Jalan Diikhtiarkan

1416 Words
Angin petang bertiup pelan, menghembus kapal- kapal yang hendak menepi. Angin itu mendinginkan udara panas terik siang tadi, menyejukkan perasaan orang- orang yang baru pulang dan kembali ke Seperca. Sedikit demi sedikit kemudi diputar balik, layar diturunkan, dan kapal- kapal bergerak menepi, berlabuh di pinggir dermaga Seperca. Cahaya syafak menyepuh langit dan lautan luas sebagai emas bergolak, membuat semua mata senang memandang. Satu- persatu orang- orang turun dari pencalang, termasuk Tuanku Hamid Yusuf dan teman- temannya. Hamid Yusuf berjalan dengan hati sangat gembira, dan sejenak ia berbisik pada kawan- kawannya, “Tahukah kalian tempat tenunan khas Seperca ini? Aku hendak membeli kain tenunan terbaik di negeri ini.” “Untuk apa bagi engkau, Yusuf? Untuk engkau jahitkan menjadi pakaiankah? Engkau ini anak Raja, tak perlulah bersusah- susah mengurus pakaian dan mengukur kain kesana kemari. Engkau pinta saja ke bendahara Baginda Raja, atau kepala rumah tangga istana,” sahut kawannya yang mengiring dari belakang. Hamid Yusuf menggeleng, masih dengan senyum tersungging lebar di wajahnya. “Bukan begitu sahabatku. Aku hendak membeli kain ini untuk kuhadiahkan. Aku ingin menunjukkan seperti apa kualitas kain terbaik di negeri ini, sampai- sampai kain Seperca ini sangat masyhur hingga Pulau Besar,” begitu ucap Hamid Yusuf bangga.” Temannya mengangguk- angguk. Lalu berkatalah Saud, “Hendak engkau hadiahkan pada siapa Yusuf, jikalau aku boleh tahu?” “Pada seorang kenalan jauhku,” kata Yusuf. “Nah, bagaimana, Saud? Tahukah engkau tempat penenun kain terbaik? Aku hendak pergi ke sana sekarang.” “Kupikir- pikir, ada orang tak jauh dari istana nan bagus tempahannya. Beliau membuat kain tenunan khusus dan tak kau temukan coraknya di tempat lain! Adakah engkau tahu? Nama beliau Mak Karimah. Tempatnya dekat sederetan juga dengan tempat penjualan kain biasa, kau tanya saja di situ.” “Baik, kawan. Terima kasih banyak. Aku nanti minta temankan dengan Zaid ke sana. Ya, Zaid?” Zaid mengangguk. “Tak apa. Dengan senang aku temankan engkau.” Kening Saud berlipat, dan serta- merta ia bertanya, “Apa engkau hendak membeli kain sekarang? Hari sudah petang, Yusuf! Jika engkau beli pun, tak akan tampak rupa dan ragi kain itu, sebagaimana jika engkau membelinya siang!” Hamid Yusuf memperlambat jalannya sedikit. “Aku hendak memesan dulu saja,” kata Yusuf lagi. “Aku akan pintakan supaya kain- kain terbagus dengan ragi terbaik disisihkan untukku, biar dapat aku pilih esok hari.” Saud menggeleng- geleng. “Dikejar waktu benar engkau ini Yusuf! Tak bisakah engkau menunggu hingga esok?” “Lebih cepat tentu lebih elok, kawan. Supaya bisa pula aku menyelesaikan pembayarannya esok hari.” “Ya, tak apa, jika engkau memang bersikeras,” sahut Saud. Ia berhenti dengan teman- teman yang lainnya. “Kalau engkau memang jadi pergi ke sana bersama Zaid, kita berpisah jalan di sini. Semoga engkau selamat sampai tujuan, kawanku Yusuf dan Zaid!” Hamid Yusuf mengangguk. “Semoga engkau sekalian pun juga selamat sampai tujuan.” Segerombolan