Di Bilik

1099 Words
Lepas berbincang dengan Alif Samudera mengenai Nilam yang tengah sakit, tiba- tiba teringatlah Syahidah akan sesuatu. Nilam memberikan sebuah surat padanya dari Hamid Yusuf, dua hari yang lalu tatkala ia datang ke Sepinang. Lekas- lekas Syahidah kembali ke biliknya dan mengambil surat yang tergeletak di mejanya itu. Ia duduk di katil, membuka ikatan serat dengan perasaan bercampur- aduk. Ada rasa kesedihan akan keadaan Nilam membayang juga dalam dirinya kini, namun mendapat surat dari Hamid Yusuf agaknya membuat hatinya ringan dan terhibur jua. Assalamualaikum Syahidah, Kudoakan semoga engkau selalu sehat dan berada dalam lindungan Tuhan Allah. Dan semoga rahmat-Nya selalu menyertai engkau sekeluarga. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin. Syahidah, sudah panjang benar masa kita tiada berjumpa atau berkirim surat. Aku tiada ingin menampik bahwa aku teramat ingin melihat engkau saat kedatanganku kemari, tapi aku pun tak ingin membuatmu merasa resah bila berada dekatku. Syaikh telah menyampaikan segala hal padaku, dan beliau juga memberi nasihat agar aku selalu menjaga marwahmu dan marwah diriku pula. Namun aku lebih merisaukan marwahmu, dan kuharap engkau tentu maklum bahwa tiada aku dapat datang menemuimu di dermaga lagi sebagaikan dahulu. Sebelum aku dapat datang berkunjung lagi ke Sepinang, cincin tersarung dan akad terucapkan, aku akan terus berusaha menjaga engkau sebagaikan permata yang tersembunyi dalam kerang, di lautan paling dalam. Bila engkau bersedia, maukah engkau terus menjalin perbincangan kita lewat surat- surat? Sebab senang juga rasa hatiku bila mendapat kabar darimu saban minggu, daripada diam tanpa suatu katapun. Syaikh pun tiada melarang niatku tadi, setelah kutanyakan pada beliau. Syahidah, rasanya aku malu sekali untuk berterus- terang tentang perasaanku kini, tapi keluargamu yang telah menerimaku dengan tangan terentang sungguh membuat hatiku lapang dan gembira. Aku benar- benar beruntung dapat bersua dengan engkau di dermaga dulu, menolong engkau dan lalu saling mengenal. Allah tentu telah menakdirkan pertemuan kita. Dahulu engkau pernah bercerita padaku kalau engkau sangat suka membaca. Apakah engkau masih menyukainya? Bila benar begitu, dapatlah di suratku yang berikut, kusertakan pula dua- tiga buku yang menyenangkan bermanfaat bagimu. Tetaplah menjadi penyejuk hati bagi semua orang, Syahidah, sekaligus bunga Sepinang yang elok dan indah. Wassalam, Hamid Yusuf Senyum mengembang di bibir gadis itu, seperti rasa senang yang juga mengembang dalam dadánya. Tak hanya sedikit rasa terhibur yang ia dapatkan begitu membaca surat itu, namun sungguh sangat besar tak tergambarkan. Ia lipat kembali surat itu dan ia letakkan dalam kotaknya dengan hati- hati. Syahidah pun lalu mengambil pena batang alang dan selembar kertas untuk membalas. *** Zafan duduk di ruang istirahatnya dengan kaki terjulur panjang di atas kursi kecil berbantal untuk kaki. Di sampingnya terdapat tempat sirih berukir khas kerajaan. Zafan tiada bermaksud mengunyah sirih kala itu, tapi sebab ia sedang menunggu, ia juga tak ingin membuang- buang waktu. Ia ambil sehelai dua daun sirih, lalu ia sapukan pinang, gambir, kapur, dan sedikit cengkih. Ia lipat kesemua itu dalam bulatan kecil dan ia kunyahlah sembari memejamkan mata. Lambat laun, rasa pedas daun dan hangat dari cengkih mengisi mulut Zafan. Namun tak berapa lama, seorang pengawal istana datang padanya memberi salam serta menyampaikan kedatangan seseorang. “Suruhlah dia masuk,” perintah Zafan Nazhim. Pengawal itu tunduk patuh dan dalam sekejap ia telah kembali beserta Permaisuri Aziya. Zafan meluruskan duduknya. “Silakan duduk, Kakanda Permaisuri,” ujarnya dengan kesopanan yang melanjut- lanjut. Ia lalu menoleh pada pengawal yang mengantar tadi, “Kembalilah engkau ke tempatmu. Namun sebelum itu, mintalah pelayanku untuk membawakan minuman dan penganan ringan untuk Permaisuri.” “Astaga, Tuanku Adik Zafan, engkau ini terlalu bersusah- susah,” kata Permaisuri dengan wajah tenang. “Tiada mengapa. Saya sangat senang dapat menjamu Kakanda Permaisuri, walau tak banyak yang dapat kuhidangkan.” “Apakah Kakanda Permaisuri juga ingin bersirih?” “Tiada mengapa, Tuanku Zafan. Terimakasih saya haturkan untuk tawaran engkau.” Keduanya lalu duduk dengan tenang dalam keheningan begitu pengawal itu undur diri. Tak seorang pun yang bercakap sesuatu, melainkan hanya berisyarat lewat sorot mata sahaja. Beberapa waktu kemudian, datanglah pelayan membawakan nampan penuh dengan kue- kue dan teh. Ia meletakkan semua itu di atas meja, dan Zafan mempersilakan tamunya itu untuk mencicip sedikit. Selagi Permaisuri Aziya menyesap tehnya, Zafan berdiri dari kursi dan meninjau ke belakang --kalau- kalau pelayan tadi masih ada dekat situ. Ia juga memastikan tiada orang lain di dekat ruang istirahatnya, begitupula dekat jendela. Setelah puas, Zafan duduk kembali dengan kaki terangkat ke kursi bantal kakinya seperti awal mula. “Nah, Aziya. Sebagaimana yang telah kusebut- sebut sebelumnya, aku tak dapat acap benar datang ke rumah kebesaranmu untuk selam waktu terakhir. Kita perlu mendiamkan keadaan dari kehebohan atau gunjingan, baik itu di dalam atau luar istana. Aku tak ingin ada yang mengetahui pertemuan- pertemuan kita di rumah engkau dan mengadukannya suatu saat pada Kakandaku Asyfan.” Wajah permaisuri melembut. “Tiada mengapa, Zafanku. Itulah sebabnya aku menemuimu di istana, sebab dengan demikian aku akan ternampak seperti permaisuri biasa yang merawat Baginda. Lagipula, tiada yang akan berani mempermasalahkan dengan apatah aku mengisi waktu- waktu senggangku di sini, sebab aku hanya berbincang dengan anggota istana saja.” Zafan menganggukkan kepala seraya terus mengunyah sirihnya. “Apa ada kabar baru yang bisa kugunakan?” Permaisuri Aziya menggeleng. “Belum, Zafan kasihku! Tak ada yang dapat kita perbuat untuk sekarang. Lagipula, perasaan Baginda Asyfan sedang baik hari- hari ini. Tiada yang menyusahkannya benar, apalagi Yusuf tampaknya telah menemui keluarga Raja Sepinang untuk merencanakan perkawinan. Sangat mungkin nanti engkau juga diajak ikut serta oleh Baginda beserta keluarga besar untuk melamar gadis Raja Sepinang itu.” Kening Zafan mengerut kesal. “Soalan itu aku sudah mengetahuinya, Aziya, tanpa kau perlu berletih- letih menyuarakan padamu! Tidakkah engkau berusaha mencari tahu apa saja perbincangan Kakakku bersama pejabat istana yang tiada kuhadiri? Tak dapatkah engkau menanyai Baginda?” “Itu mustahil, Zafan! Engkau tentu tahu betapa pandai dan bijaksananya Baginda Asyfan. Dan bila aku terlalu banyak bertanya perkara pemerintahan dan ikut campur dalam hal itu, tentu akan menimbulkan kecurigaan dalam diri Baginda!” “Benar juga. Tapi bila kita tak mensiasati apapun sejak sekarang, maka semua usaha kita selama ini akan terbuang sia- sia.” “Aku setuju denganmu. Namun untuk kali ini bersabarlah, sebab akan ada masanya bagi kita menemukan sesuatu untuk mengacau satu titik pemerintahan Baginda Aysfan –bahkan titik terkuatnya sekalipun.” Perkataan itu dibenarkan Zafan jua dalam hati. Ia menyandarkan punggung, lalu berujar dengan seringai licik, “Sebenarnya, Aziya. Ada suatu hal yang dapat aku manfaatkan sekarang. Ini menyangkut Sepinang, dan aku yakin perihal ini akan membawa keuntungan bagi kita. Tidak sekarang, tapi mungkin nanti –bila perkembangan kabar hubungan Seperca dan Sepinang berjalan sesuai harapanku.” “Benarkah itu?” tanya Aziya denga wajah tertarik, “Apakah benda itu, Zafan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD