ilmu, kita bisa mengamalkan tuntunan agama untuk diri sendiri dalam berucap dan berbuat, kemudian menda’wahkannya pada orang sekitar kita. Mengenal Allah dan Rasul- Nya adalah hal paling pertama yang harus kita miliki, merupakan asas pertama agar kita mampu masuk Islam secara sempurna.”
“Bacaanmu sudah bagus, Nilam,” puji Syahidah. Ia tersenyum sekilas pada Nilam, lalu meneruskan pekerjaannya. Mendengar Nilam tersipu- sipu.
Syahidah pun kembali berkata, “Beberapa bulan ini aku belajar tentang adab menuntut ilmu, maka dari itu aku gembira sekali saat hari ini kami belajar pasal baru. Tentang Allah dan Rasul.”
“Lama sekali, Engku!” kata Nilam terkejut. “Beberapa bulan Engku habiskan untuk mempelajari adab menuntut ilmu?” tanyanya lagi.
“Ya, sebab menurut Syaikh adab menuntut ilmu perlu diketahui terlebih dulu sebelum berilmu,” katanya. “Ayah dan aku bertiga, dengan Kakanda Yazid Alam dan Adinda Badruddin, sudah lama belajar pada beliau. Tata cara sembahyang, tentang berzakat, sedekah dan perihal lain yang Muslim lakukan sudah khatam kami pelajari. Tapi beliau berkata, sekarang saatnya kami masuk pada pokok pengajaran Islam itu. Beliau hendak mengajari kami sekeluarga perihal tafsir Qur’an sedikit- sedikit.”
“Bagus sekali, Engku!” kata Dayang Nilam turut senang.
“Nah, daripada itu, kau mestilah sering- sering ikut membaca saat aku membaca. Aku akan pinjamkan engkau lembar- lembar yang sudah kutulisi dulu, supaya bertambah pula ilmu engkau, Nilam.”
Nilam membungkuk, menghormat. “Terima kasih banyak saya haturkan untuk segala kebaikan hati Engku Putri.”
“Ya, Nilam. Sama- sama.”
Putri Syahidah kembali mencelupi penanya ke dalam tinta dan meneruskan tulisannya dalam diam, sementara Dayang Nilam membaca lembar- lembar yang sudah disisihkan Syahidah dan membacanya agak pelan. Ia tak ingin membuat Putri Syahidah terganggu.
Dari kejauhan, terdengar gemuruh ombak yang dihantam keras oleh benda besar. Syahidah dan Nilam menengok ke laut. Tampak dari kejauhan beberapa kapal mendekat, bergerak menuju dermaga Sepinang.
“Tampaknya kita sudah cukup lama di sini, Engku,” kata Nilam. “Di depan kita, kapal- kapal sudah mulai berdatangan.”
“Benar, Nilam. Bagaimana kalau kita ikut melihat sejenak ke dermaga? Seperti kemarin?”
Dayang Nilam tersenyum mendengarnya. “Adakah di dalam hati Engku menunggu kedatangan seseorang?”
Syahidah tertawa. Ia menghentikan goresan penanya, lalu menjawab, “Kalau aku mengharap hendak bertemu pemuda kemarin, aku telah datang terlalu cepat, Nilam. Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya ingin melihat satu- dua kapal berlabuh dulu sebelum kita pulang.”
Dayang Nilam setuju. “Baik, Engku Putri.”
“Ah, tapi aku habiskan dulu tulisanku ini. Aku takut nanti jika tak kuselesaikan, ada yang hilang dari kepalaku,” kata Syahidah. “Hari pun baru menjelang sore, masih banyak kapal yang hendak berlabuh di sini. Kalau bisa kita pulang sebelum Ashar datang.”
“Baik, Engku,” kata Nilam patuh. Sementara Syahidah kembali mencelupkan batang penanya, Nilam mengemasi lembar- lembar yang sudah habis dibacanya dan lembar yang mengering. Ia lalu mengurutkan semua tulisan Syahidah menjadi satu. Setelah lembar terakhir Syahidah selesai, Nilam meniupi lembar itu sampai kering. Ia lalu meletakkannya di bagian paling bawah, dan mengikat semuanya dengan tali rotan. Sedangkan Syahidah mengemasi batang pena dan kotak tintanya ke dalam bungkusan kain tadi.
“Mari,” ajak Syahidah yang sudah beranjak dari duduknya. Keduanya lalu berjalan dengan anggun melewati bebatuan pinggiran watas laut, dan melangkah ke arah dermaga. Sosok Putri Syahidah sudah tampak dari jauh, dan seketika orang- orang menepi ke pinggir memberi beliau dan Nilam jalan, disertai hormat.
Putri Syahidah mengangguk tersenyum, dan terus melalui jalan yang mulus menuju dermaga. Beberapa orang yang di dermaga nampaknya sudah mengetahui keberadaan putri Baginda Raja dan memberitahu yang lain, sehingga jalan memang dikosongkan tepat di depan Syahidah hingga ke tepi dermaga. Sesampai di sana pun, saudagar yang baru turun dari pencalang juga memberi hormat padanya.
“Bolehkah saya bertanya, darimana Tuan datang?” tanya Syahidah.
Pria saudagar itu menunduk, lalu menjawab sopan, “Hamba dari Seperca, Tuanku Putri nan elok. Hamba membawa dagangan dan menjualnya di sini.”
Syahidah mengangguk padanya, memberi izin melanjutkan kegiatan. Syahidah pun berjalan ke arah ujung dermaga, yang bermuara pada laut lepas. Di ujung horison, tampak beberapa kapal kecil yang kelihatan juga mengarah ke Sepinang.
Kapal- kapal itu perlahan tapi pasti makin membesar begitu mereka mendekati Sepinang. Syahidah dan Nilam berdiri di sana, menyaksikan kedatangan kapal itu dengan aman. Tidak seperti kemaren petang saat mereka terlihat seperti rakyat biasa.
Layar- layar kapal itu diturunkan, dan tak lama sesudah itu kapal beragam ukuran itu berlabuh. Satu- persatu, penumpangnya turun, dan segera memberi hormat pada Tuanku Putri.
Syahidah sibuk memperhatikan kapal- kapal besar yang membawa muatan barang. Para pemikul beban mengambil barang- barang itu, dan melewati Syahidah dengan sedikit membungkuk. Untuk mencegah kejadian kemarin, Syahidah dan Nilam berdiri agak ke pinggir, sekaligus memudahkan pembawa beban itu bolak- balik membongkar barang. Ia sama sekali tidak memperhatikan perahu kecil yang baru saja berlabuh, membawa serta beberapa orang di atasnya.
“Assalamu’alaikum, Tuan Putri,” sapa salah seorang penumpang perahu kecil itu. Tuanku Putri Syahidah menoleh.