pemuda itu tampak menjauh, lama kelamaan punggung mereka tampak mengecil, menghilang di antara keramaian negeri. Yusuf berputar sedikit, memandang pada Zaid lekat- lekat. “Zaid, ada satu lagi yang aku pinta pada engkau selain mengantarku pada Mak Karimah. Maukah kau?” Dengan tenang, Zaid menjawab, “Apa itu Yusuf? Beritahulah sebelum aku memutuskan. Jika itu baik, aku akan membantumu, Insya Allah.” “Dapatkah... engkau temankan aku kembali ke Sepinang besok? Aku ingin membawa serta kain itu. Aku akan sewa kapal kecil untuk kita berlayar, dengan pembantu- pembantu istana sekali! Bagaimana?” “Sungguh- sungguhkah engkau, Yusuf? Apa ini perihal gadis... itu?” Hamid Yusuf tak menjawab, namun senyumnya semakin lebar saja. Melihat perangai kawannya itu, Zaid menggeleng- geleng. “Hatimu memang benar- benar sudah terpaut padanya, kawan.” *** Tak jauh dari tempat kedua pemuda itu berbincang, Baginda Raja Asyfan Nazhim –raja Pulau Seperca –tengah berbincang pula dengan adiknya di ruang utama istana. Zafan Nazhim, sang adik, menghadap Raja Asyfan yang tengah bersantai duduk di singgasananya. “Kakanda,” sapanya sambil menundukkan kepala. “Sibukkah Kakanda sekarang? Aku hendak membicarakan satu- dua hal dengan Kakak Asyfan.” “Katakanlah, Zafan,” sahut Raja Asyfan tersenyum “Tak ada yang membuatku sibuk benar. Apakah gerangan itu?” “Begini,” kata Zafan memulai, “Aku teramat cemas, sungguh cemas dengan anak Kakanda satu- satunya ini, Hamid Yusuf. Jarang sekali aku nampak dia berada di istana, belajar pedang atau belajar pengetahuan dari guru. Pernah aku tanyakan pada gurunya, ternyata ia pernah mangkir dari pelajarannya.” “Benarkah?” tanya Raja Asyfan. “Ya, Kakanda. Lalu suatu kali, aku temukan dia dengan pemuda- pemuda sepermainannya tengah tertawa, bergembira ria, bersenda gurau. Dan kenyataannya pula, ia sering berlayar dengan perahu- perahu kecil melintas pulau, entah kemana saja dia pergi.” Mendengar kata- kata adiknya, Raja Asyfan tampak merenung sambil memilin- milin misainya panjang dan lebat. “Aku cemas Kakak, jika suatu saat engkau mewariskan tahta dan martabat Seperca ini pada Yusuf, tentu hancur berantakanlah negeri kita! Dia tahu banyak bermain saja, tak banyak menimba ilmu, kebijaksanaan pun belum datang padanya. Padahal umurnya bukan usia anak muda mentah lagi.” “Ya, adikku,” kata Raja Asyfan. “Yang kaukatakan itu benar. Tapi kurasa aku mesti memastikan benar- benar tentang musabab Yusuf mangkir dari pelajarannya itu. Akan kutemui langsung gurunya sekarang.” “Oh, jangan sekarang, Tuanku,” ujar Zafan cepat- cepat. “Aku rasa Tuan Guru tengah sibuk sekarang, jadi lebih baik saya saja yang menanyakan lagi pada Tuan Guru perihal Yusuf ini.” Raja Asyfan menaikkan alisnya sedikit. “Baiklah, Zafan. Aku percayakan padamu,” putusnya sambil tersenyum. Namun, dalam hatinya, Baginda Raja tetap bertekad untuk menemui Tuan Guru secara langsung suatu hari nanti. Zafan melanjutkan, “Jadi aku pikir, bukankah selama ini Kakanda terlalu memanjakannya? Dari yang kudengar di seantero negeri, Yusuf  sering sekali bertindak semena- mena. Mana pernah kita tahu jika ia juga suka berbohong? Bukannya sulit mewariskan tahta raja padanya, Kakak?” Secepat kilat mata Raja Asyfan menatap adiknya dengan tajam. “Aku tak pernah mendapati barang setitik pun Hamid Yusuf berbohong padaku, Zafan.” Zafan memandang lantai sejenak, lalu meneruskan. “Ya, mungkin. Tapi bagaimana jika ia pernah berbohong pada orang lain?” kilahnya. “Hanya ada dua pilihan bagi Kakanda Raja saat ini. Kakanda bisa mengatur perangainya dengan memperlakukannya lebih keras, atau penanganan pemerintahan bisa Kakanda percayakan pada adik sejenak,” katanya lagi sambil menundukkan badannya sedikit. “Percayalah Kakak, aku akan mengurusi kerajaan dengan baik sampai Hamid Yusuf dinilai mampu menguasai tahta dan mengendalikan kehidupan kerajaan.” Mendengar tuturan panjang adiknya itu, Raja Asyfan kembali menghela napas panjang. “Jangan kau terlalu cemas dengan Kerajaan Seperca ini, adikku. Aku masih sehat dan kuat memerintah sampai beberapa tahun lagi, Insya Allah. Tapi memang, tiada yang tahu mengenai maut itu melainkan Tuhan Pencipta. Jika memang saat itu datang, aku akan tetap mewariskannya pada Yusuf. Bagaimanapun perangainya, aku percaya padanya. Kabar buruk tentang tindak tanduknya itu mestilah hanya kabar burung saja, Zafan. Untuk memfitnah dia.” Zafan Nazhim tampak gusar. “Kakak begitu mempercayainya? Percaya saja pada kata-katanya? Yusuf si anak selir itu?” Terdengar keheningan panjang sebelum Raja Asyfan menjawab. Keheningan itu sama sekali tak biasa,  dan Zafan sangat hafal bahwa itu adalah pertanda kemarahan kakaknya. “Maafkan hamba, Kakak,” kata Zafan. “Hamba sama sekali tak berniat berucap seperti itu. “Sebaiknya engkaulah yang menjaga kata- katamu dan perilakumu, Zafan,” kata Raja Asyfan tenang. “Cepat marah, mencerca orang menurut harkat statusnya. Aku tak bisa mewariskan mahkotaku padamu jika kau masih berperilaku seperti itu. Lagipula, Hamid Yusuf adalah satu- satunya darah dagingku. Memang, istriku tercinta tak bisa memberikanku anak, tapi bukan berarti kau bisa menyebut Hamid Yusuf dengan bibir mencong dan mengatainya semacam itu, Zafan. Aku tak akan menerima itu.” Sekali lagi Zafan menunduk dalam- dalam. “Sekali maafkan aku, Kakanda.” “Sudah,” tegas Raja Asyfan. “Jangan membungkuk padaku seakan- akan aku ini patut disembah sebagai Tuhan. Dan keputusanku juga sudah bulat. Hak kepemilikan kerajaan ini kuwariskan pada Yusuf. Dan sampai saat itu datang, aku akan tetap memerintah sekemampuanku.” “Baik, Kakanda. Aku mengerti keputusanmu.” “Baiklah, adikku. Apa masih ada yang ingin kaubicarakan lagi?” “Tak ada Kakanda.” Raja Asyfan Nazhim mengangguk, pertanda ia memperbolehkan adiknya kembali keluar. “Kalau begitu, aku izin keluar dulu, Kakak.” Zafan pun memberi salam pada Kakaknya, yang disahuti Raja Asyfan dengan salam yang sama. Zafan Nazhim berbalik. Namun di balik punggungnya, tangan Zafan Nazhim mengepal. Sepanjang perjalanan keluar dari ruang istana, giginya bergemeletuk, dan wajah liciknya menampakkan kegusaran sekaligus rasa dendam.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD