Terikat Langkah

1493 Words
Siang itu, angin sepoi- sepoi berhembus di negeri kecil Seperca. Cuaca cukup baik bagi orang yang hendak berlayar, mentari bersinar cerah namun tak menyengat. Tak ada awan hitam menggumpal sedikitpun mengawang di langit. Hamid Yusuf dan Zaid baru saja menyelesaikan pembayaran untuk tenunan yang ia beli di rumah songket Mak Karimah. Ia memilih dua songket yang paling bagus dan elok kualitasnya: songket pertama hijau zamrud motif serikaya, dengan jalinan benang emas dan perak. Sedang songket kedua berwarna merah tua bermotif wajik, dihiasi benang emas saja. Keduanya berbahankan sutera tebal paling baik. Melihat pilihannya yang sudah terbungkus rapi itu, rasa puas membayang di wajah Hamid Yusuf. Ia pun menoleh pada Zaid yang berdiri di sebelahnya. “Aku sudah memesan kapal kecil untuk hari ini, Zaid. Pembantu istana tengah mengurusnya kini di dermaga. Kita tinggal berangkat saja ke sana dan naik, duduk dengan nyaman,” kata Hamid Yusuf senang. Zaid hanya tersenyum melihat kegembiraan yang begitu besar terpancar di wajah kawannya itu. “Bilakah kita berangkat, Yusuf?” Hamid Yusuf mengangguk sedikit, “Tentu saja sekarang, Zaid. Kita tak boleh membuang- buang waktu.” Ia menatap ke langit, dan mengangkat tangannya merasakan angin. “Aku rasa jika perahu kecil kita bergerak dengan kecepatan angin sekarang, kita bisa sampai di Sepinang sore hari saat hari mulai sejuk.” “Ya, kau benar,” kata Zaid. “Dan kita bisa kembali tepat di petang hari. Tapi, bagaimana jika wanita itu belum datang ke dermaga, Yusuf? Bagaimana jika ia baru datang menjelang petang, seperti kemarin?” “Benar juga,” kata Hamid Yusuf sembari berpikir keras. Lama ia merenung sebelum ia kembali membuka suara, “Tak apa, Zaid. Aku akan langsung mengenakan pakaian malam sekali, supaya saat kita kembali, aku bisa langsung ikut makan malam keluarga dengan Ayahanda. Kita kembali ke istana dulu sebentar.” Zaid tak menjawab, tapi ia langsung mengikuti langkah Hamid Yusuf. Mereka bergegas kembali sehingga keduanya mencapai istana dalam waktu singkat. Saat hendak menaiki tangga istana, Hamid Yusuf menyadari bahwa ayahandanya tengah berdiri di pintu utama. Ia bersama Zaid langsung memberi salam pada Baginda Raja Asyfan dan segera disahuti Baginda. “Darimana engkau, Yusuf?” “Dari pasar, Ayahanda. Aku membeli kain tenun.” “Kain tenun? Untuk siapa engkau belikan kain tenunan itu? Jika untukmu sendiri, baiklah engkau berpesan saja pada bendahara istana, biar ia belikan yang paling bagus.” “Tak apa, Ayah,” kata Hamid Yusuf. “Aku membeli kain ini untuk kuberikan pada seorang kenalan. Jadi kupikir, lebih elok aku memilih sendiri kain mana yang paling cocok.” Baginda Asyfan mengangguk. “Yusuf, ada sesuatu yang hendak Ayah bicarakan dengan engkau, anakku.” Baginda menoleh pada Zaid yang bersiap- siap mundur dan meninggalkan tempat itu karena tidak enak menganggu pembicaraan ayah beranak itu. “Tak apa, Zaid, kau tetap tinggal saja disini. Lagipula, ini bukanlah pembicaraan yang sangat penting.” Zaid membungkuk sedikit seraya ebrkata, “Baik, Baginda Raja.” Raja Asyfan lalu menoleh pada anaknya. “Ayah ingin memastikan sesuatu dengan engkau, Nak. Benarkah engkau pernah mangkir dari kelasmu dengan Tuan Guru?” Hamid Yusuf menggeleng. “Tentu tidak, Ayah. Kalau terlambat, memang pernah sekali.” “Kenapa engkau terlambat kala itu?” Hamid Yusuf memandang ayahnya dengan perasaan bersalah. “Maafkan aku, Ayah. Kala itu aku berlayar dengan kapal bersama kawan- kawan, dan cuaca tiba- tiba buruk. Kami terpaksa mengundur waktu pulang barang sejam dua jam sampai cuaca bagus kembali.” “Begitu,” sahut Raja Asyfan singkat. “Nak, kau harus menghargai betapa besarnya kepentingan orang berilmu di mata orang lain. Orang berilmu juga lebih bijaksana dalam hidupnya, jadi berusahalah mendapatkan ilmu bagaimanapun keadaannya.” “Baik, Ayahanda.” “Dan jangan engkau mengulangi lagi keterlambatanmu. Tuan Guru tentu telah meluangkan waktunya untuk mengajarimu. Maka luangkanlah waktumu untuk mendapatkan ilmu yang diajarkan Tuan Guru.” “Baik, Ayah. Pesan Ayah akan selalu kuingat baik- baik.” “Kalau begitu kau bisa terus langsung ke rumah kebesaran. Istirahatlah.” “Oh, maafkan aku, Ayahanda,” kata Hamid Yusuf sambil menghormat. “Aku bermaksud meminta izin Ayah untuk pergi berlayar ke negeri sebelah, Sepinang. Aku hendak memberikan kain tenunan ini pada kenalan.” “Ya, Ayah izinkan engkau.” “Terima kasih, Ayah,” kata Hamid Yusuf. Ia memberi isyarat pada Zaid untuk mengikutinya ke area rumah kebesaran. *** Waktu- waktu begini memang suka sekali Syahidah habiskan di ruang duduk istana. Dia tahu memang tak banyak buku yang bisa ia baca. Kebanyakan hanya berpasal riwayat kerajaan, dan begitu pula saat sekarang. Ia baru melanjutkan membaca kumpulan kulit kayu yang kesebelas, yang berisi tentang riwayat keturunan kesebelas keluarga Raja Sepinang. Tapi kulit kayu yang diikat dengan benang rotan itu dia biarkan saja berserak, benangnya pun entah dimana,. Pening kepalanya membaca perihal riwayat itu. Meski ia mampu menulis dan membaca Arab- Melayu dengan baik, tapi isi lembaran yang masih terawat dengan baik itu sama sekali tidak menarik hatinya. “Aduduh, Engku Putri! Apakah Engku masih memikirkan pemuda berkulit sawo matang kemarin,” rayu Dayang Nilam dengan senyum tersungging di bibirnya. Mau tak mau, Putri Syahidah pun ikut tersenyum. “Apa ini, Nilam?” tanya Syahidah mengelak. “Aku hanya tak suka dengan bacaan ini. Itu saja.” “Ya, Engku. Engku juga mengeluhkan hal serupa kemarin. Tapi tidaklah pernah saya dapati Engku segelisah ini.” “Benarkah itu, Nilam?” tanya Syahidah. “Ya, Engku,” sahut Nilam yang masih tersenyum. “Apa yang menyusahkan hati Engku sekarang ini? Jika memang ada sesuatu, tak dapatlah saya menduga hal lain selain masa’alah kejadian kemarin.” Syahidah menunduk memandang lembaran kulit kayu itu. Ia kumpulkan perlahan dengan jari- jemarinya kuning langsatnya yang panjang, sambil menghembus napas. “Entahlah, Nilam. Jika memang benar ini perasaan suka, ini terlalu berat buatku. Sekali pertemuan kemarin itu terlalu berat buatku.” “Kenapa, Engku Putri?” tanya Nilam. “Apa ada yang membuat Engku merasa susah?” Putri Syahidah memandang Nilam putus asa. “Semuanya terasa menyusahkanku, Nilam. Bayangnya terus ada dalam kepalaku,” aku Putri Syahidah. Pipinya yang kuning mulus itu memerah jambu. “Meski aku tak begitu jelas melihat wajahnya di bawah terik matahari sore itu, tapi senyumnya jelas di benakku. Dan aku bahkan tak bisa memusatkan pikiranku untuk membaca lagi,” kata Syahidah menggeleng lagi. “Lebih baik, Engku habiskan saja bacaan Engku sampai di sini,” kata Dayang Nilam. Ia mengemasi lagi lembaran itu dan mengikatnya. “Mari, kita berkunjung ke dermaga lagi, Engku. Siapa tahu Engku bisa bertemu dengannya lagi.” Putri Syahidah terkesiap. “Tidak, Nilam! Untuk apa aku mencari- carinya lagi. Sudah cukup sampai kemarin saja. Aku tak ingin seperti orang yang tengah kehilangan pikiran begini.” Dayang Nilam menatap kawan putrinya itu. “Jikapun Engku tak bertemu dengannya, tak apa! Maksud utama kita bukan untuk mencari- cari dia Engku. Maksud saya agar bisa Engku merehatkan pikiran sejenak, memandang laut lepas. Di dalam ruang duduk ini, tak ada yang bisa Engku lihat selain buku, dan itulah sebabnya pikiran Engku melayang terus pada pemuda itu.” Tuanku Putri Syahidah mengangguk. “Engkau benar, Nilam. Tapi,” ia memandang Nilam lagi dengan wajah pahit, “Tak adakah tempat lain yang bisa kita tuju untuk menenangkan pikiran, Nilam? Selain dermaga?” Dayang Nilam berpikir sejenak, lalu menjawab, “Saya tidak bisa memikirkan tempat lain, Engku. Engku takkan bisa berpikir lebih jernih lagi jika saya ajak ke gelanggang permainan atau pasar. Lagipula,” tambah Nilam, “Saya yakin Engku tak akan bertemu dengan pemuda itu lagi, jika Engku merasa susah karena itu. Sebab, sekarang belum petang lagi. Jika kita ke sana sekarang, hari masih siang. Kita bisa duduk- duduk di sana sampai sore, lalu pulang. Tak perlu sampai petang, Engku,” kata Dayang Nilam sambil menunduk sedikit. Ia merasa telah terlalu banyak memberi anjuran, dan takut terlalu menggurui Syahidah. “Kenapa engkau menunduk begitu, Nilam? Tak apa, aku senang dengan anjuranmu. Marilah, kalau begitu kita pergi sekarang,” kata Syahidah. Ia berdiri lalu mengambil beberapa pena batang alang, serta kotak tintanya. “Bolehkan saya tahu untuk apa Engku membawa pena dan kotak tinta, Engku? Apakah Engku berniat menulis, nanti?” Syahidah tersenyum. “Benar, Nilam. Aku ingin menulis beberapa pengajaran Syaikh tadi, aku takut terlupa. Kukira melakukannya di dekat laut dapat membuat tulisanku lebih baik.” “Saya setuju, Engku,” kata Dayang Nilam. “Kalau begitu, biar saya bawakan. Dengan lembar kayunya sekali.” “Terima kasih, Nilam. Engkau tunggulah aku sejenak di depan dekat gerbang. Aku hendak berganti pakaian dulu dengan pakaian bepergian,” kata Syahidah sambil tertawa geli. “Aku sudah jera memakai pakaian biasa sebagai kemarin. Kalau orang- orang tak sengaja mendorong kita berdua ke laut, apa jadinya kita nanti?” Dayang Nilam ikut tertawa geli. “Benar sekali, Tuanku Putri.” “Dan aku berniat ke sana dengan kereta, biar kita berdua lebih cepat sampai. Bisakah engkau meminta kusir kereta istana agar bersiap- siap di depan?” “Baik, Engku.” Dayang Nilam undur diri dari ruang duduk itu, diikuti Putri Syahidah yang melangkah menuju kamarnya untuk bersiap- siap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD