Rona Zafan Nazhim masih tampak kecewa sejurus ia keluar dari bangunan utama istana. Ia melangkahkan kakinya dengan pasti, melintasi watas bangunan utama, dan serta- merta ia berbelok ke bangunan lain, yang masih termasuk dalam area istana. Ada rumah- rumah kebesaran, yang meski iapun disebut ‘rumah’, namun rupanya sama elok dan cantiknya dengan bangunan utama. Rumah- rumah kebesaran itu dahulunya diperuntukkan bagi orangtua Baginda Raja –mendiang Malik Nazhim beserta istri, Permaisuri sekarang, Hamid Yusuf, berikut kerabat keluarga kerajaan. Namun seiring waktu berjalan dan musim bertukar, rumah- rumah itu mulai lengang dengan mangkatnya Malik Nazhim dan istri, begitu pun dengan kerabat- kerabat dekat yang memang sudah berumur juga kala itu.
Zafan menaiki tangga pualam salah satu rumah kebesaran, dan begitu ia sampai di pintu yang dijaga prajurit, ia berkata pada mereka, “Tolong engkau sampaikan pada Permaisuri. Saya, Zafan Nazhim, hendak bertemu dengan beliau.”
Prajurit tadi menundukkan salam hormatnya kepada Zafan dan bersegera masuk ke dalam rumah kebesaran. Tak lama sesudah itu, prajurit itu kembali muncul bersama seorang dayang Permaisuri. Prajurit kembali pada posisi ia berdiri semula, sedang dayang itu membungkuk sembari berkata, “Permaisuri sedang menunggu Tuanku Zafan Nazhim di ruangan beliau. Mari hamba antarkan Tuanku ke sana.”
Zafan menggeram pertanda ia setuju, dan kemudian ia mengiringi dayang yang terus membungkuk itu melangkah ke dalam rumah kebesaran itu. Begitu memasuki ruangan permaisuri, Zafan segera memberikan salam penghormatan. Di sana sudah duduk di kursinya, Permaisuri Aziya beserta seorang lagi dayangnya. Beliau tengah duduk di kursi berukir lagi bersepuh emas dengan dagu ditinggikan. Permaisuri tampak sangat menawan mengenakan pakaian merah tua berbahan sutra halus khas Seperca.
“Kalian berdua, pergilah dulu sebentar,” perintah sang permasuri pada kedua dayangnya. Para dayang mengiyakan perintah permaisuri. Mereka membungkuk dan keluar, lalu menutup pintu ruangan itu.
Selang sesaat pintu tertutup, serta- merta Zafan Nazhim menanggalkan semua sopan santunnya yang tadi ia tunjukkan. Dan kebalikannya, Permaisuri Aziya melepas semua keangkuhannya tadi, berganti rupa dengan wajah lembut penuh keramah- tamahan.
Zafan dengan terang- terangan menunjukkan wajah kegusaran seraya berkata, “Aziya! Tak bisakah kau membantuku barang sedikit saja? Tak bisakah engkau memberi sepatah- dua patah katamu pada Baginda agar mau mencabut hak waris Yusuf dari mahkota kerajaan?”
Permaisuri memandangi kekasihnya itu, lalu berujar, “Apa dayaku, Zafan pembuluh hatiku! Baginda Asyfan sangatlah arif dan cermat memutuskan masalah. Pengaruh- pengaruhku tak berdampak bagi beliau.” Ia memandangi Zafan dengan putus asa. “Engkau tentu lebih tahu bagaimana tindak- tanduk kakakmu itu sejak kecil. Apalah guna kata- kataku baginya?”
“Tentu kata- katamu berguna baginya, Aziya! Dia suamimu dan dia sangat menyayangimu!”
Permaisuri Aziya menggeleng sedikit. “Tapi ia tahu hatiku tak pernah benar- benar untuknya. Ia tahu aku tak benar- benar mengasihinya sedari dulu. Meski,” ungkap permaisuri dengan pipi yang memerah jambu, “Sebenarnya aku lebih mengharapkanmu dan Asyfan tetap tidak mengetahui itu.”
“Ya, sahut Zafan tak sabar. “Sudah engkau coba cara lain untuk menghalangi pemuda itu, Ziya?”
“Tentu saja sudah, Tuanku,” sahut permaisuri membela diri.
Zafan mengarahkan pandangannya pada permaisuri lekat- lekat. “Aku tak benar- benar melihat kesungguhan itu dalam dirimu, Aziya.”
“Teganya Tuanku berkata semacam itu,” kata permaisuri tampak terluka. “Tentu Tuan sudah tahu seberapa besar rasa kasih saya pada Tuan. Dan Tuan juga tahu, seberapa besar pula rasa benci saya pada selir yang telah merebut posisiku dalam kerajaan. Aku kini sebagai orang terbuang. Meski digelimangi beragam emas dan kesenangan juga orang- orang yang selalu menundukkan kepalanya di hadapanku, tahukah kau anggapan orang di belakang? Mereka mencibirku yang hanya menumpang hidup saja ini, wanita tua ini!” Permaisuri itu menjerit menahan tangis. “Semua gara- gara selir itu!”
“Ya, kata Zafan menyahuti luapan perasaan permaisuri itu. “Dan kau mesti mengingat betapa selir itu juga memiliki anak yang hendak mengambil alih kuasa di Seperca ini.”
“Tapi, apa yang kuharapkan dari permintaanmu, kekasihku? Aku butuh keyakinan darimu bahwa kau sebenar-benar berbai’at jika aku bisa membantumu suatu hari nanti.”
“Tentu saja,” kata Zafan sambil menyunggingkan senyum di bibirnya. “Aku akan menjadikan engkau, Aziya, sebagai permaisuriku. Kau tentu sudah tahu, istriku meninggal bertahun- tahun lalu bersama anak yang tengah ia lahirkan. Aku tentu akan meminang seorang wanita untuk menjadi permaisuri, untuk mengokohkan keberadaanku sebagai Raja Seperca. Dan kau, Aziya, engkaulah yang berhak untuk kedudukan ini.”
Wajah Permaisuri Aziya yang tadi bersusah hati perlahan berseri begitu ia mendengar janji dari Zafan. Ia pun berkata, “Baiklah, Zafan. Akan kupegang perkataanmu ini. Dan akan kuusahakan semampuku untuk mengembalikan apa yang telah diambil darimu.”
“Tentu, aku akan memegangnya pula,” kata Zafan. “Percayalah padaku, Aziya. Aku akan meminangmu dan menjadi raja yang jauh lebih adil, lebih hebat, dan berkuasa di Seperca ini. Kalau perlu, kita gempuri pula Pulau Besar.”
“Oh, jangan engkau terlalu jauh berangan, Zafan! Tak mampu aku menahan senang di hatiku begitu membayangkannya.”
“Tak apa. Bayangkan saja dari sekarang. Tak ada yang salah, karena semua itu akan terjadi.” Mata Zafan menatap kejauhan dengan tajam. “Pasti terjadi.”
Ia lalu berbalik dari Permaisuri Aziya dan keluar. Di tengah jalan, ia tersenyum- senyum menyeringai. Ia bergumam dalam hati.
Percaya saja engkau, Aziya? Bagaimana mungkin aku akan menikahi wanita kakakku sendiri? Apalagi kau tak mampu memberi anak, dan banyak lagi gadis nan lebih elok rupa dari kau! He, Aziya, apa yang tengah engkau harapkan?
Zafan melewati para prajurit yang menjaga rumah kebesaran Permaisuri dengan kesopanan yang sudah ia tunjukkan lagi, dan melangkah kembali ke bangunan utama istana dengan perasaan puas di dadá
.
***
“Ayolah Engku,” pinta Dayang Nilam yang merendengi Putri Syahidah selama di perjalanan pulang. “Tegakah Engku membuat saya penasaran? Saya ini sahabat karib Engku.”
Putri Syahidah tertawa mendengar pinta temannya itu. “Apa yang begitu kau penasarankan Nilam?”
“Tentu saja pemuda itu, Engku,” kata Dayang Nilam dengan senyum mengembang. “Siapakah gerangan ia, yang berhasil membuat Engku yang tengah pucat karena rasa takut hampir tenggelam, namun tiba- tiba cerah sebagaikan disirami cahaya matahari pagi,” kata Nilam. “Yang membuat Engku telah berbunga- bunga sepanjang petang ini.”
Putri Syahidah menggeleng. “Aku bukannya suka padanya, Nilam. Ia hanya menolongku sesorean ini dan aku berterima kasih padanya. Lagipula, aku pun tak tahu namanya.”
“Sungguh?” tanya Nilam. Kedua gadis sepantar itu sudah memasuki area istana, dan pengawal gerbang depan memberi hormat pada mereka berdua. “Tak Engku tanyakankah namanya sebelum dia pergi?”
Syahidah menggelengkan kepalanya lagi. “Malu aku, Nilam. Apa omong orang nanti kalau seorang anak Syamsir Alam Syah menanya- nanyakan nama pemuda seperti itu? Lagipula tak sopan rasanya aku menanyakan langsung saat pertama kali berjumpa.”
Dayang Nilam mengangguk. “Ya, Engku memang benar. Tapi tidakkah Engku ingat bagaimana rupanya? Ciri- cirinya seperti apa?”
Syahidah memelankan langkahnya lalu berhenti. Nilam pun ikut berhenti.
“Sudah kukatakan pada engkau, aku tak begitu memperhatikan wajahnya kala itu. Tapi kurasa aku bisa mengingat selintas, Nilam,” ujar Putri Syahidah yang tengah berpikir. “Saat itu syafak sudah mulai turun, dan begitu menyakitkan mata. Aku jatuh tepat saat cahaya matahari menusuk mataku dan pemuda itu menolongku. Pandanganku rasanya belum terlalu benar saat itu, tapi kurasa dia cukup tegap. Kulitnya agak berkilau, bukan hitam. Lebih pada sawo matang.”
Dayang Nilam begitu tertarik mendengar penjelasan Syahidah.
Putri Syahidah melanjutkan, “Samar- samar aku bisa mengingat hidungnya agak mancung. Kurasa itu saja yang bisa kuingat.”
Dayang Nilam tampak ikut merenung. “Tapi, Engku Putri, banyak sekali pemuda dengan rupa seperti yang Engku katakan tadi. Tak bisakah Engku mengingatnya lagi?”
“Oh, tunggu, Nilam,” kata Putri Syahidah tiba- tiba sembari mengangkat tangannya. “Kurasa aku tak pernah melihat rupa- rupa pemuda ini di negeri Sepinang. Kau tentu tahu, semua pemuda akan berkumpul tiap tahun tiap kali ada gelanggang, dan aku setidaknya ingat iras pemuda- pemudi di sana. Beberapa juga kawanku,” kata Syahidah. “Tapi pemuda ini... baru sekali ini aku melihatnya. Ia asing bagiku, Nilam.”
“Sungguhkah, Engku?” tanya Nilam. “Mungkinkah ia pemuda yang datang bersinggah ke Sepinang? Kalau memang demikian, besar kemungkinan ia saudagar.”
“Boleh jadi, Nilam. Aku tak yakin untuk menduga- duganya.”
“Atau bisa jadi dari negeri tetangga kita, Seperca,” renung Nilam lagi. “Dan saya rasa ada beberapa orang yang termasuk dalam ciri- ciri yang Engku sebutkan.”
Dayang Nilam melayangkan pandangannya kembali pada Putri Syahidah, dan masih terus berpikir keras. Syahidah lalu menyentuh lengan Nilam lembut seraya berkata, “Sudahlah, Nilam. Tak usah kita terlalu pening memikirkan sesiapa itu. Mari masuk istana cepat, sebentar lagi waktu Maghrib akan masuk. Baik kita bersiap –siap untuk pergi sembahyang.”
Dayang Nilam mengangguk, lalu menurutkan langkah Engku Putri sahabatnya itu.