Usai perjumpaan dengan Yusuf di istana itu, satu demi satu para tetua kembali ke rumah peristirahatannya masing- masing, hingga yang ada tersisa adalah Baginda beserta kedua puteranya. Air muka Baginda Syamsir seakan menyiratkan bahwa ada sesuatu hal yang membayanginya.
“Entah mengapa, aku merasa tidak terlalu bersetuju dengan pemuda Hamid Yusuf ini,” ujarnya dengan kening berkerut.
Yazid Alam menelengkan kepalanya sedikit. “Mengapa, Ayahanda? Kutengok gerak- gerik tabiatnya dan kekuatan dalam sorot matanya, dia benar- benar anak yang baik. Apakah gerangan yang membuat Ayahanda tiada bersetuju perihal dirinya?”
“Memanglah, dia seorang anak yang baik. Tutur katanya lemah- lembut, tidak seperti yang kita dapat dengar dari seorang muda berperawakan kukuh seperti dia. Pertama kali melihatnya, hatiku langsung condong dan senang pada Hamid Yusuf ini. Tapi begitu mengetahui kedudukannya di antara kerajaan Seperca, aku jadi meragukan perasaan pertamaku tadi.”
Mata Badruddin menyipit begitu mendengar penjelasan Ayahandanya. Belum hilang dari ingatan Badruddin tentnag percakapannya dengan Baginda dulu, bahwa tiada mengapa Kakak Putrinya berkawin dengan pemuda yang asalkan perangainya baik, apakah itu anak menteri atau anak pejabat kerajaan lain.
“Saya rasa.., “ kata Badruddin dengan hati- hati, “… perkara dia seorang anak selirkah yang membuat Baginda Ayah meragukan Tuanku Hamid Yusuf?”
Raja Syamsir Alam diam, melainkan bersandar pada kursi kebesarannya. “Anak selir ini mendatangkan kebimbangan padaku perihal keberadaan Syahidah putriku nanti apabila mereka memang melangsungkan perkawinan suatu saat nanti.”
Yazid pun buka suara. “Ayahanda,” panggilnya, “Tidakkah Ayahanda acapkali berkata, bahwa kedudukan seseorang tidaklah begitu penting bagi Ayahanda? Asalkan aku, Syahidah, maupun Badruddin mendapatkan seseorang yang berkesesuaian hati, elok tabiatnya, dan elok pula agamanya, masalah siapa keluarganya tidak menjadi masalah. Bukankah Ayahanda selama ini tak pernah membeda- bedakan anak Raja, anak menteri ataupun anak pelayan? Aku pun telah beristrikan anak pejabat kerajaan yang tak terlalu tinggi pangkatnya, namun menganggap itu tiada mengapa. Ayahanda telah menanamkan perilaku elok ini pada kami anak- anak Ayah, akan tetapi mengapa masa’alah Hamid Yusuf yang seorang anak selir menjadi kerisauan bagi Ayahanda?”
“Memang, awalnya aku pun berpikir begitu, Putraku,” sahut Raja Syamsir. “Namun ini agak berlain sedikit. Hamid Yusuf masih dapat dihitung sebagai anggota Kerajaan Seperca –lebih lagi dia putra bagi Asyfan Nazhim –tapi sebagai seorang anak selir, ia tentu tiada memiliki hak sebanyak anak dari seorang permaisuri yang sah. Aku tiada mengerti apakah nanti pemuda itu akan dianggap sebagai putra mahkota ataukah tidak. Lalu bagaimana dengan Syahidah bila begitu?”
Yazid pun paham jalan pikiran Baginda. Ia berkata dengan lembut, “Ayahanda,. bila perkawinan hanya setakat membahas hak kekuasaan kerajaan –bukannya mengenai perkawinan itu sendiri –tentulah ia menjadi sia- sia. Ayahanda, perkawinan memang sebuah hubungan baru nan dibina oleh dua keluarga yang berbeda, akan tetapi ia tidak sama sekali berkisar- kisar pasal hak kepemilikan apapun. Ianya adalah sebuah ibadah panjang yang dilakukan oleh dua orang, dan hak kewajiban mereka berdua hanya ada pada bagaimana mereka saling memperlakukan diri satu sama lain, dan bagaimana pula sikap mereka terhadap keluarga satu sama lain.”
“Tapi tidakkah Kakanda Yazid menginginkan yang paling baik untuk Kakak Putri?” kata Badruddin hasut- menghasuti. “Kakanda Yazid bolehlah berkisah pasal perkawinan Kakanda dengan seorang putri pejabat kerajaan, namun nama dan keberadaan beliau ini bersih tak bercacat. Ia memiliki asal- usul yang jelas, dan memang putri yang sah dari pejabat itu. Berbeda dengan masa’alah Kakanda Putri. Beliau pantas mendapatkan orang yang lebih baik. Dan saya yakin benar, mencarikan pemuda lain yang lebih jelas asal- usulnya tidaklah susah sangat.”
“Memang banyak, Adindaku. Tetapi belum tentu akan dapat menyamai sifat dan kemampuan Hamid Yusuf. Bagaimana menurutmu? Lalu bagaimana pula dengan perasaan Syahidah? Adakah nanti ia akan bersuka hati dengan pemuda lain sebagaimana pada Yusuf? Kita tahu benar Syahidah gadis yang pemalu, dan perasaannya pada Yusuf pun pertama kali mampu ia luahkan pada Syaikh kepercayaan Sepinang, bukan pada Ayahanda, atau aku, ataupun engkau.”
Badruddin terdiam sesaat, dan Yazid kembali berpaling pada Baginda.
“Aku tidaklah bermaksud lancang, namun aku paham dengan kegundahan Ayahanda ini. Ayah hanya memikirkan tentang nasib Syahidah yang tidak tentu dan tiada jelas sebagaikan kabut di siang hari. Ayahanda memikirkan yang terbaik untuk putri Sepinang satu- satunya. Namun aku rasa, Ayah, ini bukanlah berarti bahwa Raja Asyfan Nazhim tidak memikirkan masak- masak tentang perihal ini pula. Ia tentu juga menimbang bagaimana kedudukan putranya dan calon istrinya nanti dalam kerajaan. Kita sendiri tahu betapa bijaksana Raja Asyfan. Jadi janganlah Ayahanda khawatir.”
“Tapi bagaimana bila ada putra mahkota yang resmi menjadi penerus Seperca, Kakanda Yazid?” tanya Badruddin dengan sengit.
“Yakinlah padaku, Badruddin, itu sama sekali tidak berarti Raja Asyfan akan mencampakkan Hamid Yusuf. Bagaimanapun, Hamid Yusuf adalah darah dagingnya jua.”
Badruddin hendak membalas lagi, namun Bagindalah yang buka suara. “Engkau benar sekali, Yazid. Tiada yang salah dalam pendapatmu, sementara aku ini terlalu dibutakan oleh segala hal semacam kekuasaan ini,” aku Baginda seraya memegangi kepala. “Bila itu pilihan Syahidah dan memang baik, tak ada alasan kita untuk menolaknya. Atau mungkin, kita dapat berbincang sebentar dengan Syaikh mengenai pendapat beliau tentang pemuda Yusuf?”
“Itu akan lebih baik, Ayahanda,” sahut Yazid menundukkan kepalanya.
***
Dayang Nilam sudah siap dengan teh jahe baru di dalam nampan yang akan ia bawakan pada Engku Putrinya. Ia lekas- lekas berjalan menuju kamar Putri dan memberi salam. Syahidah membalasnya, namun matanya masih tertuju pada buku di depannya. Ia tengah asyik membaca suatu buku yang ia dapat dari Syaikh.
“Entah itu perasaanku saja, atau engkau memang agak lama?” tanyanya seraya tersenyum pada buku itu.
“Maafkan saya, Engku Putri. Memang kesalahan saya,” kata Nilam dengan suara sengau. “Teh jahe yang pertama sudah dingin dan saya perlu buatkan yang baru.
Berlainnya suara Nilam daripada yang biasa ia dengar membuat Syahidah mengangkat wajahnya.
“Astaghfirullah! Apa yang terjadi pada engkau, Nilam?” tanya Syahidah dengan penuh kecemasan. Ia dapat melihat lagi- lagi Nilam mendatanginya dengan mata memerah, sebagaikan habis menangis.
“Tiada mengapa, Engku. Saya baik- baik saja,” sahut Nilam. Ia mendekatkan nampan ke arah Syahidah dan meletakkan cangkir Syahidah dengan tangan bergetar.
“Engkau tidak sedang dalam keadaan baik, Nilam. Tanganmu bergetar sekali.”
Sekali lagi Nilam menggeleng. Ia hanya memberikan surat yang terikat tali serat dari Yusuf tadi pada Syahidah. Gemetar pada tangannya semakin menjadi- jadi. “Ini ada surat yang dititipkan Tuanku Hamid Yusuf pada saya, untuk Engku Putri.”
Syahidah mengambil surat itu dari tangan Nilam yang terus gemetar dengan rasa sedih. Ia meletakkan surat itu begitu saja di sampingnya, tanpa membacanya terlebih dulu. Untuk sejurus panjang, Syahidah diam mengamati raut Nilam yang mematung di hadapan. Dan tiba- tiba saja, putri raja itu memeluk sahabat dayangnya.
“Aduhai, Nilam! Apakah yang membuat engkau sampai begini? Apakah perkara yang telah begitu menyusahkan hatimu hari- hari ini? Bagi ceritalah denganku, Nilam. Katakan, ini bukanlah sebab karena engkau ingat emak bapakmu, kurasa?” tanya Syahidah seraya mengurut punggung gadis itu dalam pelukan.
“Aku sungguh tidak mengapa, Engku. Sungguh!” sahut Nilam dengan suara ditabah- tabahkan. Air mata mengalir dari pelupuk matanya, namun tulang rahangnya tampak mengeras.
“Nilam, Nilam! Bila saja engkau mau menceritakannya padaku! Sakit sekali hatiku melihatmu dirundung sedih begini. Entah siapa yang telah tega menyakiti gadis sebaik engkau, namun pada Tuhan Allah-lah aku berharap semoga engkau mendapat ganjaran yang baik.”
Syahidah melepaskan pelukannya, lalu berkata, “Marilah berbagi teh ini denganku! Biar hangat perutmu dan hilang pulalah rasa sedih itu.”
“Tidak apa, Engku. Saya—,”
“Tidak, Nilam,” potong Syahidah. “Aku tidak menerima basa- basi apapun. Ini perintah dariku, kau paham? Ambillah satu buah cangkir kosong dan kita bagi dua teh jahe ini.”