Keadaan Nilam

1177 Words
Seorang gadis elok rupa tampak sedang berada di tempat duduk- duduk semacam dangau dekat taman istana. Ia tampaknya sedang bermenung- menung, tapi ada juga ia sambil menyulam sehelai kain. Tangannya yang kuning langsat lagi halus itu memegang sebuah bundaran serat kayu, dengan kain yang halus teregang di antaranya. Sebentuk bunga yang telah selesai separuhnya sudah berkembang di atas kain itu, namun nampaknya masih lama bagi gadis itu untuk membuat bunga itu utuh. Jarum berbenang ia tarik perlahan- lahan menembus kain, dan siapa saja tahu perhatian gadis itu tiada sebenar tercurah pada pekerjaan menyulamnya itu. Wajahnya murung sekali, sedang bibirnya mengatup rapat menunjukkan kesedihan hati. Gadis itu tiada lain adalah Syahidah. Ia memang tengah bersusah hati. Mengapa tidak? Sudah berapa hari ini Nilam –dayangnya sekaligus kawan karibnya itu –terbaring sakit tak berdaya. Badan Nilam panas dingin semenjak Syahidah menanyainya hari itu –semenjak kawannya itu berdiam diri saja dan kembali membawa minuman baginya dengan tangan gemetar. Sampai kini pun, Nilam tiada mahu menceritakan kesusahan hatinya itu, dan sebaliknya malah meminta Engku Putrinya untuk tak terlalu memikirkan perihal masalah yang ia hadapi. Biarlah masalahnya ia tanggung sendiri, begitu kata Nilam. Tapi bagaimanakah Syahidah mampu untuk tiada peduli dengan perkara tersebut, bila karena perkara itu kawannya itu tiba- tiba berubah sedih dalam sekejap mata? Itulah yang terus dirisaukan Syahidah. “Aduh!” Syahidah berseru kecil, sebab jarum baru saja menusuk jarinya tanpa sengaja. Ia lihat bunga hasil sulamannya yang tak berbentuk –benangnya melintang ke sana- kemari. Bila ia balik bundaran itu, akan lebih- lebih tampak kalau sulamannya kacau balau benar. Syahdan putri itu pun hendak beranjak mengambil daun- daun di taman untuk menghentikan darah di jarinya, namun tiba- tiba terdengar di telinganya bunyi tapak- tapak mendekat. Syahidah menengadah. Itu Alif Samudera. “Syahidah! Jarimu terluka! Mengapa bisa itu terjadi?” pemuda yang baru sampai itu tampak terkejut sekaligus cemas. Syahidah menggeleng dengan wajah lembut. “Tiada mengapa, Alif. Aku tak apa- apa. Ini hanyalah tusukan jarum saja, dan darahnya bisa kuhentikan dengan daun saja. Nah, lagipun jarum ini hanya kecil ukurannya, sehingga tidak banyaklah darah yang keluar.” “Tapi luka engkau ini agaknya dalam, Syahidah. Apakah baiknya aku panggilkan pelayan istana saja? Mereka bisa bawakan ubat untukmu.” Sekali lagi Syahidah menolak. “Tak apa, Alif. Nah, lihat? Ini pun sudah mulai sehat! Terima kasih untuk tawaran bantuanmu, Alif.” Alif mengangguk, lalu kepalanya tertunduk ragu. Ia bermaksud mengatakan sesuatu, tapi kebimbangan muncuk di hatinya. “Kukira engkau datang ke istana untuk suatu hal, Alif?” tanya gadis itu. Ia masih menekan luka di jari tangan kanannya dengan daun yang telah ia gumpal- gumpalkan. “Memang, Syahidah. Engkau benar sekali,” sahut pemuda itu, dan tanpa banyak tanya lagi dari Syahidah, ia menyambung bicaranya. “Aku memohon maaf padamu, Syahidah, sebab kemarahanku yang tak beralasan kepadamu akhir- akhir ini. Tak semestinya aku mendiamkanmu sebagai itu. Bahkan di hari terakhir helat gelanggang negeri, aku berjalan melewatimu dengan begitu congkak, walau kala itu engkau mengingatkanku untuk berhati- hati di tengah jalan.” Syahidah mengangkat muka, menatap lekat- lekat Alif Samudera yang berada di hadapannya. “Mengapa engkau mesti meminta maaf kepadaku? Engkau tak ada melakukan keburukan apapun. Keadaan telah membuat banyak salah paham di antara kita,” sahut Syahidah dengan bijaksana. “Tak usahlah engkau membuat dirimu penuh rasa bersalah semacam itu, dan semestinya akupun ada juga meminta maaf padamu.” Alif menelan air ludah. “Aku memang tak tahu diri benar. Namun bila engkau setuju, maukah engkau menjalin tali perkawanan denganku lagi?” “Untuk apa?” tanya Syahidah seraya tertawa kecil, “Kita sudah berkawan sejak kecil lagi, dan engkau tak pernah kuanggap sebagai musuh. Aku tak pernah membencimu, jadi perkawanan kita yang dulu masih sama adanya.” Perlahan senyum mengembang di bibir Alif. Ia tahu benar, masalah yang merenggangkan mereka berdua sama sekali bukan kesalahan Syahidah. Syahidah sudah berkali- kali menolak pinangannya, dan tiada pula memberi harapan bagi Alif. Tapi ketika gadis itu menyatakan kebenaran dalam hatinya bahwa ia menyukakan Hamid Yusuf, ia pulalah yang marah dan membenci gadis itu. Ia berlaku tanpa dipikirkan masak- masak dulu. Lagipula, bukannya ia pernah berkata pada Badruddin bahwa kebahagiaan Syahidah baginya adalah kebahagiaannya jua? Tiada masalah baginya bila Syahidah cenderung kepada pemuda lain, asalkan gadis itu selalu senang hidupnya. Rasa sakit memang menghujam dadánya, tapi bukankah ia sudah mengikhlaskan semua rasa sakit itu? Lalu mengapa pula ia yang pertama mendiamkan Syahidah? Dan gadis di mukanya itu kini memaafkan semua kekesalan hatinya dulu begitu saja. Alif mengakui dalam hati, bahwa Syahidah memang gadis yang begitu mulia budi. Ah, tak heran bila sampai kini Alif masih menaruh hati, walau semua pengharapan itu sudah benar- benar habis. Bahkan setitik pun tidak. Ia pandangi pula wajah Syahidah yang tenang, nan asyik menyulam. Namun begitu, ada tertangkap baginya kemurungan dalam bayang muka gadis itu. “Syahidah, kulihat engkau tengah merisaukan sesuatu.” Syahidah menghentikan gerak tangannya yang menyulam. “Engkau memang benar, Alif.” “Adakah gerangan yang terjadi?” Syahidah meletakkan bundaran kayu sulamannya. “Ini tentang Nilam.” “Ah! Aku baru saja menyadari ketidakberadaan ia bersamamu sekarang. Bukankah kalian suka benar pergi berdua- dua? Kemanakah ia?” “Nilam tengah sakit keras, Alif,” kata Syahidah. Wajahnya sama berkerut dengan keningnya. “Sudah beberapa hari ini ia terbaring lemah di biliknya. Ia banyak berdiam diri pula, dan aku pun merasa memang ada masalah yang dipikirkannya. Masa’alah itu pulalah yang menyebabkan ia tak berdaya semacam begini.” “Adakah ia menceritakan masalah apa itu kiranya?” “Tidak,” tutur Syahidah lagi dengan murung. “Itulah yang aku khawatirkan. Sebagai yang telah kucakapkan padamu tadi, ia tak banyak berbicara semacam dulu. Mungkin jua ini sebab karena sakit yang tengah ia derita, sehingga ia tak punya daya tenaga untuk bicara banyak- banyak. Tapi condong benar hatiku merasa, bahwa sakitnya itu sebab ia pening memikirkan masalah itulah. Bukan oleh sebab- sebab sakit biasa yang dialami orang.” Alif mengerti. “Aku mengerti. Ketidaktenangan perasaan dan pikiran dapat membuat siapapun lemah, sebagai dirinya.” “Itulah. Bila saja ia mau berkisah padaku, tentu dapat aku membantu. Tapi nyatanya ia tampak enggan untuk menceritakannya. Bagaimana aku tahu apa yang dirasakan hatinya sekarang, sedang aku ingin benar membantunya,” keluh Syahidah. “Tak usah engkau jadikan semua itu beban pikiranmu pula,” ujar Alif menghibur. “Suatu ketika, tatkala kesehatannya mulai pulih sedikit- sedikit, tentulah ia akan menceritakannya padamu. Kurasa memang sebab kesakitannyalah Nilam tak dapat berbincang banyak denganmu, Syahidah. Jangan engkau pikirkan berlebih begitu. Bila engkau terus saja terpikir, tidakkah nanti engkau pula yang akan menjadi sakit? Engkau bermaksud membantunya, tapi bagaimana engkau akan dapat melakukan itu apabila tubuh tak berdaya pula?” Perkataan Alif dicerap oleh Syahidah, dan dapatlah ia merasakan kebenaran di sana. “Engkau memang betul, Alif. Apakah lebih baik aku menunggu kepulihan Nilam dulu? Memang besar kemungkinan, ia akan kembali seperti biasa ketika ia sudah merasa sehat.” “Betul sekali. Nah, sekarang alihkan perhatianmu pada perihal lain, yang ada di hadapanmu kini.” “Apatah itu?” Alif tertawa. “Sulamanmu, tentu saja! Lepas itu, rawatlah baik- baik lukamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD